Leelou Blogs
topbella

Selasa, 07 Desember 2010

SEKS PRA NIKAH DI MATA REMAJA AKHIR

Berta Esti Ari Prasetya

Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRACT
This is a qualitative survey research, aimed to investigate late adolescences’ opinions on pre-marital sexual intercourse issues. Open-ended questions were posed to 58 participants involved in this research, regarding their opinions about pre-marital sexual intercourse issues, their parents’ involvement in sharing information about sexual issues, their perception about their peers’ decision on pre-marital sex, and their engagement in watching porn film. The results showed that they have both positive and negative opinions on pre-marital sexual intercourse issues,  46% of the participants reported that their mother had discussed about sexual issues with them, but only 28% reported that their fathers were willing to discuss about it. 48% of the participants reported that their close friends agreed to engage in pre-marital sexual intercourse and 84% of the participants reported that they had watched porn film at least once. Among the participants, 23% of them reported that they agree to engage in pre-marital sexual intercourse. The inferences that can be drawn from the data and further suggestions are also discussed in this article.
            
Key words: adolescences’ opinions on pre-marital sexual intercourse issues, parents’ willingness in sharing sexual information, adolescences’ perception about their peers’ decision on pre-marital sex, adolescences’ engagement in watching porn film.  

ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian survey kualitatif untuk meneliti pandangan remaja akhir terhadap issue hubungan seks pranikah. Pertanyaan terbuka disampaikan kepada 58 orang partisipan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja memiliki tidak hanya pandangan negatif tentang seks pranikah, tetapi juga pandangan positif. 45% dari partisipan melaporkan bahwa ibunya bersedia membicarakan tentang seks pranikah, sedangkan hanya 28% yang melaporkan ayahnya bersedia membicarakan tentang seks pranikah. 48% partisiapan menyatakan bahwa teman dekatnya bersedia melakukan hubungan seks pranikah dan 84% menyatakan pernah menonton film porno paling tidak satu kali. Di antara partisipan, 23% menyatakan bersedia melakukan hubungan seks pranikah. Kesimpulan yang bisa diambil dari data yang diperoleh dan saran lebih lanjut didiskusikan dalam tulisan ini.

Kata kunci: pandangan remaja tentang hubungan seks-pranikah, kesediaan orang tua untuk membicarakan masalah seks pranikah, pandangan remaja tentang kesediaan temannya melakukan seks pranikah, pernah tidaknya remaja menonton film porno.  

PENDAHULUAN

Hubungan seks adalah hal yang secara alamiah dapat dilakukan oleh mereka yang telah mencapai kematangan seksualnya. Oleh karena itu, bila hanya ditinjau dari segi fisik, remaja bisa dikatakan sudah siap secara fisik untuk melakukan hubungan seksual. Namun demikian, secara mental hal ini dianggap belum cukup. Faktor emosi, sosial dan finansial, dianggap tidak memungkinkan seorang remaja untuk menanggung dampak hubungan seks yang dilakukannya (http://www.suaramerdeka.com/    cybernews/ harian/ 0406/ 23/ dar7.htm).  Sebagaimana banyak ditemukan di antara para remaja putri yang melakukan seks pranikah, apabila terlanjur hamil, cenderung memilih jalan pintas, yaitu aborsi. Selain bahwa aborsi tidak dapat diterima secara moral maupun bertentangan dengan hukum yang berlaku, hasil penelitian Atasherdatini (dalam Kartika 2004 di  http://www.smeru.or.id/beritadaerah/ files/20040823 aborsijurnalperempuan.htm) peneliti dari Yayasan Kesehatan menemukan bahwa banyak perempuan yang menggunakan layanan aborsi yang tidak aman dikarenakan tidak berani datang ke fasilitas kesehatan formal, khususnya karena statusnya yang belum menikah. Keputusan aborsi tidak aman yang biasanya dilakukan oleh mereka yang belum menikah ini dapat beresiko mulai dari perdarahan, infeksi, kemandulan atau bahkan kematian (http://www.suaramerdeka.com/  cybernews/ harian/ 0406/23/dar7.htm). Yang menyedihkan, tingkat aborsi di kalangan remaja diperkirakan sekitar 700 ribu kasus per tahun atau sekitar 30% dari seluruh kasus aborsi per tahun di Indonesia (Wilopo, 2005 dalam http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=68173). Alfinah (1995) menyimpulkan bahwa hubungan seks pranikah remaja membawa dampak dalam berbagai bidang, yaitu secara fisik misalnya tertularnya penyakit menular, kehamilan yang bila digugurkan bisa membawa resiko fisik, rusaknya selaput dara pada wanita (hilangnya kegadisan) yang dalam budaya timur menimbulkan masalah psikologis dan emosional seperti beban emosional, rasa tertekan karena menjadi sorotan masyarakat. Selain itu, muncul juga efek sosial seperti keterpaksaan menikah pada usia remaja yang seringkali menimbulkan persoalan baru seperti konflik dalam rumah tangga serta dampak persoalan ekonomi, serta beban emosional maupun fisik pada orang tua yang memiliki anak remaja yang terpaksa menikah karena hamil (Nugroho, 2006).  Oleh karena itu, keprihatinan banyak pihak mengenai perilaku hubungan seks pranikah remaja bukanlah hal yang mengada-ada.
Laporan penelitian di Indonesia juga memberikan gambaran bahwa remaja yang setuju dengan perilaku seks pranikah berada dalam angka yang memprihatinkan. Seperti dilaporkan dalam  sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 1660 responden mahasiswa dari 16 perguruan tinggi di Yogyakarta yang dilakukan sejak Juli 1999 hingga Juli 2002, diperoleh hasil bahwa 97,5 mahasiswa perempuan sudah pernah melakukan hubungan seksual, bahkan diketahui pula 90 persen di antaranya telah melakukan aborsi. (Saraswati, 2002 dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/ 0304/ 16/or/ 259961.htm)

Di Surabaya, Winarso dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya (dalam Kompas Cybermedia, 30 Oktober 2002 di  http://www.kompas.com/kesehatan/news/0210/30/214613.htm) juga mengemukkan penelitian serupa. Dari angket yang disebarkan pada bulan April 2002 terhadap 180 mahasiswa perguruan tinggi negeri di Surabaya, berusia 19 hingga 23 tahun, terdapat 40 persen mahasiswa pria mengaku telah melakukan hubungan seks pra-nikah. Dari jumlah itu, 70%-nya melakukan dengan pasangan tidak tetap (multiple), bisa teman, pekerja seks, atau lainnya dan 2,5% di antaranya pernah tertular PMS (penyakit menular seksual). Adapun pada mahasiswa perempuan, terdapat 7% yang telah melakukan hubungan seks pra-nikah, 80% di antaranya hanya melakukan dengan pacarnya. Pada mereka ini 10% di antaranya pernah tertular PMS. Disimpulkan pula bahwa kelompok yang 'setia' pada pasangan maupun yang berganti-ganti pasangan memiliki risiko yang sama untuk tertular PMS 


Semua data-data di atas menunjukkan semakin banyaknya remaja yang terlibat dalam hubungan seks pranikah yang dapat beresiko bagi masa depan mereka, sehingga perhatian yang lebih mengenai hal ini perlu diberikan untuk menurunkan tingkat keterlibatan mereka.  Meskipun data-data mengenai jumlah remaja yang bersedia melakukan hubungan seks pranikah telah disampaikan, namun selama ini gambaran tentang bagaimana pendapat mereka sendiri tentang perilaku seks pranikah belum banyak dikuak.Padahal dari hal inilah sebenarnya perilaku remaja mula-mula berawal. Sehingga bila pendapat mereka ini dapat diarahkan, diharapkan perilaku merekapun bisa diarahkan ke arah yang lebih baik. Bagaimana peran orangtua mereka dalam mempersiapkan anak-anak remaja mereka dalam hal seks maupun seks pranikah belum banyak digali pula. Demikian juga bagaimana kondisi lingkungan sosial mereka seperti teman-teman sesama remaja, media massa seperti film porno selama ini dipersepsikan oleh mereka sehubungan dengan sikap mereka terhadap hubungan seksual pranikah. Mengingat hal inilah, penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan gambaran mengenai pandangan para remaja mengenai hubungan seks pranikah itu sendiri serta bagaimana selama ini orang tua mereka mempersiapkan mereka sehubungan dengan perilaku seks pranikah. Serta bagaimana peran lingkungan sosial dalam hal ini teman-teman sesama remaja, serta media film porno dalam mempengaruhi kesediaan remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah. Masalah penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah mendapatkan gambaran deskriptif tentang pandangan dan keyakinan remaja akhir terhadap issue seks pranikah, keterlibatan atau peran orang tua dalam memberikan informasi mengenai seks pranikah, dan peran teman-teman sesama remaja, serta media film porno sehubungan dengan kesediaan remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan pertanyaan terbuka yang diikuti oleh 58 partisipan, terdiri dari 47 wanita dan 17 laki-laki, remaja akhir berusia antara 18 – 24 tahun yang belum menikah. Penelitian dilakukan selama bulan Juli 2006 terhadap mahasiswa di salah satu universitas di Jawa Tengah. Partisipan diminta untuk menjawab secara bebas dengan tertulis beberapa pertanyaan seputar pandangan dan keyakinan mereka terhadap issue seks pranikah, kesediaan orang tua untuk membicarakan masalah seks pranikah, pandangan remaja tentang kesediaan temannya melakukan seks pranikah, serta pernah tidaknya remaja menonton film porno. Partisipan tidak diminta untuk menuliskan namanya, dengan harapan mereka lebih dapat menjawab dengan leluasa dan jujur.

HASIL PENELITIAN
Hasil survey menunjukkan bahwa:
1)            Sebagian besar partisipan yaitu 74% memandang bahwa tidak ada dampak positif seks pranikah, sebagian lagi yaitu 26% menyebutkan bahwa seks pranikah memiliki dampak positif bagi mereka. Dampak positif dari seks pranikah menurut mereka adalah:
a.       Menjadi kesempatan untuk mempersiapkan diri untuk pernikahan nanti sehingga tidak canggung lagi dengan pasangan.
b.      Bila sepasang kekasih tidak disetujui orang tua, maka apabila melakukan hubungan seks akan disetujui orang tua.
c.       Menjadi lebih fresh setelah melakukan seks pranikah
d.      Hubungan dengan pasangan menjadi lebih baik, menjadi saling mengenal, dan tidak memakai topeng.
e.       Rasa keingintahuan terpenuhi, dan bisa tahu bagaimana cara melakukan hubungan seks yang benar.
f.        Membuat individu menjadi lebih dewasa karena dipaksa lebih bertanggung jawab.
g.       Apabila seks pranikah diijinkan, maka remaja akan memiliki kesempatan berhubungan seks dengan pasangannya, oleh karena itu mereka tidak akan melampiaskan dorongan seksnya pada anak-anak kecil, sehingga anak-anak kecil terhindar dari pemerkosaan yang dilakukan remaja.
2)      Hampir semua partisipan (98%) dapat nyebutkan adanya dampak negatif seks pranikah. Ini berarti bahwa mereka yang setuju untuk melakukan seks pranikah pun cenderung menganggap bahwa seks pranikah memiliki beberapa dampak negatif, yaitu antara lain:
a.       munculnya rasa bersalah dan berdosa
b.      mencoreng nama baik keluarga, kehilangan kehormatan
c.       dikucilkan masyarakat karena mendapatkan nama jelek dalam masyarakat
d.      kemungkinan hamil yang bisa berakibat pada aborsi, atau bila tetap dipertahankan akan membuat mereka harus menikah muda sehingga kehilangan masa bermain serta hancurnya masa depan.
e.       kemungkinan tertular penyakit kelamin seperti HIV/AIDS atau penyakit kelamin lainnya
f.        kehilangan hadiah berharga untuk suami yaitu keindahan malam pertama serta hadiah keperawanan untuk suami. 
g.       menjadi cinta buta, segala keburukan pasangan tidak digubris karena jadi takut ditinggalkan
h.       waktu menikah sudah bosan karena saat muda banyak melakukan hubungan seks. 
3)            Sebagian besar partisipan yaitu 74% menyatakan seks pranikah tidak boleh dilakukan dengan alasan apapun, sedangkan 26% partisipan menyatakan bahwa seks pranikah boleh dilakukan asal dengan alasan-alasan tertentu yaitu:
a.       Bila kedua pasangan sudah tidak dapat menahan nafsu, sudah sangat ingin menikah dan sudah ingin sekali punya anak. 
b.      Bila kedua pasangan sudah memiliki komitmen dengan orang tersebut dalam hal ini bisa berupa pertunangan, atau sudah menganggap pasangannya adalah calon istri/suaminya kelak.
c.       Bila kedua belah pihak saling percaya dan mau melakukan hubungan seks dan bersedia menanggung resikonya
d.      Bila dipaksa oleh pasangan karena pasangan menginginkannya
e.       Bila sudah menggunakan alat pengaman sehingga tidak kebablasan (hamil).
f.        Bila pekerjaannya memang PSK (Pekerja seks komersial).
4)      Sebanyak 46% partisipan mengaku bahwa ibunya pernah menjelaskan tentang masalah seks, sedangkan 54% partisipan mengaku bahwa ibunya tidak pernah menjelaskan atau memberikan informasi mengenai seks. Sebanyak 72% partisipan mengaku bahwa ayah mereka tidak pernah menjelaskan atau memberi informasi mengenai masalah seksual sedangkan hanya 28% menyatakan bahwa ayah mereka pernah membahas mengenai masalah seksual. Dari sini terlihat bahwa ibu dipandang lebih sering memberikan informasi tentang masalah seksual dibandingkan ayah. 
5)      Sebanyak 77% partisipan mengaku bahwa dia tidak bersedia melakukan hubungan seks pranikah, dengan alasan adanya dampak negatif seks pranikah seperti yang disebutkan sebelumnya. Sebanyak 23% partisipan bersedia melakukan hubungan seks pranikah menyatakan bahwa seks pranikah untuk memuaskan dorongan biologis, untuk mendapatkan pengalaman yang berbeda dengan beberapa orang, dan alasan komitmen yang sudah dibuat dengan pasangan. Partisipan yang bersedia melakukan hubungan seks pranikah tetap mengemukakan adanya dampak-dampak negatif seks pranikah. Sebagian menyebutkan bahwa meskipun mereka sudah berpendapat bahwa seks pranikah tidak boleh dilakukan, tetapi bila sudah berhadapan dengan pasangannya, pikirannya berubah bersedia melakukan hubungan seks pranikah. 
6)      Sebagian subjek yaitu 48% melihat bahwa teman dekatnya (sahabat) bersedia melakukan hubungan seks pranikah, sebagian lain yaitu 52% menganggap bahwa teman dekatnya  tidak bersedia melakukan hubungan seks pranikah. Teman dekat tampaknya tidak terlalu menentukan kesediaan remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah. Sebagaimana didapati dalam penelitian ini, meskipun teman-temannya bersedia melakukan hubungan seks pranikah, sebagian remaja tetap memegang teguh untuk tidak melakukan hubungan seks pranikah meskipun teman-teman dekatnya (sahabatnya) bersedia melakukannya.
7)      Sebagian besar subjek yaitu 62% bersedia menikah dengan orang yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelumnya dengan orang lain, dengan alasan mencintai orang tersebut, ingin menerima kekurangan orang yang dicintainya dan memberi kesempatan untuk berubah dan bertobat. Sedangkan 38% tidak bersedia menikah dengan orang yang pernah melakukan hubungan seksual sebelumnya, dengan alasan bahwa pasangannya sudah tidak suci lagi, murahan dan bukan orang baik-baik, serta takut terkena penyakit.
8)      Sebagian besar partisipan yaitu 84% mengaku sudah pernah menonton film porno, dimulai dari usia 6 tahun hingga 19 tahun dan menonton dengan teman-teman, pacar bahkan dengan orang tua. Sedangkan 16% menyatakan belum pernah sama sekali menonton film porno. Pernah atau tidaknya menonton film porno tampaknya tidak membuat serta merta remaja setuju untuk melakukan seks pranikah. Beberapa mengaku keinginan menonton film porno untuk memiliki pengetahuan tentang seks dan tidak membuatnya ingin melakukan hubungan seks sebelum pernikahan. 

DISKUSI
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di balik persepsi tentang dampak negatif mengenai seks pranikah, ternyata sebagian remaja juga memandang adanya dampak positif dari seks pranikah. Antara lain seks pranikah dipandang sebagai arena pelatihan, bagi persiapan pernikahan nanti sehingga mereka menjadi tidak canggung dalam melangkah ke jenjang pernikahan. Lebih mengejutkan lagi, seks pranikah juga dipandang sebagai salah satu cara untuk memenangkan hati orang tua pasangan yang tidak merestui hubungan mereka. Efek psikologis setelah melakukan hubungan seksual dimana pasangan merasa menjadi sangat terikat secara emosional antara satu dengan yang lain juga sempat disampaikan oleh para remaja sebagai dampak positif seks pranikah. Selain itu, dorongan rasa ingin tahu yang menjadi ciri khas karakteristik masa remaja juga terpuaskan dengan melakukan hubungan seks pranikah. Menyikapi hal ini bila ingin membawa remaja terhindar dari kesediaan melakukan seks pranikah, tampaknya orangtua, guru maupun konselor perlu melawan keyakinan mengenai dampak positif seks pranikah yang bersifat dangkal dan bersifat jalan pintas ini dengan pemahaman yang lebih mendalam serta efek yang lebih bersifat jangka panjang dari seks pranikah. Remaja juga perlu diajar untuk mengembangkan hubungan dengan kekasih dan orang tua kekasih dengan hal-hal yang lebih positif, misalnya dengan komunikasi yang lebih efektif, prestasi serta sikap-sikap yang lebih baik untuk menjaga hubungan dengan kekasih maupun orangtua kekasih, tidak dengan cara melakukan hubungan seksual.

Hampir semua remaja dalam penelitian ini mampu menyebutkan dampak-dampak negatif dari seks pranikah yang meliputi sanksi moral (rasa berdosa melawan agama), sanksi sosial (dikucilkan masyarakat, ditolak orang tua karena sudah menyakiti hati orang tua dan mencoreng nama baik keluarga), maupun sanksi fisik (hamil, aborsi, bisa tertular penyakit menular). Meskipun hampir semua partisipan mampu menjabarkan adanya dampak negatif dari seks pranikah, namun demikian, 23% di antara mereka tetap bersedia melakukan hubungan seks pranikah. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang dampak negatif seks pranikah, tidak selalu membuat remaja menghindar dari perilaku melakukan hubungan seks pranikah. Dalam kajian lebih mendalam, dari ungkapan beberapa remaja dalam penelitian ini ditemukan bahwa sanksi moral dan sosial yang lebih mengarah ke penolakan keluarga (bukan hanya masyarakat) tampaknya lebih efektif untuk menghindarkan remaja dari seks pranikah dibandingkan sanksi fisik. Hal ini ditunjukkan dari jawaban para remaja yang menolak hubungan seks pranikah, seringkali menyebutkan alasan yang mengarah pada ketakutan mereka akan dosa serta melanggar aturan agama sehingga mereka tidak bersedia melakukan hubungan seks pranikah. Ini berarti bahwa keyakinan yang kuat akan nilai-nilai moral dan agama cukup  efektif dalam menghindarkan remaja dari seks pranikah. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa adanya hubungan negatif dan signifikan antara tingkat religiusitas seseorang dengan kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual pra nikah (Indriastuti, 2005). Selain itu, mereka juga menyebutkan adanya rasa takut akan mencoreng nama keluarga serta mengecewakan orang tua bila mereka melakukan seks pranikah. Kedua hal ini tampaknya cukup efektif dalam menghindarkan remaja dari seks pranikah. Sementara para remaja yang bersedia melakukan hubungan seks pranikah tidak menyebutkan pentingnya kedua hal ini sebagai alasan mengapa seks pranikah sebaiknya tidak dilakukan. Di antara yang bersedia melakukan hubungan seks pra nikah ini, kebanyakan dari mereka menyebutkan bahwa seks pranikah tidak boleh dilakukan lebih karena alasan sanksi fisik seperti tertularnya penyakit atau resiko kehamilan, sehingga bila masalah ini bisa diatasi (misalnya dengan KB agar tidak hamil, atau kondom agar tidak tertular penyakit, atau berhubungan hanya dengan pasangan yang sudah berkomitmen), mereka boleh saja melakukan hubungan seks pranikah. Sementara itu, penelitian Setiyawati (2005), menemukan bahwa pengetahuan remaja mengenai penyakit menular seksual memang cenderung berhubungan dengan rendahnya persetujuan mereka terhadap perilaku seks bebas, namun demikian terlihat bahwa sumbangan efektif dari dampak negatif seks bebas tersebut (dalam hal ini aspek fisik yaitu penyakit menular seksual) sangat kecil dalam mempengaruhi sikap remaja terhadap seks bebas (hanya 6,6%). Ini berarti, bahwa pengetahuan mengenai penyakit menular tidak cukup efektif dalam memberikan sumbangan bagi berkurangnya sikap terhadap perilaku seks bebas pada remaja.  


Dalam penelitian ini justru terungkap bahwa tampaknya kedekatan anak dengan orang tua, rasa bangga akan diri dan keluarga juga menjadi hal yang cukup ampuh dalam menjaga para remaja untuk terhindar dari seks pranikah. Ketika remaja menyadari bahwa tingkah lakunya akan berakibat pada orangtua dan keluarga yang dikasihinya, maka ia akan lebih mampu untuk mengerem tindakannya. Pada sebagian remaja putri, seks masih dianggap sebagai harta berharga yang akan dipersembahkan sebagai hadiah bagi suaminya kelak sehingga mereka menolak untuk melakukan seks pranikah. 
Hasil penelitian ini juga menunjukkan masih minimnya komunikasi antara orang tua dan anak mengenai masalah seksual. Seperti dilaporkan bahwa kurang dari separuh ibu (hanya 48%) membicarakan masalah seksualitas dengan anaknya, sementara 52% lainnya tidak. Sedangkan data ayah yang membicarakan masalah seksualitas remaja dengan anaknya bahkan lebih sedikit lagi yaitu hanya 26% saja . Hal ini mungkin terjadi karena masih adanya rasa tabu untuk membicarakan masalah seksual dengan anak bahkan orang tua seringkali justru cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini, sehingga menjadi salah satu faktor munculnya masalah seksual remaja (Sarwono,1994). Hal ini juga sempat diungkapkan oleh beberapa partisipan yang menyatakan betapa kikuknya membicarakan masalah seksual dengan orangtua. Hal ini memungkinkan remaja mencari tahu informasi seksual dari berbagai sumber lain yang mungkin tidak dapat dipertanggunjawabkan. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak ini membuka peluang bagi anak untuk mendapatkan konsep-konsep yang keliru mengenai seks pranikah sehingga membuat remaja terjerumus untuk melakukan seks pranikah. Padahal pemberian informasi mengenai seksual ini perlu diberikan, karena remaja memang sedang berada dalam potensi seksual yang akftif, namun memang seringkali mereka tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri (Mu’tadin dalam Jayanti, 2006).
Meskipun demikian, informasi mengenai seks yang disampaikan orangtua tanpa adanya ikatan emosional antara orang tua dan anak tampaknya juga tidak membawa dampak bagi terhindarnya remaja dari seks pranikah. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa anak yang mendapat informasi dari orangtua mengenai seks pranikah, tidak serta merta  otomatis menolak adanya seks pranikah, terutama bila orangtua hanya membicarakan masalah dampak negatif seks pranikah, sehingga remaja hanya merasa digurui oleh orangtuanya. Ikatan emosional antara orangtua dan anak tampaknya lebih diperlukan sehingga anak memiliki keinginan untuk menjaga nama baik keluarga dengan tidak melakukan hubungan seks pranikah dibandingkan hanya diberi informasi saja dan larangan-larangan mengenai seks pranikah.
Gambaran banyaknya remaja yang bersedia melakukan hubungan seks pranikah yaitu 23% dari jumlah partisipan penelitian, tampaknya mendukung penelitian-penelitian sebelumnya di kota-kota lain bahwa sudah cukup banyak remaja yang bersedia melakukan hubungan seks pranikah. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya penerimaan yang semakin luas terhadap orang yang pernah melakukan seks pranikah di kalangan remaja itu sendiri, sebagaimana ditunjukkan dalam data penelitian ini bahwa 62% partisipan bersedia menikah dengan orang yang pernah melakukan seks pranikah, dan hanya 38% yang menolak menikah dengan orang yang pernah melakukan hubungan seks sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan remaja terhadap mereka yang telah pernah melakukan hubungan seks cukup besar. Sebagian dari mereka juga berkomentar bahwa semakin sulit menemukan orang yang masih menjaga keperawanan dan keperjakaannya di masa sekarang ini, seperti mencari jarum diantara tumpukan jerami, sehingga mereka tidak berkeberatan menerima orang yang pernah melakukan hubungan seks pranikah sebagai suami/istri mereka. Penerimaan yang cukup besar terhadap pelaku seks pra nikah juga terungkap dalam penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Nugroho (2006) sebelumnya, mengenai penyesuaian diri remaja putri yang menikah akibat hamil pranikah. Sebagian besar partisipan dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa mereka tidak memiliki masalah untuk bergaul dengan lingkungannya meskipun telah ketahuan hamil terlebih dahulu sebelum menikah. Bahkan salah satu partisipan menyebutkan bahwa masyarakat di tempat ia tinggalnya menganggap bahwa apa yang terjadi pada subjek adalah hal yang sudah biasa terjadi di masyarakat, sehingga hal itu tidak perlu dirisaukan lagi. Dalam penelitian Nugroho juga terungkap bahwa rata-rata subjek melaporkan bahwa teman-teman mereka memberikan dukungan sosial pada saat mereka mengalami kehamilan di luar nikah. Hal ini berarti, para pelaku seks pra nikah justru cenderung mendapatkan dukungan sosial dari teman-temannya serta tidak mendapatkan penolakan dari lingkungannya, paling tidak itu yang dipersepsikan oleh remaja itu sendiri. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa dampak negatif berupa penolakan dari masyarakat tidak lagi cukup mempan untuk menghindarkan mereka dari tindakan seks pranikah, karena pada faktanya sudah ada penerimaan yang cukup besar diantara para remaja sendiri terhadap para pelaku seks pranikah.   
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pernah tidaknya para remaja ini menonton film porno tidak serta merta membuat remaja ini setuju dengan seks pranikah, sebagaimana terlihat dalam penelitian ini, bahwa sebagian besar partisipan pernah menonton film porno, namun hanya 23% yang setuju atau bersedia melakukan hubungan seks pranikah. Namun demikian, pengaruh paparan media yang mengandung muatan pornografi maupun pornoaksi tetap saja tidak dapat dikesampingkan, karena beberapa penelitian sebelumnya  telah menunjukkan bahwa paparan terhadap media pornografi cenderung memiliki hubungan positif yang signifikan dengan sikap terhadap perilaku seks bebas (Phillip dan Darmawan dalam Jayanti, 2006; Jayanti, 2006).

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pengaruh teman dekat yang pernah melakukan hubungan seks pranikah tampaknya tidak terlalu nampak dalam penelitian ini. Lebih dari sebagian partisipan melaporkan bahwa mereka memiliki teman dekat yang bersedia melakukan hubungan seks pranikah. Namun demikian hal ini tidak serta merta membuat mereka bersedia melakukan hubungan seks pranikah hanya karena mereka memiliki teman dekat (sahabat) yang bersedia melakukan hubungan seks pranikah. Penelitian Prasetya (2005) dan Purwaningsih (2006) mungkin dapat menjelaskan hal ini, dimana dalam kedua penelitian tersebut menemukan bahwa komformitas individu terhadap kelompok akan mempengaruhi bagaimana sikap individu terhadap seks pranikah. Jadi, meskipun kelompok mereka adalah kelompok yang setuju dengan seks pranikah, namun remaja tersebut tidak memiliki komformitas yang tinggi, bisa jadi individu tersebut tidak akan terseret untuk setuju dalam melakukan hubungan seks pranikah. Sebaliknya meskipun mereka berada dalam kelompok yang tidak setuju dengan seks pranikah, tanpa adanya konformitas terhadap kelompok, individu tersebut juga tetap dapat menunjukkan sikap yang berbeda dengan kelompoknya. Ini berarti juga bahwa meskipun berada dalam lingkungan yang setuju terhadap seks pranikah, tidak otomatis seorang remaja akan terpengaruh untuk setuju atau bersikap positif terhadap seks pranikah. Hal ini tampak juga dalam penelitian Agustinasari (2006) yang tidak menemukan adanya perbedaan sikap remaja terhadap hubungan seks pranikah pada mereka yang tinggal di daerah lokalisasi yang cenderung setuju terhadap seks pranikah, dan remaja yang tinggal di daerah perumahan yang cenderung tidak setuju terhadap seks pranikah. Dalam kedua kelompok tersebut ditemukan sikapnya terhadap seks pranikah sama-sama negatif. Hal ini memberikan harapan bagi orang tua bahwa bila anak memiliki pandangan yang benar, keyakinan yang benar, serta tidak sekedar mudah ikut-ikutan dengan kondisi lingkungannya, maka anak akan bisa terhindar dari pengaruh yang kurang baik (dalam hal ini kesediaan melakukan hubungan seks pranikah), meskipun mereka berada dalam lingkungan yang bersedia melakukan hubungan seks pranikah. Oleh karena itu, tugas orang tua adalah menanamkan keyakinan yang kuat terhadap anak-anaknya, misalnya melalui pendidikan moral dan agama, disertai dengan rasa kasih yang tulus, tidak hanya sekedar menggurui serta menuntut anaknya melakukan hal ini dan itu, sehingga anak-anaknya tidak mudah terpengaruh dengan hal-hal negatif di sekitarnya.  
DAFTAR PUSTAKA

Alfinah. 1995. Seks Bebas dan Kontroversi KB Remaja. Jakarta: Kompas.
Agustinasari, F. 2005. Perbedaan sikap remaja terhadap hubungan seksual pra-nikah ditnjau dari lokasi tempat tinggal. Skripsi: tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi-Universitas Kristen Satya Wacana

Indriastuti, M. 2005. Hubungan antara religiusitas dengan kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual pada remaja yang berpacaran. . Skripsi: tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi-Universitas Kristen Satya Wacana.

Jayanti, J.D. 2006. Hubungan antara kecenderungan perilaku mengakses situs porno dengan sikap terhadap perilaku seks bebas pada remaja akhir. Skripsi: tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi-Universitas Kristen Satya Wacana.

Kartika, S. 2004. Dua Juta Wanita di Indonesia Mengalami Aborsi Setiap Tahunnya. Diambil dari: http://www.smeru.or.id/ beritadaerah/files/20040823aborsijurnalperempuan.htm.

Kompas Cybermedia, 30 Oktober 2002 . Bila Seks Pranikah Dianggap Lumrah.  
http://www.kompas.com/kesehatan/news/0210/30/214613.htm

Media Indonesia Online. Selasa, 21 Juni 2005. Remaja Cenderung Berperilaku Seks Bebas. Diambil dari: http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=68173

Nugroho, H.D. 2005. Penyesuaian diri pada remaja putri yang menikah akibat hamil pranikah. Skripsi: tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi- Universitas Kristen Satya Wacana.

Purwaningsih. 2006. Hubungan antar konformitas dengan sikap terhadap perilaku seksual pranikah remaja akhir pada kelompok remaja gereja. . Skripsi: tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi-Universitas Kristen Satya Wacana.

Prasetya, R.Y. 2005. Hubungan antara konformitas dengan sikap terhadap perilaku seks bebas mahasiswa psikologi UKSW. . Skripsi: tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi-Universitas Kristen Satya Wacana.

Saraswati, W. 2002. Bila Seks Pranikah Dianggap Lumrah. Kompas, Kamis 12 September 2002. Diambil dari: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/16/or/259961.htm

Sarwono, S.W. 2000. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 

Setiyawati, D. 2005. Hubungan antara pengetahuan tentang penyakit menular seksual dan sikap remaja akhir terhdapa perilaku seks bebas. Skripsi: tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi-Universitas Kristen Satya Wacana.

Suara Merdeka Cybernews, Rabu 23 Juni 2004. Sex Pranikah Bahayakan Perempuan. Diambil dari: http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/ 0406/23/dar7.htm.


3 komentar:

About Me

Foto saya
Love arts and jokes... Life is tasteless without both of it!