Leelou Blogs
topbella

Jumat, 10 Desember 2010

Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Tingkat Self-Disclosure pada Mahasiswa di Salatiga

 



               VS 







Berta E A Prasetya
 Universitas Kristen Satya Wacana

Abstract

The purpose of this study is to investigate whether there is an effect of sex (male and female) towards level of self-disclosure among students of higher education in Salatiga. Experiment method was used for this research. The groups of male and female were asked to communicate to each other for a month, either using SMS (text message) or face to face interaction. There were 40 participants were involved in this study. Using Self-Disclosure Scale, the level of self-disclosure was measured. The data of total score of self-disclosure was analyzed using t-test. The result indicated that the mean difference between male and female groups failed to reach its level of significance (t=1.271; p>0.05). Even so, the significant difference between male and female groups was found among some items of the self-disclosure scale. The result and implication of the study were discussed.  

Key words: self-disclosure, sex.

Pendahuluan
Semenjak Jourard (1964) pertama kali mempopulerkan istilah self-disclosure, fenomena mengenai self-disclosure telah menyita perhatian para peneliti untuk meneliti self-disclosure individu dari berbagai sisi (Kowalski, 1991). Altman & Taylor (1973) menyatakan bahwa self-disclosure adalah hal yang sangat esensial untuk dapat terbentuknya suatu hubungan yang dekat dengan orang lain. Tanpa self-disclosure mustahil untuk membentuk keintiman, rasa dekat dan hubungan yang bermakna dengan orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa self-disclosure memungkinkan individu untuk memiliki interaksi yang ekstensif dengan orang lain dan memiliki hubungan yang intim dengan orang lain.  (http://www.abacon.com/commstudies/interpersonal/ indisclosure.html).
Wang dan Andersen (2008) menemukan bahwa self-disclosure memiliki korelasi yang kuat dengan kualitas persahabatan antar individu. Derlega, Metts, Petronio, dan Margulis (1993) menyatakan bahwa self-disclosure merupakan hal yang fundamental dalam komunikasi interpersonal. Self-disclosure dianggap hal yang utama dalam pembentukan, pemeliharaan hubungan dekat antar individu. Bahkan Lauer & Lauer (2000) menyatakan bahwa self-disclosure merupakan mekanisme yang paling penting dalam pembentukan keintiman dengan orang lain. Tanpa self-disclosure mustahil untuk membentuk keintiman, rasa dekat dan hubungan yang bermakna dengan orang lain.
Dalam masa remaja akhir dan dewasa awal, membangun hubungan keintiman dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan individu (Erikson, dalam Halonen & Santrock, 1999). Keberhasilan maupun kegagalan individu untuk membentuk keintiman dengan individu lain akan menjadi pencapaian penting bagi rasa keberhasilan pada masa perkembangan ini. Sebagaimana disampaikan oleh Lauer & Lauer (2000) sebelumnya, bahwa self-disclosure merupakan faktor yang dianggap penting untuk dapat terbentuknya keintiman ini, maka dapat dikatakan, keberhasilan penyelesaian tugas perkembangan pada masa ini tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan individu untuk melakukan self-disclosure dengan individu lain.
Beberapa literature sebelumnya telah mencatat bahwa pria dan wanita memiliki beberapa karakteristik yang berbeda. Dalam hal self-disclosure, DeVito (1997) menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan faktor penentu munculnya self-disclosure individu. Laki-laki biasanya cenderung kurang terbuka dibandingkan perempuan. Hasil yang sama juga ditemukan dalam penelitian Papini, Farmer, Clark, Micka dan Barnett (1990) maupun penelitian Dindia dan Allen (1992). Namun berbeda dengan hal itu, hasil penelitian Seung (2007) maupun Garcia & Geisler (1988) menemukan bahwa tidak ada perbedaan kecenderungan self-disclosure antara remaja perempuan dan remaja laki-laki.
Para peneliti mencatat bahwa kesediaan individu untuk membuka diri, merupakan suatu bentuk reciprocal action, yaitu hubungan yang bersifat saling berbalasan. Suatu hubungan yang harmonis membutuhkan tingkat self-disclosure yang sama di antara kedua pihak. Dengan demikian, kurangnya keterbukan salah satu pihak, bisa menimbulkan kurangnya keterbukaan pihak lain. Bila memang laki-laki ataupun perempuan memiliki tingkat self-disclosure yang berbeda, bisa dibayangkan bahwa pengembangan keintiman antara laki-laki dan perempuan bisa saja mendapatkan hambatan karena ini. Padahal sebelumnya telah dinyatakan oleh Erikson (dalam Halonen & Santrock, 1999) bahwa keberhasilan pengembangan keintiman merupakan salah satu tugas perkembangan di masa remaja akhir/dewasa awal ini.
Sehubungan dengan usia remaja akhir/dewasa awal, kalangan mahasiswa merupakan populasi terbesar yang berada pada kurun usia ini. Mengingat hal itu, maka penelitian ini bermaksud meneliti apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap tingkat self-disclosure para mahasiswa di Salatiga.

Tinjauan Pustaka

1. Self-Disclosure
a. Definisi Self-Disclosure
Pengungkapan diri atau self-disclosure didefisinisikan sebagai salah satu bentuk komunikasi yang bermaksud mengungkapkan informasi mengenai diri individu (DeVito, 1997; Cozby, 1973). Derlega dkk. (1993) menekankan bahwa self-disclosure menyangkut pengungkapan informasi-informasi tentang diri yang biasanya secara aktif disembunyikan.
Wrightsman (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) menyatakan bahwa self-disclosure adalah proses menghadirkan diri yang diwujudkan dalam kegiatan membagi perasaan dan informasi dengan orang lain. Lebih lanjut Morton (dalam Sears, Freedman, & Peplau, 1989) menambahkan bahwa informasi yang dibagikan dapat bersifat deskriptif maupun evaluatif. Deskriptif meliputi gambaran tentang fakta diri, seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan dll. Sedangkan Evaluatif lebih menekankan pada perasaan maupun pendapatnya mengenai sesuatu.
 Dapat disimpulkan bahwa self-disclosure adalah kegiatan mengungkapkan informasi mengenai diri individu, atau hal-hal yang berhubungan dengan individu tersebut, maupun orang lain yang dekat dengan dirinya, baik yang bersifat deskriptif maupun evaluatif.
b. Pengukuran Tingkat Self-Disclosure


Teori penetrasi sosial yang dikembangkan oleh  Altman dan Taylor (2001) menyatakan bahwa kepribadian individu digambarkan seperti lapisan-lapisan bawang. Ketika individu semakin bersedia dekat dengan orang lain, berbagai aspek dari kepribadiannya akan terkupas satu demi satu dari lapisan yang paling luar hingga bagian terdalam. Informasi yang tidak terlalu rahasia berada pada bagian terluar, seperti agama yang dianut, nama, dll., sementara informasi yang sangat pribadi berada pada bagian paling dalam, seperti perasaan-perasaan yang bersifat mengancam, hal-hal sensitive seperti masalah seksual dll. Sejauh mana individu bersedia menceritakan lapisan demi lapisan ini menggambarkan kedalaman atau tingkat self-disclosure individu tersebut.
DeVito (1997) memandang self-disclosure dapat dilihat dari sejauh mana individu bersedia mengungkapkan informasi mengenai beberapa aspek dalam kehidupannya antara lain:
a.       Sikap terhadap agama, baik diri sendiri maupun orang tua.
b.      Pandangan mengenai aborsi, hubungan di luar nikah.
c.       Penggunaan waktu senggang yang utama, tujuan pribadi, kejadian paling memalukan, keinginan yang tidak terpenuhi, kebahagiaan saat ini, kesalahan terbesar.
d.      Khayalan seksual, pengalaman seksual di masa lalu, daya tarik seksual yang dimiliki maupun yang diinginkan.
e.       Atribusi fisik yang negatif, kelemahan utama
f.        Sahabat ideal
g.       Perilaku minum/obat bius
h.       Konsep diri secara umum. 
 

2. Definisi  Jenis Kelamin 
Jenis kelamin didefinisikan sebagi sifat (keadaan) jantan atau betina. Dalam hal ini lebih mengacu pada aspek biologis seseorang apakah ia laki-laki atau perempuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995). Jenis kelamin dibedakan dengan gender, yang mengarah pada perilaku belajar sosial, sikap maupun harapan dari masyarakat yang sering muncul sebagai akibat dari jenis kelamin sebagai seorang baik laki-laki maupun perempuan (Scharwrtz dan Scott, 2001).

3. Pengaruh Jenis Kelamin terhadap tingkat Self-Disclosure.
Dilihat dari struktur genetis memang ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, demikian juga dalam hormonalnya (Goldberg dalam York, 2004). Dari sisi genetis, ada perbedaan kromosom antara laki-laki dan perempuan yang akan membawa karakteristik tertentu dan membuat kedua jenis kelamin mengembangkan strategi-strategi tertentu untuk menjalani kehidupannya.   Kadar testosteron yang tinggi pada kaum lelaki memungkinkan lelaki lebih menunjukkan dominansi, keagresifan dibandingkan kamu perempuan yang lebih tampak menunjukkan kelembutan.
Penelitian Tannen (dalam Brenzedine, 2006) menemukan bahwa anak perempuan lebih sering mengajukan usulan yang bersifat kolaboratif, biasa menggunakan bahasa untuk mencapai konsensus. Sedangkan pada laki-laki, bahasa digunakan lebih untuk meminta segala sesuatu, mengancam, dan mematahkan upaya saling berbicara. Sementara itu, Edwards et al (2006) menyatakan bahwa perkembangan hubungan pada anak perempuan akan bertambah melalui kegiatan verbal sementara laki-laki pada permainan yang menekankan persaingan dan menuntut munculnya pihak yang menang kalah.
Dari hal di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan cenderung lebih mengembangkan ketrampilan verbal dibandingkan dengan kaum laki-laki. Adanya kemampuan untuk mengembangkan hubungan dengan komunikasi verbal akan memungkinkan lebih berkembang pula self-disclosure. Sebagaimana telah dicatat oleh DeVito (1997) bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor penentu self-disclosure. Lebih lanjut DeVito menjelaskan bahwa laki-laki cenderung kurang terbuka daripada wanita.
Hasil berbagai penelitian menunjukkan hasil yang beragam mengenai kebenaran adanya perbedaan self-disclosure antara laki-laki dan perempuan. Penelitian Papini, Farmer, Clark, Micka dan Barnett (1990) yang meneliti gender dalam pola self-disclosure  menemukan bahwa anak remaja perempuan cenderung lebih tinggi kecenderungan self-disclosure-nya dalam masalah-masalah emosional terhadap orang tua maupun teman sebayanya daripada para remaja laki-laki. Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian Dindia dan Allen (1992) yang menemukan bahwa wanita memiliki kecenderungan self-disclosure yang lebih tinggi daripada laki-laki dan cenderung mendapatkan self-disclousure yang lebih tinggi pula dari orang-orang lain baik pria maupun wanita. Hal serupa juga didapati dalam penelitian Vera (dalam Billeter, 2002).
Hasil yang berbeda didapati dalam penelitian yang dikembangkan Seung (2007) maupun penelitian Garcia dan Geisler (1988) yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan kecenderungan self-disclosure antara remaja perempuan dan remaja laki-laki. Lebih lanjut mereka berargumen bahwa tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal self-disclosure tersebut dikarenakan masa remaja masih merupakan masa transisi dari masa kanak ke masa dewasa. Diperkirakan pada masa ini baik remaja laki-laki maupun perempuan belum sepenuhnya menerima peran gender pria dan wanita sebagaimana tercantum peran gender tradisional yang membedakan dengan tegas peran pria yang dibedakan dari peran wanita, sehingga perbedaan peran pria dan wanita dalam self-disclosure juga tidak tampak pada remaja.
Penelitian dari Long dan Long (1976) dan Chesner dan Beaumeister (1985) mungkin bisa menjadi catatan lain dalam hal perbedaan self-disclosure antara pria dan wanita.  Ditemukan bahwa perbedaan kecenderungan self-disclosure antara laki-laki dan perempuan akan tergantung dari karakteristik tertentu dari lawan bicara dari individu tersebut. Dalam penelitian ini karakter tersebut adalah status agama tertentu dari lawan bicara.  
Sementara itu, penelitian Stokes, Childs, dan Fuebrer (1981) menemukan bahwa tingkat self-disclosure antara laki-laki dan perempuan dimediasi oleh hubungan individu dengan target self-disclosure tersebut. Perempuan memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam hal self-disclosure daripada laki-laki apabila targetnya adalah kawan dekat. Sementara itu, perempuan cenderung memiliki tingkat self-disclosure yang lebih rendah daripada laki-laki apabila target self-disclosure-nya adalah orang asing atau orang yang tidak dikenalnya. Namun hasil penelitian ini tidak ter-replikasi dalam penelitian Hargie, Tourish, dan Curtis (2001) yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita dalam hal self-disclosure terhadap orang asing.
Penelitian Derlega, Winstead, Wong dan Hunter (1985) menemukan bahwa kecenderungan self-disclosure ditemukan lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan pada awal perkenalan. Hal ini mungkin disebabkan karena tuntutan peran para pria secara tradisional bahwa pria-lah yang bertanggung jawab untuk memulai hubungan antara pria dan wanita. Dalam penelitian ini ditemukan, bahwa pola ini akan berubah seiring dengan jalannya hubungan. Pada hubungan yang lebih lanjut, wanita ditemukan lebih memiliki kecenderungan self-disclosure daripada laki-laki.

4. Hipotesis Penelitian  
Berdasarkan hasil studi literatur maka diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ada pengaruh jenis kelamin terhadap tingkat self-disclosure pada mahasiswa di Salatiga ditunjukkan dengan adanya perbedaan yang signifikan tingkat self-disclosure antara laki-laki dan perempuan.

Metode Penelitian
1. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah jenis kelamin sebagai variabel bebas dan tingkat self-disclosure (pengungkapan diri) sebagai variabel tergantung.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Metode eksperimen adalah teknik penelitian dimana peneliti dengan aktif menciptakan kondisi tertentu kepada partisipan penelitian (McGuigan, 1993).
3. Metode Penelitian dan Partisapan
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan dua kelompok partisipan yaitu kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Jumlah partisipan kelompok laki-laki adalah 18 orang, sedangkan kelompok perempuan adalah 22 orang.
Selama 1 (satu) bulan, partisipan diminta untuk berinteraksi dengan pasangannya yaitu yang berbeda jenis kelamin, baik melalui bentuk komunikasi SMS maupun berhubungan secara langsung. Pada akhir penelitian, partisipan diminta untuk mengisi Skala Self-Disclosure untuk digunakan sebagai data penelitian dan digunakan untuk analisis.   
4.      Alat Ukur: Skala Self-Disclosure
Untuk mengukur tingkat self-disclosure (Pengungkapan diri) digunakan Skala Pengungkapan Diri yang disusun oleh DeVito (1997). Uji kesahihan item yang dilakukan sebelumnya terhadap 200 partisipan menghasilkan 16 item sahih dari 20 item yang diberikan, dengan korelasi bergerak dari 0.253 hingga 0.498. Penentuan item-item yang sahih berdasarkan ketentuan dari Azwar (1998) yang menyatakan bahwa item pada skala pengukuran dapat dikatakan sahih apabila nilai korelasi item-total (r) lebih besar dari 0.25 dengan p<0.05.
Sementara itu, uji keandalan alat ukur menunjukkan bahwa skala ini cukup handal dengan koefisien Alpha’s Cronbach (α ) sebesar 0.795. Berdasarkan standar reliabilitas yang dicatat dalam Azwar (1998) angka ini menunjukkan bahwa keandalan skala ini tergolong cukup. Semakin tinggi skor menunjukkan semakin tinggi pula self-disclosure (Pengungkapan Diri) partisipan tersebut.
5.      Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji perbedaan tingkat self-disclosure dari masing-masing kelompok dengan menggunakan teknik Uji-t. Pengolahan data dengan menggunakan Program Statistik SPSS 12 digunakan untuk menguji adanya perbedaan self-disclosure antara kelompok yang ada.

Hasil dan Pembahasan
Hasil uji beda dengan menggukan Uji-t terhadap skor total self-disclosure  menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal self-disclosure antara kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai t sebesar  1.271 dengan p>0.05. Hal ini berarti hipotesis penelitian bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecendurangan self-disclosure tidak dapat diterima.
Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Papini dkk (1990) maupun Dindia dan Allen (1992) yang menemukan bahwa wanita memiliki kecenderungan self-disclosure yang lebih tinggi daripada laki-laki. Sebaliknya, hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Seung (2007) maupun penelitian Garcia dan Geisler (1988) yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan kecenderungan self-disclosure antara laki-laki dan perempuan. Penelitian ini tampaknya mereplikasi penelitian Garcia dan Geisler yang melakukan penelitiannya untuk populasi remaja. Sama seperti penelitian Garcia dan Geisler, usia subjek pada penelitian ini juga masih berada pada remaja akhir. Ada kemungkinan, argumen yang sama juga berlaku untuk penelitian ini yang menjelaskan mengapa jenis kelamin tidak berpengaruh dalam kecenderungan self-disclosure individu. Tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal self-disclosure tersebut kemungkinan dikarenakan masa remaja masih merupakan masa transisi dari masa kanak ke masa dewasa, sehingga diperkirakan baik remaja laki-laki maupun perempuan belum sepenuhnya menerima peran gender pria dan wanita sebagaimana tercantum dalam peran gender tradisional yang membedakan dengan tegas peran pria yang dibedakan dari peran wanita.

Meskipun perbedaan mean antara kedua kelompok tidak berhasil mencapai standar signifikansi yang dapat diterima, namun hasil analisa deskriptif menunjukkan bahwa mean kedua kelompok jatuh dalam kategori yang berbeda. Skor rata-rata kecenderungan self-disclosure kelompok laki-laki jatuh dalam kategori tinggi, sedangkan skor rata-rata self-disclosure pada kelompok perempuan jatuh ke dalam kategori sedang. Dalam hal ini, arah penelitian ini tampaknya condong untuk mendukung penelitian Derlega dkk. (1985) yang  menemukan bahwa kecenderungan self-disclosure ditemukan lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan pada awal perkenalan. Sebagaimana diketahui, penelitian ini hanya dilakukan dalam waktu kurang dari satu bulan, suatu kurun waktu yang bisa dikatakan dini dalam perkembangan suatu hubungan. Bisa jadi, rata-rata kecenderungan skor self-disclosure yang lebih tinggi pada kelompok laki-laki dibandingkan kelompok perempuan tadi, merupakan ekspresi dari tuntutan peran para pria secara tradisional yang menyebutkan bahwa pria lebih memiliki tanggung jawab untuk memulai suatu hubungan. Hal ini mendorong laki-laki untuk lebih aktif membuka diri demi terbentuknya suatu hubungan yang baru.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dilihat dari skor total self-disclosure tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok laki-laki dan perempuan. Namun penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa perbedaan self-disclosure antara laki-laki dan perempuan sangat tergantung kepada bidang/hal apa yang menjadi topik self-disclosure mereka (Rubin, Hill, Peplau, Dunkel-Schetter, 1980; Sprecher,  1987).
Sejalan dengan pemahaman di atas, peneliti juga melakukan uji beda terhadap masing-masing pernyataan dalam item-item yang menyusun skala pengukuran self-disclosure. Hal ini ditujukan untuk melihat bidang-bidang yang menunjukkan adanya perbedaan self-disclosure antara kedua kelompok. Dari hasil pengujian itu didapati beberapa pernyataan yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok laki-laki dan perempuan, yaitu item yang membahas mengenai:
a)      Pandangan mengenai aborsi. Dalam item ini, nilai mean kelompok perempuan didapati lebih besar daripada  mean pada kelompok laki-laki. Ini menunjukkan bahwa perempuan lebih bersedia mengungkapkan pandangannya mengenai aborsi kepada lawan bicaranya. Hal ini bisa dimengerti mengingat perempuanlah yang secara langsung akan terlibat dalam perihal perilaku aborsi sehingga cenderung lebih tegas untuk mengungkapkan padangannya mengenai aborsi.
b)      Pengalaman seksual yang lalu, daya tarik seksual yang dimiliki, dan daya tarik seksual yang diinginkan. Dalam ketiga item ini, didapati bahwa skor mean kelompok laki-laki lebih tinggi daripada skor mean kelompok perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok laki-laki cenderung lebih bersedia membuka diri mengenai pandangan-pandangannya dalam hal seksualitas dibandingkan kelompok perempuan. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Byers dan Demmons (1999) yang menemukan bahwa wanita cenderung lebih membuka diri dibandingkan pria baik dalam hal masalah issue seksual mapun non-seksual. Perbedaan hasil penelitian ini bisa jadi dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang diadakannya penelitian. Penelitian Byers dan Demmons dilakukan di budaya barat, sedangkan penelitian ini memiliki latar belakang budaya timur. Pandangan di dunia timur cenderung masih menganggap tabu bagi seorang wanita untuk membicarakan masalah seksual, dibandingkan laki-laki yang lebih diterima untuk membicarakan masalah seksual, sehingga memungkinkan kencenderungan yang lebih tinggi bagi kelompok laki-laki untuk melakukan self-disclosure dalam bidang yang menyangkut issue seksual.
c)      Atribusi fisik yang paling negatif. Dalam hal ini, skor mean kelompok laki-laki lebih tinggi dari skor mean kelompok perempuan, menandakan bahwa laki-laki cenderung lebih bersedia melakukan self-disclosure dalam hal atribusi fisiknya yang paling negatif daripada para perempuan.  Hal ini mungkin dapat dimengerti berdasarkan tuntutan masyarakat sendiri selama ini terhadap wanita yang cenderung mengharapkan agar wanita tampil cantik dan menawan (Prasetya, 2007), sementara pada laki-laki kesempurnaan fisik tidak terlalu menjadi suatu tuntutan. Sangat mungkin hal inilah yang menyebabkan para perempuan dalam penelitian ini cenderung kurang bersedia untuk membuka diri mengenai kekurangan fisiknya terhadap lawan bicaranya, dibandingkan subjek laki-laki. Self-disclosure mengandung resiko penolakan apabila hal yang disampaikan tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Sehubungan dengan tuntutan masyarakat bahwa wanita harus tampil cantik, maka membuka diri mengenai kekurangan fisiknya akan lebih dipandang sebagai hal yang beresiko untuk mendapatkan penolakan dari masyarakat, sehingga para perempuan cenderung tidak bersedia melakukannya dibandingkan para laki-laki.

Kesimpulan dan Saran

Penelitian ini secara umum tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada total self-disclosure antara laki-laki dan perempuan. Namun demikian, dilihat dari bidang per bidang, tampaknya perempuan cenderung kurang bersedia mengungkapkan diri dalam isue-isue yang menyangkut masalah seksual dibandingkan laki-laki serta masalah yang menyangkut kekurangan fisik. Sebaliknya, perempuan lebih bersedia terbuka mengungkapkan pendapatnya mengenai aborsi.
Meskipun penelitian ini tidak secara khusus meneliti masalah hubungan klien dengan konselor, namun informasi dari penelitian ini mungkin bisa sedikit banyak dipinjam untuk dipakai dalam pemahaman dalam hal konseling. Dalam konseling, konselor perlu lebih memahami bahwa konseli perempuan mungkin tidak begitu mudah membagikan informasi kepada konselor mengenai isue-isue seksual, terutama bila konselornya berbeda jenis kelamin sebagaimana dalam penelitian ini. Dalam hal ini, diperlukan usaha yang lebih bagi pihak konselor untuk meyakinkan konseli perempuan bahwa pembicaraan mengenai masalah seksual dapat diterima dengan leluasa oleh konselor, sehingga konseli dapat mengungkapkan hal itu dengan leluasa. Sebaliknya dalam topik yang menyangkut aborsi, konseli pria mungkin lebih memiliki kesulitan untuk mengungkapkan diri dibandingkan kelompok perempuan. Oleh karena itu usaha yang lebih empatik perlu dikembangkan oleh konselor saat konselor harus menghadapi isue aborsi dengan konseli laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA
Altman, I. & Taylor, D. (2001). Social Penetration: Development of Interpersonal Relationships. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Azwar, S. 1998. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogya: Penerbit Liberty.

Billeter, C.B. 2002. An exploration of eight dimensions of self-disclosure with relationship satisfaction. Masteral Thesis: Virginia Polytechnic Institute and State University.

Brenzedine, L.. (2007). The Female Brain. Jakarta: PT. Cahaya Insan Suci.

Byers, E.S. & Demmons, S. 1999. Self-disclosure and marital satisfaction in mid-life and late-life remarriages. International Journal of Aging and Human Development, 42, 161-172.

Chesner, S. & Beaumeister, R. 1985. Effects of therapist of religious belief on the intimacy of client self-disclosure. Social and Clinical Psychology, 3, 97-105.

Cozby, P. 1973. Self-disclosure: A literature revuew, Psychological Bulletin, 79, 73-91. 

Dayakisni, T.  & Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.

Dindia, K. & Allen, M. 1992. Sex-differences in self-disclosure meta-analysis. Psychological Bulletin, 112, 106-124.

Derlega, V., Chaikin, A., Wong, P., & Hunter, S. 1985. The effects in an initial encounter: A case where men exceed women self-disclosure. Journal of Social and Personal Relationship 2, 25-44.
Derlega, V. J., Metts, S., Petronio, S., & Margulis, S. T. (1993). Self-Disclosure. Newbury Park, CA: Sage.
DeVito, Joseph A. (1997). Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Profesional Book
Edwards et al. 2006. Children Understanding of Their Sibling Relationship. Available on line: http://www.jrf.org.uk/Knowledge/findings/sociopolicy/0245.asp (18 Januari 2007).
Garcia, P. & Geisler, J. 1988. Sex and age/grade differences in adolescent’s self-disclosure. Perceptual and Motor Skills 67, 427-432.

Halonen, J.S. & Santrock, J.W. 1999. Psychology, Context & Applications. Boston: McGraw Hill-College.

Hargie, O.D.W., Tourish, D., & Curtis, L. 2001. Gender, religion, and adolescent patterns of self-disclosure divided society of Nothern Ireland. Diunduh 20 Oktober 2008 dari www.accessmylibrary.com/coms2/summary_0286-27316190_ITM

Jourard, S. 1964. Transparent self. New York: Van Nort Reindhold. 

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1995). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Kowalski, R. 1999. Speaking the unspeakable: Self-disclosure mental health. Dalam R. Kowalski & M.Leary (Editor). The Social of Emotional and Behavioral Problems. Washington DC: American Psychological Association.

Lauer, R.H. & Lauer, J. C. 2000. Marriage and Family: The Quest for Intimacy. 4th ed. Boston: McGraw Hill. 

Long, L. & Long, T. 1976. Influence of religious status and attire on interviewees. Psychological Research, 39, 25-26.

McGuigan, F.J. (1993). Experimental Method. New Jersey:  Prentice Hall.

Papini, D., Farmer, F., Clark, S., Micka, J., & Barnett, J. 1990. The Adolescent age and gender differences in patterns of emotional disclosure to parents and friends, Adolescence, 25, 959-979.

Prasetya, B.E.A. 2006.

Rubin, Z., Hill, C.T., Peplau, L.A., & Dunkel-Schetter, C. 1980. Self-disclosure in dating couples: selx roles and the ethic of openness. Journal of Marriage and the Family, 42, 305-317.

Sears, D.O., Freedman, J.L. & Peplau, L.A. (1999). Psikologi Sosial. Jilid I. Jakarta: Erlangga.

Seung, H.C. 2007. Effects of motivations and gender in adolescents’ self-dislosure in on line chatting. Cyber Psychology& Behavior, 10, 339-359.

Scwartz, M. & Scott, B. 2001. Marriages and Family: Diversity and Change. Available on line:  http: cwx.prenhall?com.bookbind/pubbooks/schrz/medialib/schsc04.hatml (30 Mei 2007).

Sprecher, S. 1987. The effect of self-disclosure given and received on affection for an intimate partner and stability of the relationship. Journal of Social Personal Relationships 4, 115-127.

Stokes, J., Childs, L. & Fuebrer, A. 1981. Gender and sex as predictors of self-disclosure. Journal of Counseling Psychology, 28, 510-514.
Wang, H. and Andersen, P. A. "Self-Disclosure in Long-Distance Friendships: A Comparison between Face-to-Face and Computer-Mediated Communication" Paper presented at the annual meeting of the International Communication Association, Sheraton New York, New York City, NY Online <PDF> Retrieved 2008-02-24 from http://www.allacademic.com/meta/p13227_index.html
York, Frank. (2004). Gender Differences are Real. Available on line: http://www.narth.com/docs/york.htiml (19 Oktober 2007).


6 komentar:

  1. Mohon bantuannya, dimana ya bisa dapat bukunya Jourard ?

    BalasHapus
  2. mohon bantuannya, saya sedang membutuhkan skala self disclosure DeVito ini. sudah dicari tapi tdk dapat-dapat. yang punya data skalanya bisa tolong hubungi saya. terimakasih

    BalasHapus
  3. Mbak saya bölen minta file penelitian Mbak ini ütük dijadikan rujukan penelitian saya

    BalasHapus
  4. Mbak, saya boleh minta file hasil penelitian sebagai rujukan penelitian saya :)

    BalasHapus

  5. DAPATKAN JACKPOTMU DI BOLAVITA.

    merasa bosan dan uang habis dengan sia sia?

    Bolavita adalah situs judi online terpercaya dan aman untuk dimainkan.ada banyak jenis permainan yaitu Bola tangkas,Casino live,Sabung Ayam,Taruhan Bola,Togel online,Games Virtual dan Judi Balapan Tikus.
    disini banyak bonus yang akan kami berikan untuk anda
    * Casino Online Flat Cashback 5%
    * Bola Tangkas Online Flat Cashback 10%
    * Bonus Referral Permainan Online 7%+2%
    * Bonus Returning Member 200.000

    Kami menyediakan Register,Deposit dan Withdraw menggunakan bank lokal seperti BCA,MANDIRI,BNI,BRI,DANAMON DAN CIMB NIAGA.


    Gak bakalan nyesal deh daftar di Bolavita

    WA / TELEGRAM : +62812-2222-995
    INSTAGRAM : @bola.vita
    FACEBOOK : @bolavita.ofc
    TWITTER : @BVgaming_net
    LINE : @CS_bolavita


    (¯`·.¸¸.·´¯`·.¸¸.-> LIVECHAT 24 JAM <-.¸¸.·´¯`·.¸¸.·´¯)

    #bolavita #terpercaya #sabungayam #casino #deposit #pokeronline #judionlineterbaik #banyakbonus #superpromo #livechat24jam #fastrespon

    BalasHapus
  6. mohon bantuannya. saat ini saya sedang mengerjakan skripsu dan membutuhkan alat ukur dari devito tapi saya belum dapat

    BalasHapus

About Me

Foto saya
Love arts and jokes... Life is tasteless without both of it!