Leelou Blogs
topbella

Jumat, 10 Desember 2010

Menjadi Ibu di Masa Kini

Oleh Berta Esti Ari Prasetya


Menjadi “ibu” jaman sekarang, adalah tugas yang penuh tantangan. Ada berbagai persoalan besar yang dihadapi para ibu dalam rangka membesarkan anaknya di masa sekarang dibandingkan di masa-masa dahulu. Sebagaimana dicatat oleh Lamanna dan Riedman (1994), berbagai persoalan itu misalnya:
  1. Semakin banyaknya ibu yang bekerja dan tidak hanya menjadi ibu rumah tangga. Hal ini mengakibatkan semakin minimnya waktu yang bisa diberikan oleh ibu untuk memfokuskan perhatian mereka kepada anak.
  2. Adanya standard yang lebih besar untuk membesarkan anak dibandingkan jaman dulu: Misalnya membesarkan anak sekarang tidak boleh memakai kekerasan (sudah ada Undang-Undang Anti Kekerasan terhadap Anak) sehingga perlu mengembangkan teknik lain, anak dituntut masyarakat untuk menguasai berbagai ketrampilan yang lebih kompleks daripada dulu (misalnya harus bisa internet, sempoa, bisa berenang, bisa bahasa Inggris dan Mandarin, materi pelajaran yang sangat banyak, dll.); juga kenyataan bahwa saat ini memiliki anak yang bisa lulus kuliah dan berpendidikan baik bukan lagi “pilihan” tapi semacam keharusan.
  3. Orang tua jaman sekarang membesarkan anak dalam masyarakat majemuk yang memiliki berbagai “nilai keyakinan” yang beraneka rupa, yang kadang bisa menimbulkan konflik. Hal ini terjadi karena makin majunya teknologi yang memungkinkan penyebaran informasi dan nilai-nilai keyakinan melalui berbagai sumber seperti: TV, film-film, buku, musik, internet, dll. yang bisa saja bertentangan dengan nilai-nilai yang telah kita ajarkan pada anak.
  4. Semakin getolnya orang-orang melakukan penelitian bagi perkembangan anak. Berbagai hasil penelitian meyakinkan bahwa sikap orang tua terhadap anak mempengaruhi IQ, kemampuan menghargai diri sendiri anak, keberhasilan anak di masa mendatang, kepribadian anak, dll. Hal ini semakin membuat orang tua, terutama ibu, yang sering ditunjuk sebagai “petugas membesarkan anak di rumah”, menjadi merasa bersalah dan cemas, takut bila telah melakukan kesalahan dalam membesarkan anak.
  5. Jenis keluarga yang semakin beragam dengan adanya kawin cerai, memungkinkan orang memiliki anak tiri, keluarga tanpa bapak atau ibu dll. Sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi para keluargapun semakin kompleks dan beragam.

Namun lepas dari semua persoalan itu, tetap perlu diingat juga bahwa kita saat ini memiliki banyak keuntungan dibandingkan dari orangtua jaman dulu. Misalnya di saat ini pemahaman tentang kesehatan sudah semakin membaik. Banyak penyakit anak yang sudah ditemukan obatnya, sehingga orang tua sudah tidak begitu kawatir lagi dibandingkan sekian tahun yang lampau mengenai kesehatan anak. Informasi mudah tersebar, sehingga memungkinkan pemberian informasi tentang perawatan anak melalui berbagai seminar, buku-buku petunjuk dan hasil2 penelitian yang dapat membantu cara membesarkan anak, baik dari TV, internet, film dll. Masa sekarang suami juga lebih terlibat dalam pengasuhan anak dibandingkan masa dulu, sehingga suami bisa menjadi teman sekerja para ibu dalam membesarkan anak, sehingga tanggung jawab pengasuhan anak tidak hanya dibebankan pada kaum ibu saja.
Dalam berbagai tantangannya menjadi ibu jaman sekarang, Semua ibu tentu mendambakan untuk dapat membesarkan anak yang “berhasil” meskipun harus berhadapan dengan tantangan jaman ini. Dalam hal ini, hal pertama yang perlu dikaji tentu adalah apakah konsep anak yang “berhasil” yang telah kita miliki itu sudah tepat. Seperti apakah anak berhasil? Apakah mereka yang bisa sukses menjadi orang kaya, bergelar kesarjanaan tertentu, patuh dan tunduk pada perintah orang tua? Kita sering terjebak dalam konsep anak yang berhasil hanyalah anak yang melulu memiliki segala hal yang dapat memberikan kebanggaan bagi orang tua di depan masyarakat. Terkadang kita lupa mencantumkan pentingnya “perasaan” anak kita sendiri tentang bagaimana menjadi dirinya.    
Bettelheim (1987) menegaskan bahwa indikasi bahwa kita telah membesarkan anak dengan benar bukan hanya produk luar bahwa anak itu telah mencapai gelar kesarjanaan tertentu atau jumlah materi ini atau itu. Tetapi yang terutama adalah bahwa anak tersebut menjadi orang yang mampu mengatasi persoalan-persoalan hidupnya bahkan yang berat. Ia mampu melakukan hal tersebut terutama karena dia memiliki rasa aman terhadap dirinya sendiri, meskipun bukan berarti bahwa dia tidak selalu bebas dari rasa ragu terhadap dirinya sendiri (karena hanya orang-orang yang terlalu sombong yang sama sekali tak pernah ragu akan dirinya sendiri). Ia orang yang punya inner- life yang kaya (kehidupan di dalam  pribadinya) dan membahagiakan, yang membuatnya puas akan hidupnya sendiri. Mampu menjaga hubungan yang memuaskan, “tahan lama”, dan dekat dengan orang lain, baik orang tua, saudara-saudara, serta orang-orang yang dikasihinya. Mereka juga orang yang bisa menikmati pekerjaannya, dan puas dengan apa yang dibuatnya dalam kehidupan ini. Anak-anak yang seperti inilah yang dapat bertahan dalam arus kehidupan yang bagaimanapun juga, yang tidak mudah terpengaruh meskipun diterpa arus informasi yang mungkin saja menyesatkan seperti sekarang ini, baik melalui TV, internet, film, musik dll.
Sebagai orang beriman kita tentu memiliki konsep pula bahwa anak yang berhasil adalah anak yang suatu kali akan menemukan TUHAN-nya, menerima Kristus sebagai juru selamat pribadinya dan menjadi bagian dari orang-orang yang diselamatkan. Seperti diungkapkan oleh seorang penulis bahwa tugas utama seorang ibu dalam membesarkan anak adalah mengenalkan anaknya pada sang Khalik yang telah mengirimnya ke kandungan seorang ibu, supaya bahkan sejak anak dalam kandungan sang ibu, ibu sudah mulai berdoa dan membimbing supaya si anak dapat belajar tentang Tuhannya, sehingga suatu saat si anak dapat mengenalNya dan berbicara kepada Tuhannya.
Dalam hal ini, maka yang disebut membesarkan anak dengan benar bukan hanya menciptakan anak yang sekedar patuh pada perintah orang tua, dan “baik” dalam pandangan masyarakat saja, tapi yang penting adalah anak yang mampu mengembangkan prinsip hidupnya sendiri yang bertanggung jawab, mandiri, kreatif, dan memiliki kehidupan pribadi yang hidup, dan menikmati serta bahagia menjadi dirinya sendiri, dan yang tak kalah penting adalah mengenal Allahnya yang benar.

Membesarkan Anak
Sebelum kita berbicara tentang “teknik” membesarkan anak, ada yang perlu diperhatikan seperti yang dinyatakan oleh Bettleheim (1987) bahwa membesarkan setiap anak memiliki pengalaman yang berbeda-beda antara anak satu dan yang lain. Setiap anak begitu unik, sehingga Bettelheim (1987) pun berpendapat bahwa teori untuk membesarkan anak tidak bisa begitu saja digeneralisir untuk semua orang. Beberapa penelitian juga dicatat oleh Gray (2001) menemukan bahwa setiap anakpun mempengaruhi cara orang tua membesarkan anak-anak itu dengan cara yang berbeda. Setiap anak menimbulkan perasaan yang berbeda di dalam hati orang tuanya, setiap anak bereaksi dengan cara yang berbeda pula dalam menanggapi tindakan orang tuanya, sehingga hal ini juga rupanya membuat orang tuanya memperlakukan anak dengan cara yang khas sendiri-sendiri.
Hal di atas dapat diartikan bahwa meskipun kita punya teori tentang membesarkan anak, namun kita tidak boleh terjebak, dan berpatokan mati terhadap teori-teori tersebut. Namun sebaliknya kita harus selalu tanggap terhadap sifat “UNIK” sang anak. Dicontohkan oleh Bettleheim (1987) bahwa seperti dalam bermain catur, kita mungkin pernah belajar tentang metode bermain catur, namun saat benar-benar bermain, kita tidak pernah tahu bagaimana langkah yang akan ditempuh lawan catur kita. Sama seperti saat kita bermain catur, kitapun tidak pernah bisa menduga bagaimana reaksi anak, dan seberapa  efektif langkah yang telah kita tempuh.
Sehubungan dengan hal di atas, maka hal yang diperlukan untuk menjadi ibu yang efektif bukanlah hanya sekedar teknik, tetapi yang lebih utama adalah menjadi ibu yang “tanggap”, dan sensitive terhadap kebutuhan dan reaksi anak. Sebagaimana Bettleheim (1987) mengggaris bawahi bahwa orang tua harus selalu bersedia mengevaluasi setiap langkah yang dibuatnya dan melihat apakah langkah mereka sudah efektif. Untuk hal ini, maka keahlian pertama yang paling penting dalam membesarkan anak adalah “sikap empati” terhadap anak, yaitu berusaha menyelami apa yang kira-kira dirasakan oleh anak, apa sebenarnya motif dari setiap tindakan anak, apa kebutuhan yang sedang dipenuhi oleh anak-anak sehingga mereka bersikap tertentu. Dengan kemampuan ini orang tua dapat menilai apakah tindakan yang telah dilakukannya tepat bagi anak tersebut, atau sebaliknya justru telah melukai perasaan anaknya, yang menyebabkan reaksi yang diharapkan dalam jangka panjang. 
Pada saat yang sama, hal lain yang perlu dimiliki adalah kemampuan menyelami perasaan kita sendiri. Hal ini sangat penting mengingat hubungan antara ibu dan anak adalah hubungan antara dua individu. Para ibu bukanlah robot yang tidak memiliki perasaan, keterbatasan-keterbatasan dan kelelahan dalam menghadapi reaksi-reaksi anak yang mungkin jauh dari yang diinginkan. Memahami apa yang sedang sedang rasakan dan pikirkan dalam menghadapi anak akan menolong para ibu untuk dapat menempatkan porsi yang semestinya bagi perasaan dan pikirannya sehingga tidak perlu kehabisan energi dan tetap menikmati tugas sebagai ibu. Saat reaksi antara ibu dan anak begitu intens, para ibu perlu untuk berhenti sejenak untuk menempatkan pikiran dan perasaannya pada takaran yang semestinya. Pada saat yang sama para ibu perlu mengevaluasi, sebenarnya apa motif perilakunya sendiri saat menghadapi anak-anaknya, niat di hatinya sendiri sehingga ia bersikap tertentu terhadap anak. Benarkah ia berniat demi kepentingan anak? Atau ia sebenarnya sedang memanipulasi anak demi kepentingan pribadi mereka sendiri? 
Lebih lanjut Bettleheim (1987) menyebutkan bahwa untuk menjadi orang tua yang baik, (dalam hal ini menjadi ibu yang baik), orang tua harus mampu merasa aman dan tidak cemas dalam perannya sebagai orang tua, dan hubungannya dengan anaknya. Penting pula mengenali “bagaimana perasaan kita sendiri menjadi orangtua bagi anak tersebut”. Menjadi orang tua yang baik hanya bisa dimulai dengan rasa nyamannya menjadi orang tua dan kegembiraannya menjalani peran sebagai orang tua. Rasa aman ini akan membuat anak juga merasa aman tentang dirinya sendiri (Bettleheim, 1987).
Sebelum kita membicarakan tentang bagaimana membesarkan seorang anak, yang perlu juga kita sadari adalah bahwa kita tidak hanya sedang mengajarkan kepada anak melalui apa yang kita katakan, tetapi sebagaimana dicatat dalam banyak penelitian bahwa anak belajar dari apa yang kita lakukan (Lasswell & Lasswell (1987). Orang tua adalah model nyata bagi anak. Sehingga untuk mengajarkan anak untuk berkembang menjadi orang yang baik, kita sendiri harus telah menjadi “contoh hidup” dari hal-hal yang kita ajarkan kepada anak kita. Oleh karena itu, sebelum kita sibuk memikirkan teknik apa yang tepat dan mengevaluasi teknik-teknik kita, sangat perlu kita juga selalu mengevaluasi kita sendiri saat ini ada di mana dalam jenjang atau tahap “perkembangan hidup” kita sendiri. Oleh karena itu, perlunya terus menjadi “orang yang bertumbuh”, “berkembang” bukan saja menjadi tugas bagi anak-anak kita, tetapi terutama tentu juga menjadi “PR” bagi diri kita sendiri. Sebagaimana tugas kita untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak kita dan mengajarkan kepada anak-anak kita cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, kitapun harus perduli dan mau belajar tentang bagaimana memenuhi kebutuhan kita sendiri sebagai manusia yang terus bertumbuh dan perlu untuk bertumbuh. Hanya dengan cara inilah anak-anak kita mendapat “contoh hidup” mengenai kehidupan yang tak pernah mandeg, proses belajar yang tak pernah berhenti, perjuangan untuk menjadi “lebih baik” yang tak pernah berkesudahan. 
Pertanyaan berikutnya: adalah bagaimana dapat mampu menyelami kebutuhan anak, maupun menyelami kebutuhan kita sendiri sebagai ibu.  Untuk mampu berempati terhadap perasaan dan kebutuhan anak, dan mengevaluasi sampai di mana perkembangan hidup kita sendiri, salah satu teori perkembangan anak mungkin dapat memberikan gambaran tentang kebutuhan anak dan kebutuhan kita sendiri sesuai dengan tahap usia anak maupun usia kita sendiri.

Delapan tahap perkembangan Erikson (dalam Santrock, 1995).

  1. Trust vs mistrust (percaya – tidak percaya): tahun pertama

Pada anak usia ini, mereka membutuhkan perasaan nyaman secara fisik, bebas dari rasa takut dan cemas akan kelangsungan hidupnya. Bila kebutuhan anak dasar dipenuhi oleh pengasuh dengan kasih sayang, pengasuh tanggap dan peka terhadap kebutuhan anak, maka anak akan berkembang menjadi anak yang memiliki trust(kepercayaan) akan orang di sekitarnya. Ia akan percaya bahwa dunia dimana dia tinggal adalah dunia yang baik. Sebaliknya bila anak diasuh dengan kasar, kebutuhan fisiknya tidak dipenuhi, merasakan ketidaknyamanan fisik dan memiliki rasa cemas dan takut, maka ia akan mengembangkan mistrust (ketidakpercayaan). Dia cemas akan dunia di sekitarnya. Sehingga tugas utama ibu pada masa ini adalah memenuhi kebutuhan fisiknya, membebaskan anak-anak ini dari rasa cemas dan takut. Bettleheim (1987) menambahkahan bahwa perkembangan diri, punya dasar pada “body-self” (tubuh fisik) satu hal terbaik yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk membantu anak mengembangkan body-self yang positif terhadap tubuhnya adalah dengan membuatnya merasa baik mengenai tubuhnya dan apa yang bisa dilakukan tubuh bagi anak itu, dan betapa orang tua menghargai tubuh anak dan menyayanginya, sehingga anak akan melakukan hal yang sama terhadap tubuhnya sendiri. Hal ini bisa ditunjukkan oleh ibu dengan cara merawat anak dengan lembut dan menghargainya. Penghargaan orang tua ini akan membuat anak menyadari juga untuk menghargai tubuhnya sendiri, dan punya keinginan supaya tubuhnya tidak rusak. Di masa-masa mendatang, penghargaan terhadap tubuhnya sendiri ini bisa menjadi dasar bagi terhindarnya anak dari tindakan-tindakan merusak tubuhnya baik melalui obat-obatan terlarang, rokok, seks bebas dll.


  1. Otonomi vs doubt (Otonomi – Rasa malu atau ragu-ragu): tahun ke-2.

Pada umur ini, bayi yang memiliki rasa percaya pada lingkungannya akan berani mencoba beberapa hal, dan akhirnya tahu bahwa dirinya bisa melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Ia mengembangkan kemampuan otonomi atau kemandirian. Apabila orang tua mendukung, memuji usahanya, dia akan semakin yakin bahwa ia mampu merasakan kemandirian mereka. Namun sebaliknya jika bayi dibatasi, dihukum terlalu keras yang tidak pada tempatnya, maka cenderung akan mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu akan kemampuan dirinya (doubt/ragu-ragu). Sehingga tugas utama ibu pada masa ini adalah mendukung anak, memuji “usaha”-nya untuk mandiri, memberikan pengakuan yang diperlukan anak sehingga anak meyakini bahwa ia memiliki otonomi atas hidupnya sendiri.

  1. Industry vs guilty feeling (Prakarsa – Rasa bersalah): usia pra-sekolah 3-5 th.
Pada perkembangan berikutnya anak-anak dihadapkan pada tantangan yang lebih luas, lingkungan yang lebih luas. Anak-anak yang memiliki kemandirian, dalam masa sekolahnya semakin ingin menunjukkan bahwa ia mampu membuat sesuatu, punya prakarsa memproduksi sesuatu, memiliki keberhasilan-keberhasilan dalam hidupnya. Sebaliknya bila anak ragu-ragu, ia tidak akan dapat memproduksi terlalu banyak dalam masa sekolahnya. Hal ini akan menimbulkan perasaan bersalah dalam diri anak dan rasa cemas. Pada masa ini ibu perlu memberikan pengakuan atas keberhasilan anak sekecil apapun, meyakinkan anak bahwa dengan usahanya ia akan mampu menghasilkan sesuatu. Kritik yang berlebihan hanya akan menimbulkan perasaan bersalah dalam diri anak. Pertanyaan bagi kita semua, sejauhmana kita sudah “menyatakan” pengakuan kita terhadap anak kita selama ini?

  1. Tekun dan rasa rendah diri (tahun 6 sampe awal pubertas).Anak-anak yang tahu bahwa ia mampu memiliki prakarsa dan menghasilkan sesuatu yang baik, menyadari bahwa pekerjaannya tidak sia-sia. Mereka akan mengembangkan sikap tekun dalam menjalani tantangan-tantangan di masa kanaknya. Sebaliknya, anak yang memiliki banyak rasa bersalah, merasa tidak mampu berprakarsa dan menghasilkan sesuatu yang berharga akan mengembangkan sikap rendah diri. Dihadapkan pada masalah bersekolah, orang tua dan anak sering dihadapkan pada konflik terutama hal-hal yang berhubungan dengan prestasi anak di sekolah. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa tahap kemampuan berpikir seorang anak dan orang tua itu berbeda. Kemampuan orang tua untuk berpikir jangka panjang, mampu membuat orang tua begitu kawatir dengan prestasi belajar anak-anaknya yang rendah, yang mungkin bisa membuat masa depannya terasa suram. Sementara anak sendiri berpikir yang dimaksudkan dengan masa depan adalah “besok pagi”, karena kemampuan berpikirnya masih pada hal-hal yang terlihat dengan jelas, tampak di depan mata, yaitu hari ini, sementara bagi orang tua, esok hari adalah sangat penting.

  1. Identitas dan kebingungan identitas (masa remaja 10-20th).
Kemampuan berpikir anak mulai berkembang, pada masa ini anak mulai mencari jati dirinya. Anak yang sebelumnya telah mengembangkan kemandirian, industry, dan rasa tekun akan memiliki gambaran diri yang jelas tentang dirinya. Sementara yang dipenuhi rasa ragu, rasa bersalah, rasa rendah diri akan mengalami kebingungan siapakah dirinya.
Pada masa ini ibu perlu menyadari sikap khas masa ini adalah bahwa anak sedang berusaha menunjukkan bahwa dirinya memiliki kemauan mereka sendiri yang mungkin berbeda dari kemauan sang ibu. Ibu perlu menunjukkan penghargaannya atas kemandirian anak dan pemahamannya atas ide-ide anak yang mungkin berbeda dari sang ibu, meskipun tanpa harus selalu setuju atas ide-ide tersebut. Komunikasi yang baik yang telah dipupuk dari masa-masa sebelumnya akan menjadi jembatan bagi dilakukannya diskusi antara kedua belah pihak.
  
  1. Intimacy vs Isolation (Keakraban – keterkucilan) masa dewasa awal 20-an, 30-an).
Pada masa ini seseorang mulai menghadapi tugas perkembangan untuk membentuk relasi yang akrab dengan orang lain. Orang yang telah menemukan jati dirinya, cenderung tidak mengalami kesulitan membentuk hubungan dengan orang lain. Punya rasa percaya diri, dan juga kepercayaan terhadap orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya, orang-orang yang masih mengalami kebingungan siapakah dirinya, memiliki persoalan-persoalan harga diri, akan mengalami kesulitan dalam membina hubungan yang akrab dengan orang lain, sehingga mengalami perasaan terkucil, kesepian, terisolasi. Bila para ibu sedang berada pada masa ini, perlu diperhatikan apakah kebutuhan intimacynya sendiri telah terpenuhi dengan baik dalam hubungannya dengan suami. Penelitian membuktikan bahwa kepuasan pernikahan dengan suami sangat menentukan kesehatan mental, tingkat stress, maupun kesehatan fisik para ibu (Ross, Mirowsky, & Goldsteen, 1990). Belsky and Fish (1991) juga menemukan bahwa ibu-ibu yang tidak puas terhadap perkawinannya dengan suami mempengaruhi sikapnya terhadap anak, ibu-ibu ini cenderung menjadi lebih tidak sensitive terhadap kebutuhan anak-anaknya. 

  1. Bangkit dan Mandeg (masa pertengahan 40-an, 50-an tahun)
Pada masa ini seseorang akan mulai mengarahkan dirinya untuk orang lain. Hidupnya mulai berkembang berpikir untuk orang-orang lain di sekitarnya, untuk suaminya, untuk anak-anaknya, untuk masyarakat di sekitarnya. Orang yang gagal di masa ini akan masih berkutat dengan dirinya sendiri, segala sesuatu untuk dirinya, dan tidak mau berpikir untuk kepentingan orang lain. Hal ini disebabkan akan kehausannya pada masa-masa sebelumnya bahwa ia tak pernah mendapatkan perhatian dan kasih seperti yang dia inginkan. Oleh karena ibu-ibu perlu melihat dirinya sendiri apakah dia sudah bisa mengatasi keinginannya sendiri untuk selalu menjadi pusat perhatian, pusat kasih sayang, ataukah sudah bisa berkembang menjadi orang yang bersedia memberi dan berkorban bagi orang-orang di sekitarnya.

  1. Keutuhan dan keputusasaan (masa akhir dewasa 60-an tahun).
Pada masa ini seseorang akan menoleh ke masa lalu dan mengevaluasi apa yang telah mereka lalukan dalam kehidupan mereka. Bila mereka melihat bahwa hidup mereka berharga dan telah mencapai hal-hal yang baik maka akan menimbulkan perasaan utuh, bahwa ia telah melampaui hidupnya dengan baik. Sebaliknya bila dia melihat tidak ada pencapaian yang berarti dalam hidupnya ia akan mengalami keputusasaan dan kehampaan dalam hidup.

Fakta Penelitian mengenai Praktek Pengasuhan Anak

Sehubungan dengan fakta tentang pengasuhan anak, ada beberapa hal yang mungkin perlu diingat sebagaimana dicatat oleh Laswell & Laswell (1987):
1. Tokoh di psikologi menekankan pentingnya pengalaman awal seorang anak, yang akan membentuk menjadi seperti apa anak kelak. Namun, mereka percaya kemampuan untuk berubah itu ada, namun makin tua, perubahan itu akan makin sulit untuk terjadi. Orang semakin sudah mapan, semakin sulit untuk diubah.
2. Yang terutama dalam membesarkan anak adalah adanya peraturan yang konsisten, kasih sayang, dan keterlibatan orang tua dalam pengasuhan anak-anaknya. Kenakalan anak muncul karena tidak adanya ketiga hal ini.
3. Hukuman memang diperlukan tetapi harus dilakukan dengan sangat bijaksana. Disarankan dilakukan tidak berselang terlalu lama dari saat kejadian, disertai dengan penjelasan mengapa hal tersebut tidak diharapkan, dan diberikan alternative perilaku apa yang diharapkan.
4. Para therapist keluarga percaya bahwa keluarga yang berhasil biasanya ditandai dengan orang tua yang kompak, yang bekerja sama dengan baik dalam membesarkan anak dan adanya komunikasi yang baik di antara anggota keluarga.

Penutup
Hal terakhir yang perlu diingat adalah fakta bahwa anak berkembang dari masa dependency ke self-sufficiency (mampu memenuhi kebutuhannya sendiri)  (Lamanna & Riedman, 1994). Ini mengindikasikan bahwa mau tidak mau orang tua semestinya menyadari bahwa secara natural mereka akan mengalami bahwa kemampuan mengontrol anak-anak akan semakin menurun (Gray, 2001), dalam arti, bahwa lama kelamaan anak-anak akan semakin mandiri untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri dan tidak lagi dibawah control kita lagi. Lebih lanjut Gray (2001) mengingatkan bahwa tugas “membesarkan anak” ada masanya berhenti. Anak-anak suatu saat akan menjadi orang dewasa yang tahu menentukan hidupnya sendiri. Kita harus menyadari kapan saatnya kita sudah berhenti dari tugas ini dan menghargai mereka sebagai orang dewasa yang mandiri dan bukan lagi menjadi tanggung jawab kita sepenuhnya.  Sebagian orangtua tidak tahu kapan berhenti bertindak “membesarkan anak”, sehingga saat anak-anak sudah mampu menentukan kemauannya sendiri orang tua masih ngotot mendikte dan masih merasa dia berkuasa atas hidup anak-anaknya. Hal ini hanya akan menimbulkan konflik berkepanjangan antara orang tua dan anak yang tidak semestinya.
Lepas dari segala persoalan dan peliknya tugas pengasuhan anak, satu hal yang penting untuk dikembangkan oleh orang tua adalah membangun harga diri dan keyakinan dirinya menjadi orang tua. Yang penting adalah orang tua juga belajar menyadari keterbatasannya dan mengakui bahwa sebagai manusia kita tak pernah lepas dari kesalahan. Daripada merasa bersalah dan berduka atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya, orang tua juga tetap memfokuskan pikirannya pada kenyataan bahwa ia telah juga melakukan hal yang baik bagi perkembangan anak-anaknya.

Daftar Pustaka:

Belsky dan Fish (1991). Continuity and discontinuity in infant negative and positive emotionality: Family antecedents and attachment consequences. Developmental Psychology, 27, 421-431.
Bettelheim, B. (1987). A Good Enough Parents. New York : Vintage Books
Gray, J. (2001). Children are from heaven. Jakarta: Gramedia Pustaka
Lamanna dan Riedman (1994). Marriage and Families. California: International Thompson Publishing
Laswell, M.  dan Laswell, T. (1987). Marriage and the Family. California: Wadsworth P.Comp
Ross, C. E., Mirowsky, J., & Goldsteen, K. (1990). The impact of the family on health: The decade in review. Journal of Marriage and the Family, 52, 1059-1078.
Santrock (1995). Life Span Development. Jakarta: Erlangga


Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Tingkat Self-Disclosure pada Mahasiswa di Salatiga

 



               VS 







Berta E A Prasetya
 Universitas Kristen Satya Wacana

Abstract

The purpose of this study is to investigate whether there is an effect of sex (male and female) towards level of self-disclosure among students of higher education in Salatiga. Experiment method was used for this research. The groups of male and female were asked to communicate to each other for a month, either using SMS (text message) or face to face interaction. There were 40 participants were involved in this study. Using Self-Disclosure Scale, the level of self-disclosure was measured. The data of total score of self-disclosure was analyzed using t-test. The result indicated that the mean difference between male and female groups failed to reach its level of significance (t=1.271; p>0.05). Even so, the significant difference between male and female groups was found among some items of the self-disclosure scale. The result and implication of the study were discussed.  

Key words: self-disclosure, sex.

Pendahuluan
Semenjak Jourard (1964) pertama kali mempopulerkan istilah self-disclosure, fenomena mengenai self-disclosure telah menyita perhatian para peneliti untuk meneliti self-disclosure individu dari berbagai sisi (Kowalski, 1991). Altman & Taylor (1973) menyatakan bahwa self-disclosure adalah hal yang sangat esensial untuk dapat terbentuknya suatu hubungan yang dekat dengan orang lain. Tanpa self-disclosure mustahil untuk membentuk keintiman, rasa dekat dan hubungan yang bermakna dengan orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa self-disclosure memungkinkan individu untuk memiliki interaksi yang ekstensif dengan orang lain dan memiliki hubungan yang intim dengan orang lain.  (http://www.abacon.com/commstudies/interpersonal/ indisclosure.html).
Wang dan Andersen (2008) menemukan bahwa self-disclosure memiliki korelasi yang kuat dengan kualitas persahabatan antar individu. Derlega, Metts, Petronio, dan Margulis (1993) menyatakan bahwa self-disclosure merupakan hal yang fundamental dalam komunikasi interpersonal. Self-disclosure dianggap hal yang utama dalam pembentukan, pemeliharaan hubungan dekat antar individu. Bahkan Lauer & Lauer (2000) menyatakan bahwa self-disclosure merupakan mekanisme yang paling penting dalam pembentukan keintiman dengan orang lain. Tanpa self-disclosure mustahil untuk membentuk keintiman, rasa dekat dan hubungan yang bermakna dengan orang lain.
Dalam masa remaja akhir dan dewasa awal, membangun hubungan keintiman dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan individu (Erikson, dalam Halonen & Santrock, 1999). Keberhasilan maupun kegagalan individu untuk membentuk keintiman dengan individu lain akan menjadi pencapaian penting bagi rasa keberhasilan pada masa perkembangan ini. Sebagaimana disampaikan oleh Lauer & Lauer (2000) sebelumnya, bahwa self-disclosure merupakan faktor yang dianggap penting untuk dapat terbentuknya keintiman ini, maka dapat dikatakan, keberhasilan penyelesaian tugas perkembangan pada masa ini tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan individu untuk melakukan self-disclosure dengan individu lain.
Beberapa literature sebelumnya telah mencatat bahwa pria dan wanita memiliki beberapa karakteristik yang berbeda. Dalam hal self-disclosure, DeVito (1997) menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan faktor penentu munculnya self-disclosure individu. Laki-laki biasanya cenderung kurang terbuka dibandingkan perempuan. Hasil yang sama juga ditemukan dalam penelitian Papini, Farmer, Clark, Micka dan Barnett (1990) maupun penelitian Dindia dan Allen (1992). Namun berbeda dengan hal itu, hasil penelitian Seung (2007) maupun Garcia & Geisler (1988) menemukan bahwa tidak ada perbedaan kecenderungan self-disclosure antara remaja perempuan dan remaja laki-laki.
Para peneliti mencatat bahwa kesediaan individu untuk membuka diri, merupakan suatu bentuk reciprocal action, yaitu hubungan yang bersifat saling berbalasan. Suatu hubungan yang harmonis membutuhkan tingkat self-disclosure yang sama di antara kedua pihak. Dengan demikian, kurangnya keterbukan salah satu pihak, bisa menimbulkan kurangnya keterbukaan pihak lain. Bila memang laki-laki ataupun perempuan memiliki tingkat self-disclosure yang berbeda, bisa dibayangkan bahwa pengembangan keintiman antara laki-laki dan perempuan bisa saja mendapatkan hambatan karena ini. Padahal sebelumnya telah dinyatakan oleh Erikson (dalam Halonen & Santrock, 1999) bahwa keberhasilan pengembangan keintiman merupakan salah satu tugas perkembangan di masa remaja akhir/dewasa awal ini.
Sehubungan dengan usia remaja akhir/dewasa awal, kalangan mahasiswa merupakan populasi terbesar yang berada pada kurun usia ini. Mengingat hal itu, maka penelitian ini bermaksud meneliti apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap tingkat self-disclosure para mahasiswa di Salatiga.

Tinjauan Pustaka

1. Self-Disclosure
a. Definisi Self-Disclosure
Pengungkapan diri atau self-disclosure didefisinisikan sebagai salah satu bentuk komunikasi yang bermaksud mengungkapkan informasi mengenai diri individu (DeVito, 1997; Cozby, 1973). Derlega dkk. (1993) menekankan bahwa self-disclosure menyangkut pengungkapan informasi-informasi tentang diri yang biasanya secara aktif disembunyikan.
Wrightsman (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) menyatakan bahwa self-disclosure adalah proses menghadirkan diri yang diwujudkan dalam kegiatan membagi perasaan dan informasi dengan orang lain. Lebih lanjut Morton (dalam Sears, Freedman, & Peplau, 1989) menambahkan bahwa informasi yang dibagikan dapat bersifat deskriptif maupun evaluatif. Deskriptif meliputi gambaran tentang fakta diri, seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan dll. Sedangkan Evaluatif lebih menekankan pada perasaan maupun pendapatnya mengenai sesuatu.
 Dapat disimpulkan bahwa self-disclosure adalah kegiatan mengungkapkan informasi mengenai diri individu, atau hal-hal yang berhubungan dengan individu tersebut, maupun orang lain yang dekat dengan dirinya, baik yang bersifat deskriptif maupun evaluatif.
b. Pengukuran Tingkat Self-Disclosure


Teori penetrasi sosial yang dikembangkan oleh  Altman dan Taylor (2001) menyatakan bahwa kepribadian individu digambarkan seperti lapisan-lapisan bawang. Ketika individu semakin bersedia dekat dengan orang lain, berbagai aspek dari kepribadiannya akan terkupas satu demi satu dari lapisan yang paling luar hingga bagian terdalam. Informasi yang tidak terlalu rahasia berada pada bagian terluar, seperti agama yang dianut, nama, dll., sementara informasi yang sangat pribadi berada pada bagian paling dalam, seperti perasaan-perasaan yang bersifat mengancam, hal-hal sensitive seperti masalah seksual dll. Sejauh mana individu bersedia menceritakan lapisan demi lapisan ini menggambarkan kedalaman atau tingkat self-disclosure individu tersebut.
DeVito (1997) memandang self-disclosure dapat dilihat dari sejauh mana individu bersedia mengungkapkan informasi mengenai beberapa aspek dalam kehidupannya antara lain:
a.       Sikap terhadap agama, baik diri sendiri maupun orang tua.
b.      Pandangan mengenai aborsi, hubungan di luar nikah.
c.       Penggunaan waktu senggang yang utama, tujuan pribadi, kejadian paling memalukan, keinginan yang tidak terpenuhi, kebahagiaan saat ini, kesalahan terbesar.
d.      Khayalan seksual, pengalaman seksual di masa lalu, daya tarik seksual yang dimiliki maupun yang diinginkan.
e.       Atribusi fisik yang negatif, kelemahan utama
f.        Sahabat ideal
g.       Perilaku minum/obat bius
h.       Konsep diri secara umum. 
 

2. Definisi  Jenis Kelamin 
Jenis kelamin didefinisikan sebagi sifat (keadaan) jantan atau betina. Dalam hal ini lebih mengacu pada aspek biologis seseorang apakah ia laki-laki atau perempuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995). Jenis kelamin dibedakan dengan gender, yang mengarah pada perilaku belajar sosial, sikap maupun harapan dari masyarakat yang sering muncul sebagai akibat dari jenis kelamin sebagai seorang baik laki-laki maupun perempuan (Scharwrtz dan Scott, 2001).

3. Pengaruh Jenis Kelamin terhadap tingkat Self-Disclosure.
Dilihat dari struktur genetis memang ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, demikian juga dalam hormonalnya (Goldberg dalam York, 2004). Dari sisi genetis, ada perbedaan kromosom antara laki-laki dan perempuan yang akan membawa karakteristik tertentu dan membuat kedua jenis kelamin mengembangkan strategi-strategi tertentu untuk menjalani kehidupannya.   Kadar testosteron yang tinggi pada kaum lelaki memungkinkan lelaki lebih menunjukkan dominansi, keagresifan dibandingkan kamu perempuan yang lebih tampak menunjukkan kelembutan.
Penelitian Tannen (dalam Brenzedine, 2006) menemukan bahwa anak perempuan lebih sering mengajukan usulan yang bersifat kolaboratif, biasa menggunakan bahasa untuk mencapai konsensus. Sedangkan pada laki-laki, bahasa digunakan lebih untuk meminta segala sesuatu, mengancam, dan mematahkan upaya saling berbicara. Sementara itu, Edwards et al (2006) menyatakan bahwa perkembangan hubungan pada anak perempuan akan bertambah melalui kegiatan verbal sementara laki-laki pada permainan yang menekankan persaingan dan menuntut munculnya pihak yang menang kalah.
Dari hal di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan cenderung lebih mengembangkan ketrampilan verbal dibandingkan dengan kaum laki-laki. Adanya kemampuan untuk mengembangkan hubungan dengan komunikasi verbal akan memungkinkan lebih berkembang pula self-disclosure. Sebagaimana telah dicatat oleh DeVito (1997) bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor penentu self-disclosure. Lebih lanjut DeVito menjelaskan bahwa laki-laki cenderung kurang terbuka daripada wanita.
Hasil berbagai penelitian menunjukkan hasil yang beragam mengenai kebenaran adanya perbedaan self-disclosure antara laki-laki dan perempuan. Penelitian Papini, Farmer, Clark, Micka dan Barnett (1990) yang meneliti gender dalam pola self-disclosure  menemukan bahwa anak remaja perempuan cenderung lebih tinggi kecenderungan self-disclosure-nya dalam masalah-masalah emosional terhadap orang tua maupun teman sebayanya daripada para remaja laki-laki. Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian Dindia dan Allen (1992) yang menemukan bahwa wanita memiliki kecenderungan self-disclosure yang lebih tinggi daripada laki-laki dan cenderung mendapatkan self-disclousure yang lebih tinggi pula dari orang-orang lain baik pria maupun wanita. Hal serupa juga didapati dalam penelitian Vera (dalam Billeter, 2002).
Hasil yang berbeda didapati dalam penelitian yang dikembangkan Seung (2007) maupun penelitian Garcia dan Geisler (1988) yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan kecenderungan self-disclosure antara remaja perempuan dan remaja laki-laki. Lebih lanjut mereka berargumen bahwa tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal self-disclosure tersebut dikarenakan masa remaja masih merupakan masa transisi dari masa kanak ke masa dewasa. Diperkirakan pada masa ini baik remaja laki-laki maupun perempuan belum sepenuhnya menerima peran gender pria dan wanita sebagaimana tercantum peran gender tradisional yang membedakan dengan tegas peran pria yang dibedakan dari peran wanita, sehingga perbedaan peran pria dan wanita dalam self-disclosure juga tidak tampak pada remaja.
Penelitian dari Long dan Long (1976) dan Chesner dan Beaumeister (1985) mungkin bisa menjadi catatan lain dalam hal perbedaan self-disclosure antara pria dan wanita.  Ditemukan bahwa perbedaan kecenderungan self-disclosure antara laki-laki dan perempuan akan tergantung dari karakteristik tertentu dari lawan bicara dari individu tersebut. Dalam penelitian ini karakter tersebut adalah status agama tertentu dari lawan bicara.  
Sementara itu, penelitian Stokes, Childs, dan Fuebrer (1981) menemukan bahwa tingkat self-disclosure antara laki-laki dan perempuan dimediasi oleh hubungan individu dengan target self-disclosure tersebut. Perempuan memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam hal self-disclosure daripada laki-laki apabila targetnya adalah kawan dekat. Sementara itu, perempuan cenderung memiliki tingkat self-disclosure yang lebih rendah daripada laki-laki apabila target self-disclosure-nya adalah orang asing atau orang yang tidak dikenalnya. Namun hasil penelitian ini tidak ter-replikasi dalam penelitian Hargie, Tourish, dan Curtis (2001) yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita dalam hal self-disclosure terhadap orang asing.
Penelitian Derlega, Winstead, Wong dan Hunter (1985) menemukan bahwa kecenderungan self-disclosure ditemukan lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan pada awal perkenalan. Hal ini mungkin disebabkan karena tuntutan peran para pria secara tradisional bahwa pria-lah yang bertanggung jawab untuk memulai hubungan antara pria dan wanita. Dalam penelitian ini ditemukan, bahwa pola ini akan berubah seiring dengan jalannya hubungan. Pada hubungan yang lebih lanjut, wanita ditemukan lebih memiliki kecenderungan self-disclosure daripada laki-laki.

4. Hipotesis Penelitian  
Berdasarkan hasil studi literatur maka diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ada pengaruh jenis kelamin terhadap tingkat self-disclosure pada mahasiswa di Salatiga ditunjukkan dengan adanya perbedaan yang signifikan tingkat self-disclosure antara laki-laki dan perempuan.

Metode Penelitian
1. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah jenis kelamin sebagai variabel bebas dan tingkat self-disclosure (pengungkapan diri) sebagai variabel tergantung.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Metode eksperimen adalah teknik penelitian dimana peneliti dengan aktif menciptakan kondisi tertentu kepada partisipan penelitian (McGuigan, 1993).
3. Metode Penelitian dan Partisapan
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan dua kelompok partisipan yaitu kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Jumlah partisipan kelompok laki-laki adalah 18 orang, sedangkan kelompok perempuan adalah 22 orang.
Selama 1 (satu) bulan, partisipan diminta untuk berinteraksi dengan pasangannya yaitu yang berbeda jenis kelamin, baik melalui bentuk komunikasi SMS maupun berhubungan secara langsung. Pada akhir penelitian, partisipan diminta untuk mengisi Skala Self-Disclosure untuk digunakan sebagai data penelitian dan digunakan untuk analisis.   
4.      Alat Ukur: Skala Self-Disclosure
Untuk mengukur tingkat self-disclosure (Pengungkapan diri) digunakan Skala Pengungkapan Diri yang disusun oleh DeVito (1997). Uji kesahihan item yang dilakukan sebelumnya terhadap 200 partisipan menghasilkan 16 item sahih dari 20 item yang diberikan, dengan korelasi bergerak dari 0.253 hingga 0.498. Penentuan item-item yang sahih berdasarkan ketentuan dari Azwar (1998) yang menyatakan bahwa item pada skala pengukuran dapat dikatakan sahih apabila nilai korelasi item-total (r) lebih besar dari 0.25 dengan p<0.05.
Sementara itu, uji keandalan alat ukur menunjukkan bahwa skala ini cukup handal dengan koefisien Alpha’s Cronbach (α ) sebesar 0.795. Berdasarkan standar reliabilitas yang dicatat dalam Azwar (1998) angka ini menunjukkan bahwa keandalan skala ini tergolong cukup. Semakin tinggi skor menunjukkan semakin tinggi pula self-disclosure (Pengungkapan Diri) partisipan tersebut.
5.      Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji perbedaan tingkat self-disclosure dari masing-masing kelompok dengan menggunakan teknik Uji-t. Pengolahan data dengan menggunakan Program Statistik SPSS 12 digunakan untuk menguji adanya perbedaan self-disclosure antara kelompok yang ada.

Hasil dan Pembahasan
Hasil uji beda dengan menggukan Uji-t terhadap skor total self-disclosure  menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal self-disclosure antara kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai t sebesar  1.271 dengan p>0.05. Hal ini berarti hipotesis penelitian bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecendurangan self-disclosure tidak dapat diterima.
Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Papini dkk (1990) maupun Dindia dan Allen (1992) yang menemukan bahwa wanita memiliki kecenderungan self-disclosure yang lebih tinggi daripada laki-laki. Sebaliknya, hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Seung (2007) maupun penelitian Garcia dan Geisler (1988) yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan kecenderungan self-disclosure antara laki-laki dan perempuan. Penelitian ini tampaknya mereplikasi penelitian Garcia dan Geisler yang melakukan penelitiannya untuk populasi remaja. Sama seperti penelitian Garcia dan Geisler, usia subjek pada penelitian ini juga masih berada pada remaja akhir. Ada kemungkinan, argumen yang sama juga berlaku untuk penelitian ini yang menjelaskan mengapa jenis kelamin tidak berpengaruh dalam kecenderungan self-disclosure individu. Tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal self-disclosure tersebut kemungkinan dikarenakan masa remaja masih merupakan masa transisi dari masa kanak ke masa dewasa, sehingga diperkirakan baik remaja laki-laki maupun perempuan belum sepenuhnya menerima peran gender pria dan wanita sebagaimana tercantum dalam peran gender tradisional yang membedakan dengan tegas peran pria yang dibedakan dari peran wanita.

Meskipun perbedaan mean antara kedua kelompok tidak berhasil mencapai standar signifikansi yang dapat diterima, namun hasil analisa deskriptif menunjukkan bahwa mean kedua kelompok jatuh dalam kategori yang berbeda. Skor rata-rata kecenderungan self-disclosure kelompok laki-laki jatuh dalam kategori tinggi, sedangkan skor rata-rata self-disclosure pada kelompok perempuan jatuh ke dalam kategori sedang. Dalam hal ini, arah penelitian ini tampaknya condong untuk mendukung penelitian Derlega dkk. (1985) yang  menemukan bahwa kecenderungan self-disclosure ditemukan lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan pada awal perkenalan. Sebagaimana diketahui, penelitian ini hanya dilakukan dalam waktu kurang dari satu bulan, suatu kurun waktu yang bisa dikatakan dini dalam perkembangan suatu hubungan. Bisa jadi, rata-rata kecenderungan skor self-disclosure yang lebih tinggi pada kelompok laki-laki dibandingkan kelompok perempuan tadi, merupakan ekspresi dari tuntutan peran para pria secara tradisional yang menyebutkan bahwa pria lebih memiliki tanggung jawab untuk memulai suatu hubungan. Hal ini mendorong laki-laki untuk lebih aktif membuka diri demi terbentuknya suatu hubungan yang baru.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dilihat dari skor total self-disclosure tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok laki-laki dan perempuan. Namun penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa perbedaan self-disclosure antara laki-laki dan perempuan sangat tergantung kepada bidang/hal apa yang menjadi topik self-disclosure mereka (Rubin, Hill, Peplau, Dunkel-Schetter, 1980; Sprecher,  1987).
Sejalan dengan pemahaman di atas, peneliti juga melakukan uji beda terhadap masing-masing pernyataan dalam item-item yang menyusun skala pengukuran self-disclosure. Hal ini ditujukan untuk melihat bidang-bidang yang menunjukkan adanya perbedaan self-disclosure antara kedua kelompok. Dari hasil pengujian itu didapati beberapa pernyataan yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok laki-laki dan perempuan, yaitu item yang membahas mengenai:
a)      Pandangan mengenai aborsi. Dalam item ini, nilai mean kelompok perempuan didapati lebih besar daripada  mean pada kelompok laki-laki. Ini menunjukkan bahwa perempuan lebih bersedia mengungkapkan pandangannya mengenai aborsi kepada lawan bicaranya. Hal ini bisa dimengerti mengingat perempuanlah yang secara langsung akan terlibat dalam perihal perilaku aborsi sehingga cenderung lebih tegas untuk mengungkapkan padangannya mengenai aborsi.
b)      Pengalaman seksual yang lalu, daya tarik seksual yang dimiliki, dan daya tarik seksual yang diinginkan. Dalam ketiga item ini, didapati bahwa skor mean kelompok laki-laki lebih tinggi daripada skor mean kelompok perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok laki-laki cenderung lebih bersedia membuka diri mengenai pandangan-pandangannya dalam hal seksualitas dibandingkan kelompok perempuan. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Byers dan Demmons (1999) yang menemukan bahwa wanita cenderung lebih membuka diri dibandingkan pria baik dalam hal masalah issue seksual mapun non-seksual. Perbedaan hasil penelitian ini bisa jadi dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang diadakannya penelitian. Penelitian Byers dan Demmons dilakukan di budaya barat, sedangkan penelitian ini memiliki latar belakang budaya timur. Pandangan di dunia timur cenderung masih menganggap tabu bagi seorang wanita untuk membicarakan masalah seksual, dibandingkan laki-laki yang lebih diterima untuk membicarakan masalah seksual, sehingga memungkinkan kencenderungan yang lebih tinggi bagi kelompok laki-laki untuk melakukan self-disclosure dalam bidang yang menyangkut issue seksual.
c)      Atribusi fisik yang paling negatif. Dalam hal ini, skor mean kelompok laki-laki lebih tinggi dari skor mean kelompok perempuan, menandakan bahwa laki-laki cenderung lebih bersedia melakukan self-disclosure dalam hal atribusi fisiknya yang paling negatif daripada para perempuan.  Hal ini mungkin dapat dimengerti berdasarkan tuntutan masyarakat sendiri selama ini terhadap wanita yang cenderung mengharapkan agar wanita tampil cantik dan menawan (Prasetya, 2007), sementara pada laki-laki kesempurnaan fisik tidak terlalu menjadi suatu tuntutan. Sangat mungkin hal inilah yang menyebabkan para perempuan dalam penelitian ini cenderung kurang bersedia untuk membuka diri mengenai kekurangan fisiknya terhadap lawan bicaranya, dibandingkan subjek laki-laki. Self-disclosure mengandung resiko penolakan apabila hal yang disampaikan tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Sehubungan dengan tuntutan masyarakat bahwa wanita harus tampil cantik, maka membuka diri mengenai kekurangan fisiknya akan lebih dipandang sebagai hal yang beresiko untuk mendapatkan penolakan dari masyarakat, sehingga para perempuan cenderung tidak bersedia melakukannya dibandingkan para laki-laki.

Kesimpulan dan Saran

Penelitian ini secara umum tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada total self-disclosure antara laki-laki dan perempuan. Namun demikian, dilihat dari bidang per bidang, tampaknya perempuan cenderung kurang bersedia mengungkapkan diri dalam isue-isue yang menyangkut masalah seksual dibandingkan laki-laki serta masalah yang menyangkut kekurangan fisik. Sebaliknya, perempuan lebih bersedia terbuka mengungkapkan pendapatnya mengenai aborsi.
Meskipun penelitian ini tidak secara khusus meneliti masalah hubungan klien dengan konselor, namun informasi dari penelitian ini mungkin bisa sedikit banyak dipinjam untuk dipakai dalam pemahaman dalam hal konseling. Dalam konseling, konselor perlu lebih memahami bahwa konseli perempuan mungkin tidak begitu mudah membagikan informasi kepada konselor mengenai isue-isue seksual, terutama bila konselornya berbeda jenis kelamin sebagaimana dalam penelitian ini. Dalam hal ini, diperlukan usaha yang lebih bagi pihak konselor untuk meyakinkan konseli perempuan bahwa pembicaraan mengenai masalah seksual dapat diterima dengan leluasa oleh konselor, sehingga konseli dapat mengungkapkan hal itu dengan leluasa. Sebaliknya dalam topik yang menyangkut aborsi, konseli pria mungkin lebih memiliki kesulitan untuk mengungkapkan diri dibandingkan kelompok perempuan. Oleh karena itu usaha yang lebih empatik perlu dikembangkan oleh konselor saat konselor harus menghadapi isue aborsi dengan konseli laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA
Altman, I. & Taylor, D. (2001). Social Penetration: Development of Interpersonal Relationships. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Azwar, S. 1998. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogya: Penerbit Liberty.

Billeter, C.B. 2002. An exploration of eight dimensions of self-disclosure with relationship satisfaction. Masteral Thesis: Virginia Polytechnic Institute and State University.

Brenzedine, L.. (2007). The Female Brain. Jakarta: PT. Cahaya Insan Suci.

Byers, E.S. & Demmons, S. 1999. Self-disclosure and marital satisfaction in mid-life and late-life remarriages. International Journal of Aging and Human Development, 42, 161-172.

Chesner, S. & Beaumeister, R. 1985. Effects of therapist of religious belief on the intimacy of client self-disclosure. Social and Clinical Psychology, 3, 97-105.

Cozby, P. 1973. Self-disclosure: A literature revuew, Psychological Bulletin, 79, 73-91. 

Dayakisni, T.  & Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.

Dindia, K. & Allen, M. 1992. Sex-differences in self-disclosure meta-analysis. Psychological Bulletin, 112, 106-124.

Derlega, V., Chaikin, A., Wong, P., & Hunter, S. 1985. The effects in an initial encounter: A case where men exceed women self-disclosure. Journal of Social and Personal Relationship 2, 25-44.
Derlega, V. J., Metts, S., Petronio, S., & Margulis, S. T. (1993). Self-Disclosure. Newbury Park, CA: Sage.
DeVito, Joseph A. (1997). Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Profesional Book
Edwards et al. 2006. Children Understanding of Their Sibling Relationship. Available on line: http://www.jrf.org.uk/Knowledge/findings/sociopolicy/0245.asp (18 Januari 2007).
Garcia, P. & Geisler, J. 1988. Sex and age/grade differences in adolescent’s self-disclosure. Perceptual and Motor Skills 67, 427-432.

Halonen, J.S. & Santrock, J.W. 1999. Psychology, Context & Applications. Boston: McGraw Hill-College.

Hargie, O.D.W., Tourish, D., & Curtis, L. 2001. Gender, religion, and adolescent patterns of self-disclosure divided society of Nothern Ireland. Diunduh 20 Oktober 2008 dari www.accessmylibrary.com/coms2/summary_0286-27316190_ITM

Jourard, S. 1964. Transparent self. New York: Van Nort Reindhold. 

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1995). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Kowalski, R. 1999. Speaking the unspeakable: Self-disclosure mental health. Dalam R. Kowalski & M.Leary (Editor). The Social of Emotional and Behavioral Problems. Washington DC: American Psychological Association.

Lauer, R.H. & Lauer, J. C. 2000. Marriage and Family: The Quest for Intimacy. 4th ed. Boston: McGraw Hill. 

Long, L. & Long, T. 1976. Influence of religious status and attire on interviewees. Psychological Research, 39, 25-26.

McGuigan, F.J. (1993). Experimental Method. New Jersey:  Prentice Hall.

Papini, D., Farmer, F., Clark, S., Micka, J., & Barnett, J. 1990. The Adolescent age and gender differences in patterns of emotional disclosure to parents and friends, Adolescence, 25, 959-979.

Prasetya, B.E.A. 2006.

Rubin, Z., Hill, C.T., Peplau, L.A., & Dunkel-Schetter, C. 1980. Self-disclosure in dating couples: selx roles and the ethic of openness. Journal of Marriage and the Family, 42, 305-317.

Sears, D.O., Freedman, J.L. & Peplau, L.A. (1999). Psikologi Sosial. Jilid I. Jakarta: Erlangga.

Seung, H.C. 2007. Effects of motivations and gender in adolescents’ self-dislosure in on line chatting. Cyber Psychology& Behavior, 10, 339-359.

Scwartz, M. & Scott, B. 2001. Marriages and Family: Diversity and Change. Available on line:  http: cwx.prenhall?com.bookbind/pubbooks/schrz/medialib/schsc04.hatml (30 Mei 2007).

Sprecher, S. 1987. The effect of self-disclosure given and received on affection for an intimate partner and stability of the relationship. Journal of Social Personal Relationships 4, 115-127.

Stokes, J., Childs, L. & Fuebrer, A. 1981. Gender and sex as predictors of self-disclosure. Journal of Counseling Psychology, 28, 510-514.
Wang, H. and Andersen, P. A. "Self-Disclosure in Long-Distance Friendships: A Comparison between Face-to-Face and Computer-Mediated Communication" Paper presented at the annual meeting of the International Communication Association, Sheraton New York, New York City, NY Online <PDF> Retrieved 2008-02-24 from http://www.allacademic.com/meta/p13227_index.html
York, Frank. (2004). Gender Differences are Real. Available on line: http://www.narth.com/docs/york.htiml (19 Oktober 2007).

About Me

Foto saya
Love arts and jokes... Life is tasteless without both of it!