Leelou Blogs
topbella

Selasa, 07 Desember 2010

MENAPAK JALAN PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN: Laporan Pengamatan di SMP Alternatif Qaryah Thoyyibah

Berta Esti Ari Prasetya
Universitas Kristen Satya Wacana


Pendahuluan

Maslow (1987) dalam bukunya Motivation and Personality menyatakan bahwa dalam diri setiap individu ada kebutuhan alamiah yang disebutnya sebagai kebutuhan kognitif, yaitu kebutuhan untuk mengetahui sesuatu. Bila individu dibatasi untuk mendapatkan informasi, maka keseimbangan psikisnya akan terganggu. Sang individu akan mengalami kegelisahan, dan berusaha sedapat mungkin untuk mendapatkan kembali kebutuhannya akan informasi dan pengetahuan. Kebutuhan akan pengetahuan inilah yang konon keyakinannya, menjaga umat manusia untuk mampu bertahan hidup, mengalami perkembangan kebudayaan, peradaban, serta mengembangkan hidup yang lebih baik dari hari ke hari.  
Lembaga Pendidikan, yang biasa disebut sekolah, adalah salah satu lembaga resmi yang menjadi wadah bagi insan-insan yang haus akan pengetahuan. Di tempat inilah mestinya kehausan akan ilmu pengetahuan insan manusia dipuaskan. Dan manusia yang berada dalam lembaga ini, menyerap ilmu, akan mampu menggunakan kesempatan ini untuk memuaskan dahaganya akan pengetahuan, membuatnya mampu bertahan hidup, bahkan mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik.
Tetapi apa yang salah, ketika sekolah yang seharusnya menjadi surga bagi para insan yang secara alamiah haus-dahaga akan pengetahuan ini, bukan lagi dipandang sebagai tempat mereka mendapatkan kepuasan akan dahaga mereka, tetapi justru dianggap sebagai tempat kesesakan dan intimidasi. Saat jam menunjukkan pukul tujuh, segerombolan manusia yang disebut sebagai siswa, dengan ketakutan berlarian memasuki gerbang sekolah ”takut” bila ada hukuman dari sang guru karena terlambat. Di sepanjang jam pelajaran, ditemukan wajah-wajah muram tertekan, saat harus menelan satu demi satu materi yang harus dihapalkan, sambil berharap waktu jam pelajaran segera berlalu. Bunyi-bunyi bel istirahat ataupun bunyi bel pulang, justru terdengar seperti panggilan surga saat mereka bernafas lega dan berlarian keluar dengan rasa bahagia. Bahkan bila waktu istirahat ataupun waktu jam pulang terasa tak kunjung tiba, mereka terpaksa memutar otak, mencari tak-tik agar bisa keluar dari gerbang sekolah tanpa diketahui oleh sang guru. Siswa tiba-tiba menjadi tak ubahnya narapidana yang berusaha meloloskan diri dari penjara, sedangkan guru, tidak lagi dipandang sebagai tempat untuk mendapatkan sharing ilmu pengetahuan yang dicari, tetapi sebagai sipir penjara yang siap mengawasi dan memberikan hukuman dalam berbagai bentuk dan cara.
Sekolah yang semestinya menjadi tempat berlimpahnya ilmu pengetahuan untuk memuaskan dahaga, berubah wujud menjadi areal pemaksaan kehendak dan penjejalan informasi dari guru kepada siswa. Siswa datang dan dipaksa untuk menyukai apa yang di hadapan mereka, tanpa perlu ditanya apakah mereka menginginkannya, serta memahami relevansinya bagi mereka baik masa sekarang ataupun di masa yang akan datang. Siswa  ”dipaksa” untuk menjejalkan segala informasi yang didengarnya dari sang guru (tidak peduli bagaimanapun kondisinya, bahkan saat penyampaiannya tidak jelas dan tidak mudah dipahami sekalipun), diharap untuk menyimpannya (tanpa tahu untuk apa dan apa relevansinya), dengan sebuah perjanjian, bahwa di suatu saat nanti ia harus mampu memuntahkan kembali apa yang telah disimpannya tadi dalam selembar kertas yang disebut ”testing”. Dengan catatan: apa yang ditanyakan dalam testing itu bukan seluruh hal yang mampu ia simpan, tapi yang kebetulan ditanyakan oleh sang guru. Dari selembar kertas inilah kemudian sang guru akan menghadiahi ranking, dimana posisi sang anak: pintar, sedang, bodoh, atau sangat bodoh. Malang bagi yang disebut sangat bodoh, ia harus mengulang kembali segala bahan yang persis sama, dengan berbagai ketidakenakannya selama setahun mendatang, ditambah satu status buruk: anak tak naik kelas. Tak heran, bila sebagian anak lebih memilih untuk mencari jalan pintas, agar kertas testing tadi dapat diperdayai, sehingga ia tidak lagi disebut anak bodoh, tapi disebut anak pintar apapun caranya, baik yang setengah halal ataupun yang tidak sama sekali. Mencontek menjadi kegiatan yang tidak lagi dipandang ”haram” sebagaimana mestinya, tapi sebagai usaha survival bagi setiap anak didik.    
Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat seorang anak manusia memuaskan dahaga kebutuhannya akan pengetahuan agar dapat bertahan dalam kehidupannya, berubah bentuk menjadi tempat anarki terhadap anak didik, melalui pengelompokan serta diskriminasi terhadap anak manusia. Sekolah menjadi penjara-penjara yang mengurung siswa dalam keterkekangan dan merunduk mengikuti jalan yang sudah ditentukan oleh kurikulum pusat, maupun sekolah, berdasarkan apa yang dipikirkan sebagai hal yang ”baik”, namun yang belum tentu terasa ”baik” oleh yang menjalaninya sendiri yaitu para siswa.  
Menyedihkan sekali bahwa gambaran situasi pendidikan seperti di atas tampaknya terjadi di sebagian besar sekolah di Indonesia, di berbagai level pendidikan. Muatan materi yang ditransfer kepada anak didik bukan berawal dari kebutuhan anak didik itu sendiri, atau paling tidak dianggap baik bagi sang anak oleh pembuat kebijakan, tetapi justru sarat muatan politis dari pihak-pihak tertentu demi kepentingan mereka pribadi, bukan kepentingan anak didik. Pertanyaan mendasar pendidikan untuk siapa? Rasanya pantas untuk segera direnungkan baik oleh guru, maupun para pengambil keputusan di bidang pendidikan di negri ini.  
Dari sekian banyak sekolah di negri ini, hanya sebagian kecil saja yang mungkin sudah berusaha untuk  mengembalikan sekolah sebagai tempat untuk memuaskan pengetahuan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan memerdekakan peserta didik untuk memilih jalan pembelajarannya sendiri. SMP Alternatif Qaryah Thayyibah (dalam artikel ini selanjutnya disebut QT) tampaknya merupakan satu di antaranya. Tulisan di bawah ini mencoba memaparkan apa yang telah dikerjakan oleh SMP Alternatif Qaryah Thayyibah, sebagai pembanding usaha untuk mengembalikan proses pembelajaran pada sang empunya asli: para peserta didik yaitu siswa. Diharapkan melalui pemaparan ini, para pelaku pendidikan di negri ini bisa mendapatkan ide untuk menjalankan proses belajarnya pada hakekat yang sejati, yaitu pendidikan yang membebaskan.


Pendidikan Alternatif: SMP Alternatif Qaryah Thayyibah

Terletak di desa Kalibening-Salatiga, Jawa Tengah, sekolah ini tidak berdiri di atas lahan yang luas. Hanya di sebuah rumah penduduk, Ahmad Bahruddin, seorang aktifis kelompok petani, yang sekaligus bertindak selaku kepala sekolah dan penggagas berdirinya sekolah alternatif ini. Dilihat dari segi fisik, jelas-jelas sekolah ini dari awal bermaksud menjauhkan kesan ”penjara” sebagaimana sekolah konvensional pada umumnya. Sekolah ini dibuat tanpa pagar maupun gerbang yang berkunci, sehingga siswa bisa datang untuk belajar di sekolah kapan saja mereka mau. Bahkan bila sang siswa bermaksud menginap di tempat inipun, dipersilakan. Tidak ada papan nama yang terpampang untuk sekolah ini. Yang menandai sekolah ini dari bangunan lain hanyalah sebuah antena 40 meter yang menjulang tinggi, yang memungkinkan siswa-siswanya memperoleh akses internet 24 jam untuk menjelajah cakrawala ilmu pengetahuan tanpa batas. Hingga Dr. Naswil Idris –peneliti untuk Asia Pasific Telecommunity yang berpusat di Hongkong menyebutkan bahwa QT telah disejajarkan dengan tujuh komunitas pengguna internet dan komputer terbaik di dunia, seperti Kampung Issy Les Moulineauk di Perancis, juga Kecamatan Mitaka di Tokyo (sebagaimana dituliskan dalam buku Pendidikan Alternatif, editor Bahruddin, A., 2007).
Saat ditanyakan bagaimana awal pendirian sekolah ini, Bahrudin menjawab bahwa pendirian sekolah ini sebenarnya bermula dari ketidaksengajaan. Berawal dari kebutuhan anaknya , yaitu Hilmy yang perlu melanjutkan sekolah pada jenjang SMP. Namun ditemukan kendala adanya biaya yang begitu besar untuk uang pangkal, uang pendidikan setiap bulan, bahkan juga untuk transportasi ke kota. Ia juga menyaksikan banyak dari anak-anak di desanya yang tidak mampu melanjutkan sekolah karena keterbatasan dana yang mereka miliki untuk anak-anak mereka. Kala itu ia, selaku ketua RW berusaha mengumpulkan warganya dan menawarkan untuk mengadakan sekolah sendiri bagi anak-anak mereka. Di antara 30 kepala keluarga, hanya ada 12 KK yang akhirnya setuju dan mengijinkan anak mereka terlibat dalam sekolah ini. Ia kemudian mengumpulkan staf kelompok tani yang dipimpinnya untuk ikut terlibat dalam mendidik anak-anak ini.
Bahruddin menyatakan tak pernah membayangkan bahwa sekolah yang didirikannya 5 tahun yang lalu ini, akhirnya akan menjadi buah bibir seperti sekarang ini. Pengakuan datang dari berbagai arah, seperti misalnya yang ditunjukkan dari hasil nilai rata-rata ulangan siswa QT ternyata bahkan jauh lebih baik dari sekolah induknya, terutama untuk mata pelajaran matematika dan Bahasa Inggris, yaitu mencapai nilai 8.86. QT juga diminta untuk mewakili Salatiga dalam lomba motivasi belajar di tingkat provinsi, juga mewakili Salatiga dalam Konvensi Lingkungan Hidup Pemuda Asia Pasifik di Surabaya. Tiga siswa QT menerima Indonesian Creative Award 2006 dari Yayasan Cerdas Creative Indonesia pimpinan Seto Mulyadi atas tulisan mereka yang berjudul ”Haruskan UN Dihapus?”. Salah satu siswa yang lain telah diundang oleh PT Agri Cinal Bengkulu sebagai fasilitator dalam pelatihan metode pembelajaran, ia yang baru berusia 14 tahun juga dengan penuh percaya diri, berdiri tampil memberikan pidato di depan 90 kepala sekolah berprestasi se-Indonesia.  
Pengakuan terhadap karya-karya mereka, seperti beberapa buku cerpen karya siswa QT yang telah diterbitkan oleh salah satu penerbit nasional, film yang telah dibuat (yang diakui oleh siswa tersebut hasil belajarnya sendiri dari internet), usaha penterjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia buku biography Ché Guevera oleh salah satu siswa di sana, merupakan bukti keberhasilan yang tak terbantahkan atas kinerja QT untuk menjadi salah satu agen pencerdas kehidupan bangsa. Tak heran, hal ini menimbulkan keingintahuan orang untuk berbondong datang dan belajar padanya, baik dalam bentuk perseorangan maupun kelompok, pejabat pemerintah, DPR bahkan pemerhati pendidikan dari luar negri. Keberhasilan QT di Kalibening in telah menginspirasi Serikat Tani Qaryah Thayyibah untuk mendirikan  11 sekolah serupa yang tersebar di Salatiga, Semarang, Magelang dan Boyolali.  
Secara formal QT tercatat sebagai Sekolah Terbuka, yang dikembangkan dari konsep home schooling. Sekolah ini menginduk pada SMP 10 di Kecamata Argomulyo Salatiga, sehingga kelak ijazah yang akan diterima siswa-siswi ini adalah ijazah SMP Negri 10. Di tahun pertama, siswa sekolah ini hanya terdiri dari 12 anak yang dibimbing oleh 15 pembimbing. Dalam perkembangan berikutnya, sekolah ini diikuti oleh 120-an anak, terdiri dari SMP kelas I : 20 orang, kelas II: 27 orang, dan kelas III: 30 orang, dan SMA kelas I terdiri dari 24 orang, kelas II: 18 orang. Saat ini pembimbing yang ada sekitar 8 orang. Namun sekolah ini sesekali mengundang guru-guru yang dapat memberikan informasi tambahan bagi siswa-siswa, terutama untuk topik-topik yang secara khusus ingin dipelajari oleh siswa. Namun Bahruddin menekankan tidak ada kondisi ”ngongso” (terpaksa). Dicontohkan misalnya pernah siswa-siswa ingin mendalami bahasa Jepang. Kepala sekolah akan mencoba mencarikan apabila ada volunteer yang bersedia mengajarkan bahasa Jepang. Namun bila ternyata harus mengeluarkan biaya khusus, maka akan dibicarakan bagaimana pengadaannya. Bila kondisi dana memang memungkinkan maka akan diadakan, bila ternyata tidak ada dana, menurutnya tidak perlu menyesali. Kemungkinan bisa dicari topik bahasan lain yang tidak kalah menarik. Dalam hal ini, tidak ada rasa terbeban, tidak perlu ada yang dipaksakan.

Prinsip Dasar QT dan Pelaksanaannya
Dalam salah satu artikel di buku Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah (editor Bahruddin, A., 2007) tercatat bahwa QT mengembangkan paling tidak 3 prinsip utama yaitu:
Pertama, bahwa pendidikan adalah diperuntukkan bagi siswa sendiri dan masyarakat sebagai pusat pembelajaran. Pendidikan diyakini sebagai proses humanisasi, yaitu suatu proses dimana peserta didik mencoba mencapai perwujudan dirinya sendiri sebagaimana kemampuan dan keunikannya sendiri. Pendidikan seharusnya membantu anak didik untuk mengembangkan dirinya sendiri dan bukan memaksakan anak didik untuk dicetak menjadi seragam yang justru akan mengalineasi perserta didik dari dirinya sendiri.
Prinsip ini tampaknya benar-benar diterapkan dalam pelaksanaan proses pembelajaran di QT. Siswa-lah yang serba menentukan mengenai pengadaan pembelajaran di sekolah ini. Misalnya saja mengenai jam pelajaran. Di QT siswa sendirilah yang mengadakan kesepakatan jam berapa mereka akan memulai pelajaran. Pada awal didirikannya dahulu, pelajaran dimulai pukul 6 pagi sesuai kesepakatan siswa kala itu. Namun seiring dengan bertambahnya jumlah siswa dan kini lebih banyak siswa yang bertempat tinggal agak jauh dari QT maka sekarang ini pelajaran dimulai pukul 7. Siswa sendiri juga yang menentukan bentuk hukuman yang diberikan kepada siswa yang terlambat. Bentuk hukuman tidak bersifat mengintimidasi, tetapi berupa karya yang produktif, misalnya saja berupa karangan tertentu yang disepakati seberapa banyak. Yang menarik, karya-karya hasil hukuman ini akhirnya sempat diterbitkan menjadi sebuah buku, kumpulan karya siswa-siswa QT.     
Pelaksanaan prinsip pertama ini tampak pula pada pembentukan kurikulum. Pada siswa kelas I, untuk mempermudah pelaksanaan pembelajaran, maka kurikulum masih mengikuti kurikulum dari pemerintah. Namun pelaksanaannya sangat fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan dari siswa, bahkan biasanya dikembangkan. Mereka menyebutnya sebagai KBK, dari singkatan: Kurikulum Berdasarkan Kebutuhan. Dicontohkan misalnya dalam matapelajaran PPKN, materi mereka perluas dengan nilai-nilai HAM dan demokrasi. Juga pada indikator standar kompetensi,” anak dapat menjelaskan mengapa wajib bela negara”, mereka kembangkan dengan merinci apa definisi negara menurut tokoh-tokoh tertentu, bahkan apa yang membedakan negara dengan bangsa dll. Pada beberapa materi, siswa bisa saja menolak untuk membahasnya dalam tatap muka, tetapi dibebankan pada masing-masing siswa dalam bentuk membacanya sendiri ataupun diskusi kecil dalam kelompok. Semua ditentukan oleh kesepakatan siswa sendiri.
Selepas kelas I, siswa sendiri yang lebih banyak menentukan hal apa yang ingin dipelajari. Bahkan untuk yang level SMA, guru pendamping berperan semakin kecil. Pertemuan mereka juga tidak lagi melulu di dalam gedung sekolah QT, tapi bisa bergiliran di rumah masing-masing anak. Mereka juga menekuni minat mereka masing-masing. Seperti salah satu siswa yg menekuni bidang arsitektur dan saat ini sudah mampu merancang gedung bertingkat, lengkap dengan gambar 3 dimensi dari komputer. Rancangan tersebut saat ini sebagian telah dicoba diwujudkan pembangunanya sebagai gedung yang ditempati Bahrudin sebagai aula untuk menerima tamu rombongan. Salah satu siswi juga telah berhasil membuat sebuah film sedangkan yang lain menerbitkan buku. Di luar materi yang mereka sepakati di masing-masing kelas, atas inisiatif siswa sendiri, mereka membentuk kelompok minat yang mereka sebut sebagai FORUM. Anggota Forum adalah siswa dari berbagai kelas yang memiliki minat yang sama, misalnya saja forum teater, otomotif, musik, arsitek, film dll. Forum terbaru yang terbentuk adalah Forum Kesehatan yang dibimbing oleh seorang pakar di bidang Terapi Tulang Belakang dan ahli Iris Mata, yang mampu mendeteksi gangguan kesehatan melalui iris mata.
Prinsip yang kedua, adalah Pengembangan pendidikan komunitas dengan pendekatan CTL (contextual teaching and learning) dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah pendidikan kontekstual, yaitu proses pendidikan yang mencoba mengaitkan mata pelajaran akademik dengan konteks mereka sendiri, baik keadaan pribadi, sosial maupun budaya mereka. Dengan demikian, apa yang dipelajari di kelas akan selalu dikaitkan dengan dunia nyata dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh pengembangan prinsip ini adalah adanya sebagian uang iuran sekolah sebesar Rp 1000 yang digunakan untuk menyediakan makan sehat bagi siswa setiap harinya. Siswa yang menentukan menu, dengan memperhatikan pelajaran tentang nutrisi yang telah dipelajarinya. Sedangkan penyediaannya diserahkan pada salah satu penduduk desa yaitu bu Laminah yang rumahnya tepat di dekat QT yang bertujuan juga sekaligus sebagai pemberdayaan penduduk lokal.
Masih berhubungan dengan itu, prinsip yang ketiga adalah penekanan membangun basis pendidikan yang berorientasi pada komunitas, sehingga kurikulum nasional akan dikritisi agar sesuai dengan realitas asli di dalam masyarakat. Dalam hal ini QT mengijinkan bahwa kegiatan belajar akan ditentukan bersama-sama siswa, memberikan keleluasaan bagi setiap individu untuk menentukan pusat perhatian sendiri dalam belajar, sehingga setiap siswapun bebas untuk menentukan sifat maupun isi apa yang ingin dipelajarinya sendiri. Sehubungan dengan hal itu pula, siswa diberi keleluasan untuk mencari dan menemukan sendiri apa yang sudah ada dalam masyarakatnya, dan apa yang perlu diadakan di tengah masyarakatnya sendiri. Siswa sebagai bagian dari masyarakat, didorong untuk mampu memecahkan apa yang menjadi problem hidupnya dan masyarakatnya.
Sehubungan dengan hal ini, di sekolah ini, ”kelas” didefinisikan dalam arti yang luas. Alam sekitar dapat digunakan oleh siswa sebagai sumber pembelajaran. Kelas lebih diartikan sebagai tempat untuk bertemu bersama, sehingga bisa bermakna di mana saja tergantung konteks dari kurikulum yang dikembangkan. Bisa di dalam kelas, bisa di bawah pohon, di teras maupun di sawah. Bisa juga di rumah para siswa secara bergilir. Semua diputuskan oleh siswa sendiri. Sehubungan dengan hal ini, Bahruddin sempat menyebutkan bahwa dengan hal ini kondisi apapun tidak dapat dipandang sebagai masalah, tetapi justru tantangan untuk pembelajaran. Dicontohkannya, bila kondisi banjir, bisa saja kelas dalam bentuk fisik tidak hadir. Tapi kondisi yang ada justru bisa menjadi bahan pembelajaran misalnya mengapa banjir terjadi, apa yang terjadi saat banjir dll.  
Prinsip ini tercermin pula misalnya dalam usaha siswa untuk mengembangkan kurikulum sendiri disesuaikan dengan kondisi desa dan persoalan yang dihadapi di desanya, misalnya dengan mengembangkan percobaan untuk menciptakan biogas dari sisa daun bambu yang banyak berhamburan di desanya. Atau pengembangan proyek budidaya belut yang lebih dekat dengan kehidupan anak-anak di desa tersebut.
Realisasi lain dari prinsip ini adalah pengambilan keputusan yang diserahkan pada para siswa sendiri untuk mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) ataupun tidak. Pada angkatan pertama, sebagian siswa memutuskan untuk tidak mengikuti UAN dan menggantinya dengan tugas akhir yang mereka sebut sebagai ”disertasi”. Yang menarik, di antara mereka ada 3 orang yang akhirnya memutuskan untuk sengaja mengikuti UAN dengan alasan, ingin mengetahui sejauh mana kemampuan mereka sendiri dan alasan kedua adalah untuk membuat penelitian mengenai UAN itu sendiri. Keikutsertaan mereka dalam UAN ini pada akhirnya dilaporkan dalam sebuah karya yang oleh mereka disebut ”disertasi” dengan judul ”Haruskan UN dihapus?”. Berkat tulisan ini, mereka mendapatkan penghargaan Indonesia Creative Award 2006.
QT sendiri memiliki keyakinan bahwa keberhasilan siswa bukan ditilik dari hasil tes tetapi dari hasil karya yang berguna. Bahruddin juga menegaskan bahwa tes, lebih ditempatkan sebagai alat bagi diri siswa teresebut sendiri untuk mengukur kekuatannya. Jadi bukan dari usaha orang lain untuk memberikan penilaian seberapa mampu individu tersebut berdasarkan standar tertentu, tetapi merupakan kemauan dari individu itu sendiri untuk mengetahui sejauh mana kemampuannya. Oleh karena itu, dalam QT tidak ada sebutan ranking. Dengan konsep seperti ini, keinginan untuk berkompetisi secara tidak sehat dengan menginjak teman-teman yang lain akan dapat dihindari. Dengan konsep ini pula, tentu tidak akan ada lagi anak-anak yang berbuat curang demi sekedar mendapatkan hasil testing dengan nilai yang baik karena mereka sendirilah yang sedang ingin mengukur kekuatan mereka sendiri. Hal ini tampaknya juga diresapi oleh siswa-siswa QT. Saat menghadapi tes, tampak suasana tanpa beban, bahkan ada yang berseloroh, ”...kalau tak lulus sekarang, ya besok tahun depan dicoba lagi saja...”        

Peran Guru dalam Pembelajaran di QT

Guru dalam istilah yang mutlak tidak dikenal dalam komunitas QT. Guru lebih disebut sebagai pendamping, yang berperan sebagai teman, bahkan sahabat yang bertindak sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran. Atau dalam istilah Paulo Freire (dalam Bahruddin, 2007), guru-yang-siswa dan siswa-yang-guru. Guru tidak ditempatkan sebagai pribadi yang serba tahu, tidak sebagai sumber informasi dan pengetahuan di kelas. Apabila ia dianggap tahu, adalah dalam konteks lebih dulu tahu dari yang lain yaitu siswa-siswanya. Tetapi guru tetap dipandang sebagai manusia biasa yang tak lepas dari kegagalan, dan kelemahan, sehingga dipandang sebagai insan yang perlu terus belajar, bahkan dari siswanya. Inilah konteks guru-yang-siswa.
Sementara itu, siswa juga tidak selamanya bodoh dan tidak tahu. Ia dengan keingintahuannya melakukan eksperimen-ekperimen yang memungkinkannya untuk dalam beberapa hal menjadi lebih tahu daripada gurunya. Sangat tidak bijaksana bila guru hanya karena statusnya memaksakan kehendaknya dan menganggap ia lebih tahu dari siswanya. Dalam kondisi ini, guru dengan segala kerendahatiannya harus mau untuk belajar dari siswanya, dan membiarkan sang siswa berperan sebagai guru. Dalam hal inilah terjadi siswa-yang-guru (Bahruddin, 2007).
Dengan konteks ini, pengelola QT mendorong semua gurunya untuk bersedia belajar juga kepada siswanya. Hal ini bahkan ditegaskan Bahruddin bahwa sebelum masuk mengajar, salah satu seleksi yang dilakukan adalah melihat komitmen mereka untuk bersedia bersama-sama belajar dengan siswanya. Hal ini juga dikemukakan Ahmad Muntaha, pendamping kelas I, bahwa ada kalanya saat siswa-siswa menyatakan ingin belajar tentang suatu topik tertentu, sementara ia sendiri sebagai guru belum banyak tahu tentang hal itu, maka ia dengan serta merta akan bersama-sama dengan siswa untuk belajar tentang hal tersebut. Bahkan ada kalanya, siswanya telah menguasai suatu materi, (misalnya masalah komputer) maka ia dengan tanpa ragu akan belajar dari siswa tersebut tentang hal yang belum dikuasainya itu. Satu kejadian sederhana sempat tercatat dalam buku Bahruddin (2007), yaitu saat seorang siswa setelah menjelajah internet bertanya pada gurunya, ” Tahu tidak apa yang dilakukan Presiden Soekarno setelah membaca teks proklamasi?” Sang guru terkejut karena ia sendiri memang tidak tahu apa yang dilakukan Soekarno kala itu. Sementara sang siswa, dengan kesempatannya yang luas untuk menjelajah cakrawala pengetahuan memungkinkannya lebih tahu apa yang dilakukan oleh Soekarno setelah membaca teks proklamasi: memanggil bakul sate dan makan sate.
Kesetaraan antara guru dan siswa juga tercermin pada penempatan posisi guru saat guru berada di ruang kelas. Biasanya bentuk kelas dibuat dalam posisi melingkar yang memungkinkan dialog terbuka antar siswa di dalam kelas tersebut. Guru  sendiri diposisikan sebagai bagian dalam lingkaran tersebut sehingga memberikan gambaran bahwa tidak ada batas antara guru dan siswa. Dalam pembicaraan sehari-hari, siswa berbicara dengan bahasa Jawa ngoko (bentuk bahasa yang hanya digunakan kepada sesama teman bukan kepada orang yang lebih tua dan dihormati), sebagai bentuk ditinggalkannya sistim strata dan feodalisme antara guru dan siswa. Salah satu guru sempat menyampaikan pula suatu pengalaman, bahwa siswanya berhak- atas kesepakatan kelas- membatalkan pertemuan kelas pada suatu waktu tertentu, sehingga ia diminta untuk tidak datang ke sekolah oleh siswa-siswanya. Sangat berbeda dengan kondisi kelas konvensional dimana gurulah yang memiliki otoritas penuh kapan kelas akan diadakan atau tidak dan siswa harus tunduk dengan keputusan guru. 
Dalam konteks QT, guru apabila lebih tahu, diharapkan tidak hanya sekedar memberi tahu, tetapi justru memunculkan pada anak-anak jiwa ingin tahu. Sehingga tugas guru adalah mendampingi anak untuk melakukan pencariannya sendiri. Dengan situasi seperti ini, setiap siswa diyakinkan bahwa ia mampu menjadi pembelajar mandiri. Sumber informasi tidak hanya dari satu tempat tetapi dari berbagai penjuru. Dalam hal ini, kompetensi formal seorang guru tidak lagi menjadi syarat mutlak, yang penting, mentor adalah seseorang yang menguasai materi yang diajarkannya. Guru Matematika di sekolah ini adalah seorang lulusan SMA, sementara yang lain adalah sarjana dari IAIN. Sujono bahkan menyatakan bahwa gelar yang banyak bukan menjadi jaminan mampunya guru memfasilitasi anak untuk mengembangkan dirinya sendiri. Ditakutkan bahwa gelar yang banyak justru bisa saja membuat guru minta dihormati dan diakui lebih banyak sehingga justru mematikan kreatifitas siswa. Namun demikian pelajaran di QT tetap dikaji dengan serius, kadang-kadang dengan mengundang guru-guru dari sekolah lain. Di QT sendiri pernah dicobakan sistem pembelajaran matematika realistik, metode baru yang dikembangkan di Utrech University Belanda, dan di Indonesia sendiri sedang dikembangkan di ITB dan UNESA. Tidak heran bila nilai belajar matematika siswa-siswa QT bahkan lebih unggul dari siswa-siswa SMP induknya.     
Pembagian pendamping pun tidak dilakukan dengan kaku. Sebagaimana diceritakan oleh Muntaha, ia adalah pendamping kelas I, tetapi siswanya bisa belajar dari guru mana saja, siapa saja yang saat itu bisa membantu siswa untuk belajar. Dalam situasi seperti ini pula, suasana belajar terus dibangun dalam berbagai kesempatan, oleh semua orang yang berada di komunitas QT. Bila siapa saja dan apa saja bisa menjadi sumber informasi, maka bisa dibayangkan akselerasi proses belajar yang terjadi di QT. Semua orang belajar, termasuk guru dan siswa, sehingga semakin tahun bertambah, setiap orang bertambah pula pengetahuannya, dan seperti multiplikasi yang terjadi dalam sel-sel tubuh, terjadi pula multiplikasi pengembangan pengetahuan dalam diri setiap anggota komunitas QT.   
Dalam praktiknya, situasi belajar mengajar yang dicoba untuk diterapkan adalah, dengan mengembangkan active learning (sebagaimana ditulis oleh Musa Ahmad dalam Bahruddin, 2007) yang dibangun dari filsafat konstruktivisme. Sistim ini percaya bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, tidak sekaligus. Oleh karena itu, siswa akan dihadapkan pada permasalahan setahap demi setahap sehingga pada akhirnya nanti ia mampu mengatasi persoalannya sendiri secara mandiri. Selain itu, ditekankan bahwa pengetahuan bukan hanya seperangkat fakta yang harus dihapalkan, tetapi harus dikonstruksikan dan dibangun sendiri oleh siswa dalam proses partisipatif, sehingga keterlibatan siswa bisa sejajar dengan pertumbuhan dan perkembangan pengalaman siswa. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya maka dikembangkan beberapa hal di bawah ini:
a)      Problematik: Kegiatan pembelajaran dimulai dengan penyajian problematik oleh guru selaku fasilitator. Problem ini memungkinkan siswa dihadapkan pada persoalan yang harus secara aktif diatasi oleh siswa dalam setiap pembelajaran.
b)      Discovery & Inquiry: siswa didorong untuk mampu menganalisa, serta menemukan hal-hal baru. Dalam hal ini guru sebagai fasilitator berkewajiban untuk memotivasi siswa untuk bertindak kreatif untuk melakukan penjelajahan, dan mencoba mengatasi problem yang dihadapi. Guru menyediakan akses terhadap berbagai informasi baik melalui buku ataupun internet ataupun sumber informasi lain. Hal ini akan mendorong siswa untuk memahami bahwa sumber informasi bisa sangat luas tak terbatas, dan ia secara mandiri dan tak terbatas pula memiliki akses untuk mengembangkan dirinya dan menambah-nambah pengetahuannya dari berbagai sumber media informasi tersebut.
c)      Sharing, adalah pembagian pengalaman dalam pemecahan masalah. Situasi ini mendorong siswa untuk berani menyatakan pendapatnya, sekaligus siap berhadapan dengan orang lain yang mungkin akan mengkritisi penemuannya. Bersama-sama mereka akan membangun pemahaman baru tentang topik dan permasalahan yang dibahas, sekaligus memberikan pengertian bahwa mereka tidak dapat hidup sendirian terlepas dari komunitasnya. Dalam hal ini, guru berperan untuk dapat memfasilitasi bentuk sharing yang memberikan kesempatan yang adil untuk setiap siswa menyatakan pendapatnya serta menjaga dialog yang sesuai dengan pengertian dan kemampuan nalar siswa.

Saat ditanyakan bagaimana guru di QT menghadapi siswa yang malas, Muntaha menjawab bahwa malas itu mungkin terjadi karena cara pandang yang berbeda antara guru dan siswa. Malas mungkin hanya dalam konteks bahwa siswa tidak mau mengerjakan apa yang diharuskan oleh gurunya untuk dikerjakan oleh siswa tersebut. Saat ia tidak mau, lalu disebut sebagai malas oleh gurunya. Ditambahkannya bahwa setiap siswa pasti memiliki keinginan untuk belajar sesuatu. Asal pihak guru tidak memaksakan kepada siswa apa yang ingin dipelajarinya, maka dalam konteks ini, tidak akan ada anak yang disebut malas. Salah seorang guru yang lain, Sujono Samba, menambahkan, ia meyakini bahwa setiap orang memiliki motivasi untuk belajar, ingin tahu sesuatu. Jadi menurutnya, hal inilah yang harus banyak dikembangkan oleh guru, dan di sinilah peran guru, yaitu untuk memfasilitasi agar siswa tersebut- sesuai dengan minatnya- dapat belajar dengan maksimal dan mengembangkan dirinya untuk mencapai yang terbaik yang mungkin dicapainya. Hal ini mungkin dapat menjadi momen kritis sebagaimana yang dinyatakan oleh Thorndike (1999, dalam buku karangan Elliot, S.N. dkk. berjudul Educational Psychology) bahwa saat inidividu memiliki kesiapan untuk belajar sesuatu, bila kesempatan itu tidak diberikan, individu dapat mengalami frustasi dan kejengkelan, sedangkan bila kesempatan itu diberikan maka akan timbul rasa puas.
Lebih lanjut ditekankan bahwa  guru juga harus mengusahakan suasana kelas yang riang, dinamis dan penuh kreatifitas. Hal ini bisa terjadi apabila di dalam kelas tidak ada suasana yang mengintimidasi, sehingga setiap individu dapat mengekspresikan dirinya dengan penuh percaya diri tanpa rasa takut. Hal ini sejalan dengan konsep Winkel (1989, dalam bukunya Psikologi Pengajaran) yang menyatakan bahwa suasana belajar yang menyenangkan akan memungkinkan individu untuk termotivasi belajar, dan hal ini akan meningkatkan kemampuan belajar individu.
Guru tidak hanya seorang fasilitator, tapi juga apresiator. Setiap hasil kerja siswa perlu dihargai, apapun bentuknya, sehingga penilaian di kelas QT hanya terdiri baik (good) hingga luar biasa (outstanding). Karya-karya juga dihargai dengan sungguh-sungguh, salah satu contoh misalnya dibuatnya sebuah buku dari kumpulan coretan gambar salah satu siswa dan diberi judul ”Luluk’s Galery”. Skinner (1971, dalam buku Beyond Freedom and Dignity) meyakini bahwa bila suatu perilaku diberikan penghargaan, maka perilaku itu akan cenderung untuk diulang. Sesuai dengan konsep ini, kegiatan produktif yang diberi penghargaan akan memicu lahirnya berbagai kegiatan produktif berikutnya. 
Tidak saja karya siswa yang perlu dihargai, tetapi juga pilihan siswa untuk mengembangkan cara belajarnya sendiri. Di QT, siswa juga diberi kebebasan untuk menentukan apakah ia ingin belajar di dalam kelas ataupun di luar kelas. Bentuk suasana belajarnyapun sangat berbeda dengan suasana belajar di kelas konvensional. Seperti saat penulis datang ke lokasi, dijumpai beberapa anak sedang mengerjakan tugasnya sambil berkelesot di teras. Di sudut yang lain ditemui seorang anak belajar bermain gitar, di sudut yang lain lagi sedang membuka internet dan menggali informasi di sana, atau sekedar membuka yahoo messanger. Di sudut yang lain seorang siswa sedang mengerjakan tugasnya di depan komputer sambil menyetel lagu dangdut dalam bentuk hot music kegemarannya. Sementara di luar, sekelompok siswa sedang berdiskusi dan membuka buku bersama. Tampak wajah-wajah bersemangat, santai dan senang dengan apa yang dikerjakannya. Apabila siswa sudah terlalu kecapaian, siswa pula berhak untuk berhenti belajar dan melakukan apa yang disukainya, baik bermain game, menyetel musik, bercanda ataupun sekedar berjalan-jalan di sekitar gedung. Bahkan ada salah satu dari antara mereka yang kemudian berkata ”Istirahat dulu aahh... ” seraya merebahkan diri setengah tidur di atas lantai. Tampak betul bagaimana mereka menentukan sendiri apa yang ingin dikerjakan saat itu. Rupanya konsep Thorndike (1999) bahwa untuk mencapai pembelajaran yang maksimal diperlukan adanya readiness to learn, kesiapan untuk belajar, benar-benar diterapkan di lingkungan QT. Siswa dipersilakan belajar hanya pada saat mereka telah siap untuk melakukannya. Kondisi belajar yang seperti inilah yang konon menurut Thorndike akan menimbulkan hasil belajar yang terbaik. Karena menurutnya, kesiapan belajar akan mampu mengirimkan sinyal pada individu untuk membuka kunci-kunci yang tertutup. Dikatakannya, sekolah tidak bisa memaksa siswa untuk belajar bila mereka tidak siap secara fisik maupun psikis untuk melakukannya.    

Penutup

Membiarkan siswa untuk memilih sendiri hal-hal yang diminatinya mungkin merupakan ide yang terlalu radikal bagi beberapa orang. Bukankah siswa dihadapkan pada kenyataan bahwa merekapun membutuhkan pengakuan dari masyarakat, berupa ijazah? Sementara ijazah itu sendiri hanya bisa diperoleh apabila siswa lolos test, dan kelolosan dari test itu selama ini, berdasarkan standar dan kurikulum tertentu yang ditentukan oleh orang di luar individu. Menyikapi hal ini Bahruddin memiliki jawaban menarik. Ia mengatakan bahwa pengakuan sebenarnya tidak akan pernah didasarkan pada selembar kertas. Pengakuan diberikan ketika individu mampu menunjukkan bahwa dirinya memang mampu di bidang tertentu. Tanpa perlu dibuktikan dengan selembar kertas, pengakuan itu akan datang dengan sendirinya. Saat ditanya bagaimana tempat anak-anak lulusan QT tersebut berada di dunia kerja, apakah ijazah mereka diakui untuk bekerja di suatu tempat? Bahruddin dengan tegas menjawab bahwa hakikat bekerja harus dikembalikan pada konsep yang benar yaitu berproduksi, bukan ”mencari majikan”.  Maka bagaimana mereka belajar, mengembangkan diri, konteksnya harus dibawa pada tujuan akhir: menjadi insan yang mampu berproduksi, bukan insan yang mampu mempunyai majikan. Dalam konteks seperti ini, tampaknya selembar ijazah bukan lagi menjadi kertas sakral, yang menentukan hidup mati di dunia kerja mereka nanti.
Akhirnya, sudah waktunya pendidikan dikembalikan kepada sang pemilik asli, yaitu peserta didik, para siswa, sehingga sekolah dan guru tidak berlaku sebagai sipir penjara tetapi menjadikan proses pembelajaran sebagai pendidikan yang membebaskan. Sekolah dan guru, tampaknya hanya perlu berperan sebagai fasilitator, denominator juga apresiator yang mendorong setiap peserta didik atau siswa untuk menemukan dirinya sendiri, mampu mengevaluasi dirinya sendiri sehingga memahami dengan tepat potensi-potensi yang mereka miliki.  Pada gilirannya ia dapat mengembangkan potensi itu secara maksimal bagi kebaikan dan manfaat bagi diri sendiri maupun orang yang lain (Bahruddin, 2007).
Apa yang disampaikan oleh Bahruddin di ujung pertemuan mungkin perlu menjadi perenungan kita bersama dalam melaksanakan pendidikan bagi para siswa, ”Jangan sampai karena kekuatiran kita sendiri bahwa anak harus tahu ini dan itu, kita justru merampas hak anak untuk menentukan hidup dan minatnya sendiri”.






Riwayat singkat penulis:
Penulis terlahir di Solo, menjalani masa kecil hingga remaja akhir di kota tersebut.  Ia menyelesaikan studi S1 di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1998 dan kemudian berkesempatan melanjutkan studi S2 di Ateneo de Manila, Philippine dengan konsentrasi Counseling Psychology yang diselesaikannya di tahun 2004. Saat ini aktif mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana, terlibat dalam pengembangan program di fakultas tersebut sebagai Dekan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto saya
Love arts and jokes... Life is tasteless without both of it!