Leelou Blogs
topbella

Kamis, 09 Desember 2010

Mencabut Akar Sikap Negatif, Menanam Benih Sikap Positif, untuk Menuai Kesuksesan

Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi, M.A.*

Pengantar
Tebakan-tebakan ini mungkin tak asing bagi anda: Ada 26 huruf dalam alphabet. Bila masing-masing huruf merepresentasikan angka untuk mencapai keberhasilan seseorang, A=1, B=2, dst hingga Z=26. Apa yang membuat seseorang mencapai 100% keberhasilannya?
Apakah HARDWORK? = 8+1+18+4+23+15+18+11 = 98%. Bukan!
Apakah KNOWLEDGE? = 11+14+15+23+12+5+4+7+5 = hanya 96%. Juga bukan!
Bagaimana dengan ATTITUDE? A (1) + T (20) + T (20) + I (9) + T (20) + U (21) + D (4) + E (5) = 100 % = ATTITUDE!!
Dalam tebak-tebakan di atas, attitude yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dalam kata “sikap” dianggap menjadi hal yang teramat penting dalam kehidupan. Hal ini sejalan dengan pandangan Dornan dan Maxwell (1966) yang dengan tegas manyatakan bahwa sikap menentukan tingkat kesuksesan individu. Secara rinci disebutkan bahwa:
1.      Sikap individu terhadap kehidupan menentukan sikap kehidupan terhadap diri individu itu sendiri.
2.      Sikap terhadap orang lain menentukan sikap orang lain terhadap individu itu sendiri
3.      Sikap pada awal suatu tugas akan menentukan sukses atau tidaknya pekerjaan tersebut dikerjakan oleh individu tersebut.
Hal di atas membawa konsekuensi bahwa sesungguhnya individu menciptakan lingkungannya sendiri. Hal ini terjadi karena individu tinggal dalam suatu sistem dalam suatu unit seperti sistem keluarga, sekolah, pekerjaan, komunitas dll. Dalam suatu unit sistem, reaksi yang dilakukan oleh suatu bagian dari sistem akan berpengaruh dan mendapatkan reaksi dari bagian sistem yang lain (Corsini & Wedding, 1989). Demikian juga reaksi tersebut akan menimbulkan reaksi baru dari bagian sistem yang lain, demikian seterusnya. Manusia adalah mahluk yang sangat sensitif terhadap sikap dan perilaku orang lain. Pengalaman ini mu[1]ngkin tak asing bagi anda: Kita secara otomatis tersenyum balik saat ada seseorang yang melintas melemparkan senyuman yang tulus ke arah kita, bahkan saat kita tidak mengenal orang tersebut sekalipun! Dan karena kita membalas senyuman tersebut, orang tersebut jadi berani bertanya kepada kita, siapa nama kita. Saat kita marah dengan nada tinggi dan keras, kita cenderung menurunkan nada bila orang yang sedang kita marahi membalas suara kasar dan keras kita dengan dengan ucapan lemah lembut. Dan karena kita menurunkan nada, orang yang sedang kita marahi menjadi bisa lebih tenang, sehingga ia bisa menjelaskan duduk perkara sesungguhnya dengan lebih runtut. Kedua contoh tadi mengindikasikan bahwa apa yang kita lakukan terhadap orang lain merupakan pemicu bagi munculnya respon bagi orang lain. Apabila kita memberikan umpan yang positif pada orang lain, hal ini akan menjadi pembuka mata rantai hal-hal positif lain yang akan terjadi pada diri kita.
Dengan demikian, maka sangat penting memulai untuk menebar sikap yang positif untuk menuai hasil yang positif pula. Namun demikian, seringkali yang terjadi adalah, kita sudah memahami bahwa sikap positif dapat membawa efek positif bagi kehidupan kita, namun kita tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari sikap-sikap negatif, baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Oleh karena itu, artikel ini bermaksud mengupas bagaimana dinamika sikap baik positif maupun negatif terjadi. Berdasarkan hal itu, artikel ini bermaksud menawarkan contoh-contoh solusi untuk mengatasi sikap negatif, dan menggantinya dengan sikap yang lebih positif.  

Pengertian Sikap dan Dinamikanya.
Secara teoritis, sikap didefinisikan sebagai suatu disposisi untuk merespon baik menyukai (positif) ataupun tidak menyukai (negatif) terhadap suatu objek, seseorang, institusi atau suatu kejadian (Ajzen, 1988). Dalam hal ini, sikap merupakan hasil evaluasi. Sementara Breckler dan Wiggins (1992, dalam www. Selfgrowth.com/articles/definition_attitude.html) mendefinisikan sikap sebagai representasi mental maupun saraf, yang terorganisasi melalui pengalaman serta memberikan pengaruh terhadap perilaku. Higgins (1986, dalam www. Selfgrowth.com/articles/definition_attitude.html) menyatakan bahwa sikap merupakan bagian dari jaringan kerja dari otak yang tersimpan dalam ingatan jangka panjang. Berbagai definisi di atas mengindikasikan bahwa sikap merupakan hasil penilaian kita, terhadap sesuatu, baik sebagai hal yang positif yang kita sukai ataupun hal negatif yang tidak kita sukai, yang merupakan  hasil dari proses belajar atau pengalaman-pengalaman kita selama ini dengan hal tersebut, yang terekam dalam ingatan kita, dan yang pada gilirannya akan menentukan bagaimana kita berperilaku terhadap hal tersebut.     
Mengikuti sistem klasifikasi paling populer yang dikembangkan Plato (dalam Ajzen, 1988), sikap terdiri dari beberapa sistem yaitu kognisi, afeksi dan konasi. Sistem kognisi berisi persepsi atau pandangan seseorang tentang sesuatu hal, atau keyakinan individu mengenai hal tersebut. Misalnya sikap kita mengenai matematika. Maka dalam ranah kognisi dari sikap kita terhadap matematika, akan berisi tentang keyakinan dan pandangan kita tentang matematika: misalnya ”matematika adalah mata pelajaran yang sangat sulit”, atau ”matematika adalah pelajaran yang tidak berguna”, ”matematika adalah pelajaran paling bermanfaat dalam hidup”, ”Matematika hanya membuang waktu”. Apa yang menjadi keyakinan-keyakinan kita ini merupakan hasil dari berbagai pengalaman kita dengan matematika. Pengalaman-pengalaman tersebut  dapat membentuk sikap kita melalui proses pengkondisian, salah satunya dengan pengkondisian klasik (Baron & Byrne, 1981). Artikel ini lebih lanjut akan membahas mengenai hal ini pada bagian berikutnya.
Selain hal di atas, dalam proses pengambilan kesimpulan individu mengenai pengalamannya, ternyata tidak selamanya tepat. Individu pada kenyataannya sering melakukan distorsi kognitif atau penyimpangan berpikir, (Mckay & Fanning, 1992). Pada bagian selanjutnya dari artikel ini akan dibahas pula macam-macam penyimpangan berpikir ini yang mempengaruhi pembentukan sikap pada individu.
Sistem kedua yaitu afeksi merupakan reaksi afektif, reaksi perasaan maupun fisiologis atas suatu objek tertentu. Albert Ellis (dalam Huffman, Vernoy & Vernoy, 1997) dalam teori ABC menyebutkan bahwa reaksi afektif atau emosi/perasaan seseorang merupakan hasil dari komponen kognitif, yaitu bagaimana belief atau keyakinan individu tersebut saat seseorang menghadapi suatu kejadian. Belief bisa merupakan belief yang sifatnya positif, bisa juga merupakan belief yang sifatnya negatif. Masing-masing akan memberikan konsekuensi yang berbeda terhadap perasaan individu. Apabila belief-nya bersifat positif, maka konsekuensi afektif-nya akan positif, sedangkan apabila belief-nya bersifat negatif, maka konsekuensi afektif-nyapun juga negatif.
Dalam contoh sebelumnya, apabila kita dalam ranah kognitif meyakini bahwa ”matematika sebagai hal yang negatif, misalnya matematika adalah pelajaran yang sangat sulit, tidak berguna, dan membuang waktu”, maka reaksi afektifnya adalah reaksi negatif pula. Misalnya tidak menyukai matematika, takut terhadap matematika, muak, bosan, sebal dll. Reaksi fisiologisnya pun bisa negatif, seperti berkeringat dingin setiap menghadapi pelajaran matematika, berdebar-debar saat guru matematika datang dll. Sebaliknya apabila kepercayaan yang dikembangkan positif, maka reaksi afektifnya juga cenderung positif. Bila kita percaya bahwa matematika adalah ilmu yang berguna, bisa dipelajari, maka reaksi afektifnya cenderung senang terhadap matematika.
Ranah ketiga adalah ranah konasi, atau perilaku. Ellis (dalam Huffman, Vernoy & Vernoy, 1997) menyatakan bahwa perilaku juga merupakan konsekuensi dari bagaimana keyakinan  kita terhadap sesuatu hal bersama-sama dengan perasaan/afeksi. Dalam contoh matematika diatas, bila kita percaya bahwa matematika merupakan hal yang berguna, bermanfaat, maka afeksinya juga cenderung akan positif. Demikian juga perilaku kita. Bila kita memiliki perasaan positif terhadap matematika, maka kita akan bersedia untuk berperilaku yang positif terhadap matematika, misalnya: bersedia belajar matematika, bersedia mengerjakan PR matematika dll. Dalam hal ini, aspek sikap baik kognisi maupun afeksi yang positif akan mendorong kesiapan seseorang untuk secara positif bertindak atau berperilaku secara positif pula terhadap sesuatu yang menjadi objek sikapnya tersebut.

Sikap-Sikap Positif yang Perlu Dikembangkan.
1. Sikap Positif terhadap Diri Sendiri

Sikap positif yang pertama dan utama perlu dikembangkan adalah sikap positif terhadap diri sendiri, karena kita hanya akan mampu mengembangkan sikap positif terhadap hal-hal yang lain apabila kita sudah memiliki sikap positif terhadap diri sendiri.
Sebelum melanjutkan bacaan ini, renungkanlah terlebih dahulu bagaimana sikap anda terhadap diri anda sendiri. Secara kognitif, bagaimana keyakinan anda sendiri mengenai diri anda? Apakah anda adalah individu yang positif (pintar, menarik, dll.) ataukah menurut anda, anda adalah individu yang negatif (bodoh, jelek, nakal dll.)? Dari ranah afektif, bagaimana perasaan anda terhadap diri anda sendiri? Apakah anda menyukai diri anda sendiri, memandang diri anda sebagai pribadi yang berharga, ataukah anda tidak menyukai diri anda? Bagaimana dengan ranah konasi? Apakah anda telah memperlakukan diri anda sendiri dengan baik, merawat tubuh anda dengan menghindari hal-hal yang berpotensi merusak tubuh dan pikiran anda, ataukah selama ini anda tidak terlalu perduli untuk memperlakukan diri anda dengan baik? Apakah anda membiarkan orang lain memperlakukan diri anda dengan hormat, atau anda membiarkan mereka melecehkan diri anda karena anda merasa pantas menerimanya?





KUIS :
Jawablah apakah pernyataan di bawah ini sesuai dengan kondisi anda saat ini, bukan dari hal yang anda pikir sebagai hal yang ideal. Berikan jawaban anda dengan menyatakan: a)  Sangat Sesuai b) Sesuai,  c)Tidak Sesuai atau d) Sangat Tidak Sesuai. 
1.       Secara umum saya puas terhadap diri saya
2.       Kadang-kadang saya berpikir saya bukan orang yang baik
3.       Saya merasa bahwa saya memiliki beberapa hal yang hebat
4.       Saya mampu melakukan berbagai hal sebaik orang lain melakukannya
5.       Saya merasa tidak memiliki terlalu banyak hal yang bisa saya banggakan
6.       Dalam waktu-waktu tertentu saya merasa benar-benar tak berguna
7.       Saya merasa bahwa saya berharga, paling tidak, sama berharganya dengan orang-orang lain.
8.       Saya berharap agar suatu saat saya lebih bisa memiliki rasa hormat terhadap diri sendiri.
9.       Secara keseluruhan saya cenderung berpikir bahwa saya adalah orang yang gagal.
10.    Saya memiliki sikap yang positif terhadap diri seya sendiri.

* Cek jawaban anda di akhir artikel ini.




Salah satu bentuk dari sikap terhadap diri sendiri ditunjukkan dengan tingkat self-esteem seseorang atau harga diri seseorang. Harga diri didefinisikan sebagai penilaian individu mengenai keberhargaan dirinya, seberapa individu menyukai dirinya sendiri, menerima atau menolak dirinya. Harga diri meliputi pandangan individu terhadap dirinya sendiri, perasaanya serta mendorong perilaku yang didasarkan pada tingkat harga dirinya tersebut (McKay & Fanning, 1992). Branden (1994) mendefinisikan harga diri sebagai disposisi untuk mengalami dirinya sendiri sebagai orang yang mampu untuk menghadapi tantangan-tantangan dasar kehidupan dan merasa berhak mendapatkan kebahagiaan.

Berbagai riset menemukan bahwa harga diri seseorang berkorelasi dengan berbagai kondisi positif individu. Seperti misalnya saja harga diri berkorelasi dengan tingkat kepuasan individu terhadap kehidupan (Diener & Diener, 1995). Steel (dikutip dalam Baumeister, 1998) menyatakan bahwa sikap positif terhadap diri sendiri merupakan sumber emosional untuk bertahan saat menghadapi kesulitan kehidupan. Individu yang memiliki harga diri yang rendah cenderung mudah putus asa saat dihadapkan pada kegagalan, saat egonya terancam , serta saat menghadapi berbagai macam stress. Sementara itu, orang yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung lebih bisa bertahan dan bersedia menyelesaikan tugas sampai akhir. Penelitian juga menemukan bahwa individu yang memiliki sikap positif terhadap dirinya, cenderung lebih tenang saat mengalami kegagalan ataupun feedback buruk lainnya, karena mereka yakin bahwa mereka masih memiliki banyak hal positif lain mengenai dirinya meskipun ia gagal di suatu bidang tertentu (Spencer, Joseph, & Steel, dalam Baumeister, 1998). Field (1993) juga menemukan bahwa individu yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung berani membuat perubahan dalam hidup, dan mampu mengkomunikasikan kebutuhannya dengan jelas.
Hal-hal di atas menunjukkan pentingnya untuk memiliki harga diri yang tinggi. Oleh karena itu, perlu diupayakan usaha untuk meningkatkan harga diri atau dengan kata lain, mengembangkan sikap yang lebih positif terhadap diri sendiri. Untuk mengembangkan harga diri yang tinggi, McKay & Fanning menyarankan beberapa hal untuk diperhatikan antara lain: a) Mengelola kritik internal, b) Mengembangkan pengukuran diri yang akurat

a) Mengelola Kritik Internal
Menurut McKay dan Fanning (1992), bagian penting yang menyebabkan rendahnya tingkat harga diri seseorang adalah karena adanya kritik yang tidak membangun yang dilontarkan oleh diri sendiri. Kritik ini dipelajari individu berasal mula-mula dari proses pengasuhan oleh orang tua, dan berkembang dari lingkungan dimana individu dibesarkan. Individu yang dibesarkan oleh orang tua yang berulang-ulang memberikan kritikan terhadap diri individu akan membuat individu mempercayai kritikan itu dan mengembangkan kritik tersebut terhadap dirinya sendiri. Bagaimana dengan diri anda? Apa yang telah diucapkan dan ditunjukkan orang tua kita berulang-ulang terhadap diri kita selama ini? Bagaimana dengan perilaku guru-guru anda di masa sekolah dulu? Bagaimana dengan teman-teman anda? Apakah anda dapat menemukan hubungan antara perilaku mereka dan bagaimana anda menerima diri anda sendiri saat ini?
Kritik yang dahulu dilontarkan orang-orang penting di sekitar kita, bisa jadi masih hidup terus saat ini dalam diri kita dalam bentuk kritik terhadap diri sendiri. Kritik ini merupakan bentuk pembicaraan terhadap diri sendiri yang sebenarnya kita lontarkan dalam diri kita, namun seringkali hal ini tidak kita sadari. Kritik ini hanya dapat kita dengar bila kita diam mengambil waktu untuk mendengarkan kritik itu dengan seksama. Anda bisa mencobanya sendiri. Tuliskanlah dalam secarik kertas, bayangkan apa yang melintas dalam pikiran anda bila seseorang mengatakan: Akan memperkenalkan anda dengan seorang teman lawan jenis. Bagaimana bila seseorang mengatakan anda diminta menyanyi di atas panggung? Bagaimana bila anda diminta maju ke depan untuk mempresentasikan suatu topik tertentu?
Anda mungkin mendengar diri anda sendiri mengatakan kepada anda, “Ahh... teman baru tersebut tidak akan tertarik untuk berteman denganku lebih lanjut karena aku bukan orang yang pandai bicara, dan bisa membuat orang tertarik,”, “Ahh, ...semua orang akan mentertawakan suaraku yang jelek’, “Aku tak akan mampu berbicara dengan lancar di depan orang untuk mempresentasikan sesuatu”.
Mengapa kritik-kritik itu muncul hingga saat ini? McKay dan Fanning (1992) menyatakan bahwa kritik-kritik tersebut ada di sana untuk berbagai tujuan. Misalnya saja saat seseorang akan diperkenalkan dengan orang baru, kritiknya mungkin berbunyi ”Orang tidak akan tertarik untuk berbincang denganku”. Kritik ini bukan hanya sekedar ada di sana, tapi merupakan bentuk pertahanan diri seseorang. Kritik ini bisa bertujuan untuk berjaga-jaga, untuk melindungi diri. Dengan mengatakan ”Orang paling-paling tidak akan tertarik berbincang denganku”, individu sudah mempersiapkan hatinya untuk kemungkinan yang terburuk, sehingga ia tak akan terlalu terkejut bila hal itu benar-benar terjadi. Kritik yang berbunyi, ”Aku anak bodoh, tak akan pernah mendapat nilai A”, sebenarnya bertujuan untuk menggunakannya sebagai alasan dan untuk me-legal-kan dirinya tidak perlu merasa bersalah bila tidak belajar dengan sungguh-sungguh, tidak bekerja keras atau tetap berada dalam kondisi nyaman (comfort zone). Kritik yang berbunyi, ”Aku tak akan bisa presentasi dengan baik di depan kelas”, merupakan bentuk perlindungan diri saat individu tidak berani melihat dirinya gagal. Dengan kritik semacam ini, individu bertujuan melindungi diri dari perasaan gagal, daripada mencoba berbicara di depan kelas dan gagal, lebih baik tidak mencoba sekalian sehingga saya tidak disebut sebagai orang yang gagal berbicara di depan kelas.  
Lebih lanjut McKay & Fanning (1992) menyatakan bahwa dengan memahami tujuan kritik ini, kita dapat mengetahui kebutuhan apa yang sedang coba dipenuhi oleh kritik-kritik kita untuk diri kita sendiri. Bila kita tahu bahwa kritik kita mengatakan ”aku anak bodoh, tak akan mendapat nilai A”, kita bisa bilang, ”Hei kritik, kamu bilang begitu padaku supaya aku tidak perlu berusaha lebih keras, merasa tetap nyaman meskipun aku tidak belajar”. Dengan memahami hal ini, kita jadi tahu bahwa kritik itu belum tentu benar. Mckay & Fanning menyarankan untuk melawan kritik-kritik ini agar kritik ini berhenti menghantui kita. Misalnya dengan mengatakan ”Stop!! Jangan katakan hal-hal buruk lagi!” lalu mengganti kritik-kritik itu dengan suara-suara yang lebih membangun, misalnya”Apabila aku mau berusaha, aku punya kesempatan untuk mendapatkan nilai A”.
Nah, bagaimana dengan anda? Apa kritik-kritik yang anda dengar di berbagai areal hidup anda? Apa tujuan dari kritik-kritik anda? Anda bisa mencoba mengeksplorasi kritik-kritik ini. Dalam satu hari, setiap ada hal yang anda hadapi, tuliskanlah kritik-kritik itu dalam selembar kertas.  Mungkin anda akan terkejut saat anda membaca daftar kritik tersebut. Coba perhatikan baik-baik bagaimana bunyi kritik yang muncul dalam diri anda. Pahamilah apa tujuan dari kritik-kritik anda tersebut, dan buatlah kalimat yang menghentikan dan menggantikan dengan kalimat membangun untuk menggantikan kritik-kritik tersebut. Ucapkan kalimat membangun dengan tegas dan kuat terhadap diri anda sendiri, sampai anda benar-benar meyakininya sebagaimana sebelumnya anda sangat meyakini kritik anda tersebut. Anda bisa membuatnya seperti contoh seperti lembar berikut:

Jam
Kejadian
Kritik
Tujuan
Kalimat Pengganti Kritik
8.00
Kuliah
Aku bodoh, tidak akan mudah mengerti bila dosen menerangkan pelajaran
Memiliki alasan untuk tidak berusaha lebih keras dalam belajar
Aku berhasil lulus ujian nasional, berarti negara saja mengakui bahwa aku mampu!!!
12.00
Bertemu dosen
Aku tidak pandai berbicara dengan orang untuk menyampaikan pendapatku
Memiliki alasan untuk tidak perlu berbicara pada dosen toh ia tidak akan mengerti juga
Kamu hanya beralasan untuk menghindari dosen! Kamu hanya perlu mengulang penjelasanmu bila dosen tidak paham dengna kalimatmu.
14.00
Melihat wanita yang kutaksir, ingin menyapa
Aku tidak menarik, percuma menyapanya toh ia tidak akan perduli
Melindungi diri agar tidak terluka, Takut menghadapi kegagalan,
Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan,

b) Mengembangkan Penilaian Diri yang Akurat
Hal lain yang dapat dilakukan untuk mengembangkan sikap positif terhadap diri sendiri adalah dengan memiliki pengukuran diri yang akurat. Orang yang memiliki self-esteem rendah biasanya cenderung memfokuskan pemikirannya pada kelemahan-kelemahannya sehingga kelemahannya menjadi terasa menonjol dalam pikirannya, sementara itu ia tidak memperhatikan berbagai aset kelebihan yang dimilikinya. Bagaimana dengan anda? Bila anda ingin mencoba mengukurnya, tuliskanlah segala kelebihan dan kelemahan anda di atas secarik kertas. Apa yang anda temukan? Mana yang lebih banyak di antaranya, kelebihan atau kekurangan?
Memiliki pengukuran diri yang akurat adalah melihat kelebihan dan kelemahan kita dengan memberikan label yang tepat. Mungkin kita menuliskan pada daftar kelemahan,”tidak pandai bergaul”, ”bodoh”, ”gembrot”. Peck (1997) menyatakan bahwa persoalan pertama kebanyakan manusia adalah karena ia tidak mau menggunakan kemampuan berpikirnya secara maksimal untuk berpikir lebih dalam. Manusia cenderung menggunakan jalan pintas dalam berpikir, serta malas untuk mencari apa yang sesungguhnya ada di balik kulit luar. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia cenderung setuju saja dengan apa yang telah digambarkan oleh lingkungan maupun mass media sebagai sesuatu yang benar, tanpa bersedia menyelidikinya terlebih dahulu. Penulisan label seperti yang dicontohkan di atas seringkali diterima individu dengan rasa negatif karena masyarakat saat ini memuja ”ke-gaul-an”, kecerdasan dan kerampingan. Individu begitu saja percaya bahwa menjadi anak yang gaul, cerdas dan ramping akan membuat hidupnya menjadi lebih bahagia. Padahal itu bisa sama sekali salah!  
Mc Kay & Fanning (1992) menyarankan daripada memberikan label negatif terhadap diri sendiri, lebih baik menggunakan istilah yang akurat, bersifat spesifik, dan tidak menjatuhkan agar dapat mempertahankan nilai diri positifnya. Misalnya, label ”tidak pandai bergaul”, kondisi yang akurat mungkin adalah: ”Saat berhadapan dengan orang baru, saya ragu-ragu untuk mengajaknya berbicara. Namun bila sudah masuk dalam pembicaraan, saya dapat berbincang-bincang tentang banyak hal”. Label ”bodoh”, mungkin dapat diganti dengan kondisi yang lebih akurat dan spesifik, misalnya,”Beberapa kali saya mendapat nilai E untuk mata pelajaran tertentu yang tidak terlalu saya sukai, namun pada mata pelajaran yang saya minati, saya mendapat nilai AB. Teman-teman saya sering memintai pendapat saya mengenai beberapa hal, yang menunjukkan kepercayaan mereka atas kemampuan saya dalam menyelesaikan masalah. Ini merupakan salah satu bentuk dari kecerdasan saya.” Sedangkan label ”gendut dan dekil”, dapat diganti dengan kondisi yang lebih akurat, ”Saya memiliki berat badan 70 kg yang tetap tampak menarik saat saya menggunakan pakaian yang pantas (sebutkan misalnya jenis pakaian yang tepat). Kulit saya berwarna sawo matang yang selalu saya jaga kebersihaannya dengan mandi dua kali sehari.” Konsep baru yang lebih positif ini perlu dibaca berulang-ulang oleh individu sampai ia benar-benar menerima konsep baru yang lebih positif mengenai dirinya sendiri tersebut agar self-esteemnya menjadi lebih adekuat.
Tengoklah diri anda sendiri. Lihatlah apa yang bisa anda ubah untuk daftar yang anda miliki untuk diri anda sendiri?

2. Sikap Positif terhadap Keadaan dan Orang Lain

Fritz Perls (1969) menyebutkan bahwa salah satu ciri kepribadian yang matang hanyalah bila individu tersebut bersedia menerima tanggung jawab atas hidupnya. Hal ini berarti bahwa individu menyadari bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupannya sepenuhnya ada di dalam kontrol dirinya sendiri. Individu tidak menyalahkan orang lain dan masa lalunya untuk apa yang terjadi dalam dirinya sendiri,tetapi menerima fakta bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Apabila di awal artikel tadi anda diminta untuk menilai bagaimana sikap orang tua, guru-guru maupun teman-teman anda di awal kehidupan anda, maka untuk menjadi orang yang dewasa, anda tidak bisa menuduh bahwa gara-gara mereka sepenuhnya anda memiliki berbagai kondisi anda saat ini. Ini membawa pesan bahwa individulah yang memberi arti bagi setiap pengalaman yang dialaminya, dan bukan orang lain. Apakah pengalaman tersebut menjadi suatu pengalaman yang positif ataupun negatif, akan tergantung pada individu itu sendiri. Hal ini sejalan dengan ungkapan Ziglar (1995) yang menyatakan bahwa faktor yang penting dan menentukan dalam kehidupan bukanlah apa yang terjadi terhadap individu, tetapi sikap yang diambilnya terhadap apa yang terjadi.
Ungkapan ”sikap yang diambil”, mengindikasikan bahwa sikap kita, baik itu positif ataupun negatif adalah kehendak bebas dari kita sendiri untuk menentukannya. Sikap tersebut tidak ditentukan oleh orang lain, oleh lingkungan, oleh nasib, maupun garis keturunan dan gen, karena sikap baik positif maupun negatif, merupakan keputusan kita sendiri. Sebagaimana disampaikan oleh Frankl (1962) bahwa satu-satunya hal yang tidak dapat direnggut dari diri manusia adalah kebebasan yang fundamental yaitu kebebasan untuk menentukan sikapnya terhadap apa yang terjadi dalam kehidupannya atau cara bereaksi terhadap nasibnya. Namun demikian, tak sedikit dari individu yang mengalami kesulitan untuk mengembangkan sikap positif terhadap lingkungan maupun orang lain. Sebagian dipengaruhi karena beberapa hal di bawah ini:

a) Proses Pengkondisian
Meskipun Frankl (1962) menyatakan bahwa manusia bebas menentukan sikapnya, kebanyakan dari kita bereaksi terhadap suatu hal disandarkan pada proses belajar (proses pengkondisian) yang telah kita alami. Salah satu proses pengkondisian yang mungkin kita alami adalah adanya proses pengkondisian klasik sebagaimana dikembangkan oleh Pavlov (dalam Huffman, dkk. 1997).
Coba renungkan bagaimana sikap anda terhadap matematika? Atau bahasa Inggris? Ataupun menyanyi? Bagaimana dengan berkenalan dengan lawan jenis? Berdiri di depan umum?
Pavlov (dalam Huffman dkk., 1997), menemukan bahwa sesuatu hal yang semula bersifat netral A, bila selalu dipasangkan dengan hal lain B yang menimbulkan suatu kondisi tertentu, setelah beberapa kali pemasangan, maka akan terjadi: bahwa tanpa kehadiran B, hal A sudah dalam menimbulkan kondisi sebagaimana yang ditimbulkan oleh B.  Misalnya saat belajar matematika, individu selalu berhadapan dengan soal-soal yang rumit, abstrak dan sulit dikerjakan (meskipun sebenarnya matematika juga berisi soal-soal lain yang sederhana dan berguna untuk kehidupan sehari-hari). Soal-soal yang rumit dan tak dapat dikerjakan tadi menimbulkan konsekuensi yang sifatnya negatif misalnya sakit kepala, rasa tertekan, putus asa dll.
Dalam contoh di atas, sebenarnya yang menimbulkan sakit kepala, rasa tertekan dan putus asa adalah adalah soal-soal yang sulit dan tidak dapat dikerjakan bukan matematika itu sendiri. Maka bila kedua hal ini, yaitu matematika dan soal yang sulit seringkali dihadirkan bersama-sama (dipasangkan) maka akibatnya adalah akan terjadi asosiasi antara matematika dengan soal-soal yang sulit. Efek dari hal ini adalah, saat individu berhadapan dengan matematika, meskipun soal-soal sulitnya tidak dihadirkan (misalnya baru diberi tahu ”Hari ini pelajaran matematika akan dimulai”), individu sudah memiliki perasaan yang sama saat ia menghadapi soal sulit: sakit kepala, merasa tertekan dan putus asa. Sebagaimana contoh di atas, individu tidak menyadari, bahwa matematika sebenarnya hanyalah suatu hal yang netral yang sebenarnya tidak dapat menimbulkan rasa pusing, tertekan dan putus asa. Yang menimbulkan rasa putus asa dan pusing adalah bila berhadapan dengan soal-soal yang sulit. Tetapi adanya proses kondisioning klasik ini, individu telah mengalami semua kondisi negatif itu meskipun hanya bertemu dengan matematika bahkan saat soal-soal yang sulit belum dihadirkan.
Berapa banyak sikap kita dipengaruhi oleh proses ini? Hanya karena seorang guru A pernah menghukum kita, kita jadi mengasosiasikan dia dengan rasa tidak nyaman saat dihukum, sehingga saat harus bertemu dengan dia, kita sudah merasa tidak nyaman dan takut padanya sehingga lari terbirit-birit untuk menghindarinya. Padahal mungkin pertemuan dengannya merupakan proses penting untuk kelancaran studi kita.
Seringkali sikap yang kita kembangkan terhadap berbagai situasi dalam kehidupan hanya merupakan reaksi otomatis dari hasil pengkondisian seperti contoh di atas dan bukan hasil keputusan kita untuk bersikap negatif atau positif tehadap sesuatu hal. Bila kita terus menerus membiarkan diri kita didikte oleh proses pengkondisian ini, maka kita hanya akan menjadi korban peristiwa demi peristiwa di dalam hidup dan tidak secara aktif mengambil keputusan untuk nasib diri kita sendiri.
Kembali menilik sikap anda terhadap hal-hal yang ditanyakan sebelumnya, mungkinkah dalam pengalaman kita selama ini, sikap yang kita miliki terhadap lingkungan kita adalah efek dari proses pengkondisian? Bila kita takut atau tak suka pada sesuatu, apakah hal yang kita takuti tersebut telah terpasangkan dengan sesuatu yang negatif, sehingga telah terjadi asosiasi di antara keduanya sehingga kita salah melabelkan, sesuatu yang sebenarnya netral menjadi sarat dengan konotasi tertentu karena telah sekian lama dipasangkan dengan hal tersebut?
Untuk mengatasi hal ini, maka yang bisa kita lakukan adalah menemukan sumber asosiasi tersebut dan melakukan pengkondisian ulang. Dalam contoh matematika dan soal yang sulit di atas, maka untuk membentuk sikap positif terhadap matematika, maka yang kita lakukan adalah memasangkan matematika dengan sesuatu yang menyenangkan. Misalnya, matematika dipasangkan dengan soal-soal yang mudah-mudah terlebih dahulu dalam jangka waktu yang lama, tempat belajar yang nyaman, bahkan bila perlu belajar bersama-sama dengan teman lain dalam suasana penuh canda. Kondisi-kondisi positif ini akan mengganti asosiasi antara matematika dengan perasaan tidak enak, sulit, membuat sakit kepala dan rasa putus asa, diganti menjadi matematika adalah mudah, nyaman, asik dan penuh dengan canda.  

b) Penyimpangan Berpikir
Yang membedakan manusia dari dunia kebinatangan adalah kemampuan manusia untuk berpikir, mengevaluasi apa yang terjadi di sekitarnya dan memberikan penilaian terhadap apa yang terjadi. Kemampuan berpikir menjadi salah satu kekuatan manusia bila digunakan dengan tepat, namun juga bisa menjadi sumber malapetaka bagi kehidupan manusia bila digunakan dengan cara yang salah. Berbagai kasus gangguan kejiwaan seringkali dimulai dari cara berpikir yang keliru (Patterson, 1986).
Penyimpangan berpikir adalah salah satu cara berpikir yang tidak adekuat, yang bisa membawa individu tiba pada kesimpulan yang salah tentang dirinya sendiri, tentang orang lain, maupun tentang dunia. Ini adalah kebiasaan berpikir yang digunakan secara konsisten untuk menginterpretasi realitas dengan cara yang tidak realistis (McKay & Fanning, 1992). Meski demikian, banyak orang menggunakan cara berpikir ini dan seringkali bahkan tidak menyadarinya.
Ada beberapa distorsi kognitif yang biasa dikembangkan manusia yang dapat menjadi akar sikap negatif terhadap diri sendiri, orang lain, maupun keadaan (McKay & Fanning,1992). Telitilah apakah ada beberapa yang biasa anda gunakan dalam kehidupan sehari-hari yang membuat kehidupan anda menjadi kurang efektif:
§       Generalisasi yang Berlebihan
Individu seringkali menggunakan satu atau dua keadaan yang dialaminya, untuk melakukan generalisasi terhadap segala keadaan yang lain. Misalnya saja, seorang yang pernah ditolak cintanya. Saat dihadapkan pada wanita baru yang dicintainya ia merasa wanita itu juga tidak akan bersedia menerima cintanya, juga wanita-wanita yang lain. Jadi seolah-olah ada hukum yang berlaku bahwa bila sesuatu tidak berhasil maka yang lain juga tidak. Kata-kata seperti: selalu, setiap orang, tidak seorangpun, dll. biasa digunakan oleh individu yang menggunakan distorsi kognitif generalisasi yang berlebihan.     
§       Memberikan Label Global
Ini adalah cara berpikir dengan memberikan label pada orang lain, atau keadaan tertentu dengan satu nama negatif, dan meniadakan hal-hal positif pada orang atau keadaan itu. Misalnya mengatakan: ”Kampus yang kacau” padahal beberapa hal yang lain masih berjalan dengan sangat baik. ”Tukang terlambat”, padahal pada waktu-waktu lain dia bisa juga datang tepat waktu.  
§       Menyaring
Melakukan penyaringan terhadap informasi yang dihadapi dan mengingat dengan kuat salah satu hal dan melupakan yang lain. Contoh dari kebiasaan ini misalnya: Suatu kali seorang siswi selesai mengambil ujian dan mendapati dirinya lulus ujian dengan nilai terbaik. Sampai di rumah ia mendapatkan informasi bahwa ia diterima Ujian Masuk Tanpa Test di Perguruan tinggi favorit. Ia menerima ucapan selamat dan hadiah-hadiah dari sahabat-sahabat yang menyayanginya. Tapi pada malam hari, pacarnya mengatakan bahwa ia tertarik pada wanita lain dan memutuskan hubungan dengan siswi ini. Siswi ini mengatakan bahwa ia adalah orang yang gagal. Ini menunjukkan penyaringan. Ia hanya mengingat bahwa ia gagal menjalin hubungan dengan satu pria, dan ia menganggap semua pencapaian yang lain tidak ada artinya. Ini berarti ia tidak memaknai dunianya dengan utuh.  
§       Cara Berpikir Polarisasi
Ini adalah cara berpikir yang cenderung memandang dunia sebagai hitam dan putih saja. Artinya individu ini menilai segala sesuatu bila tidak A berarti B. Kalimat yang biasa digunakan adalah: bila tidak begini.... berarti begitu... Misalnya: ”Bila dia tidak datang malam ini, berarti kamu tidak mencintaiku,” ”Bila tidak lulus ujian.. berarti masa depan saya hancur”. Faktanya adalah, masih banyak alternatif dan kemungkinan yang akan terjadi bila pacarnya tidak datang. Bisa bannya kempes, bisa sedang sakit ataupun hal-hal yang lain. Banyak juga kemungkinan alternatif yang terjadi bila orang tersebut tidak lulus ujian, bisa bertemu dengan pria tampan dan menikah dengan bahagia misalnya. Tapi dengan cara berpikir yang terpolarisasi seperti ini, individu menjadi merasa sangat hancur bila apa yang dipilihnya tidak terjadi.
§       Membaca Pikiran
Distorsi kognitif membaca pikiran adalah kebiasaan berpikir yang mengasumsikan bahwa orang lain berpikir dengan cara yang sama dengan dirinya. Orang yang biasa menggunakan membaca pikiran biasa berkata. ”Pokoknya aku merasa .... ”. Misalnya saat datang menghadap dosen dan melihat dosen menatapnya sambil mengerutkan dahi, ia langsung berpikir ”Dosennya pasti tidak senang aku datang  ke kantornya, ia pasti merasa terganggu kalau aku tanya-tanya tentang nilai...” . Padahal sang dosen mengerutkan dahi karena berpikir ingin membeli baju sebagus baju yang dipakainya.

     Sangat mungkin bahwa individu menggunakan lebih dari satu jenis penyimpangan berpikir dalam dia mempersepsi kehidupannya. Berbagai penyimpangan berpikir ini membuat inidividu kurang dapat memahami orang lain dan lingkungnanya secara akurat, dan pada gilirannya dapat berakibat pada ketidakmampuan individu menghadapi dunianya dengan efektif.
Mengingat penyimpangan berpikir sering muncul secara otomatis, bahkan tidak disadari oleh individu, maka untuk mengkoreksi penyimpangan pikiran ini dibutuhkan niat individu untuk membawanya ke dalam kesadarannya. Apabila ada seseorang yang tidak lulus ujian berkata, ”Aku memang orang yang selalu gagal”, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menyadari bahwa keyakinannya ini adalah penyimpangan berpikir dan bukan realitas. Apabila individu sudah menerima fakta bahwa kesimpulan ini adalah penyimpangan berpikir, maka hal berikutnya yang bisa dilakukan adalah melawan penyimpangan berpikir tadi dengan melakukan pembantahan dan mengganti kalimat negatif tersebut dengan data yang lebih akurat. Pada contoh anak yang tidak lulus ujian tersebut, pembantahan dan penggantian kalimat bisa dilakukan, ”Apa buktinya bahwa aku selalu gagal? Aku hanya gagal hari ini, semester lalu aku tidak gagal. Aku bisa saja gagal satu kali, tapi bukan selalu gagal. Artinya aku masih punya kesempatan untuk berhasil bila mau berusaha.”
c) Rasa takut keluar dari zona kenyamanan    
Beberapa orang mungkin hanya menjadi orang yang sukses, tapi ia hanya mencapai keberhasilan yang itu-itu saja karena ia tak pernah berani mencoba menantang dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu hal yang lebih besar dari apa yang biasa dia lakukan. Delrojo (2008) menyatakan bahwa untuk mencapai kesuksesan yang maksimal, yang paling sering menghalangi individu adalah rasa takutnya untuk keluar dari zona nyaman, zona tempatnya sudah berhasil selama ini. Misalnya seorang ketua mahasiswa tingkat fakultas, ia tahu bahwa menjadi ketua mahasiswa tingkat universitas akan membantunya untuk mengembangkan karirnya di masa mendatang, tapi ia takut melakukannya karena hal itu menuntutnya untuk bekerja lebih keras, yang berarti keluar dari zona nyamannya. Delrojo menyatakan bahwa semua orang yang sukses adalah manusia biasa yang sama dengan manusia lain, memiliki rasa takut saat berhadapan dengan sesuatu yang baru, saat ditantang keluar dari zona nyamannya. Perbedaan pada orang sukses dan gagal adalah bahwa pada orang sukses, meskipun ia punya rasa takut, ia tetap ngotot bersedia melakukannya. Yang menarik adalah, saat individu terus berani menantang rasa tidak nyamannya tersebut, semakin lama berangsung-angsur akan menjadi hal yang tidak menakutkannya lagi, sebaliknya hal itu bisa menjadi sumber kepuasan bathin.
Delrojo (2008) menyarankan tiga tahap untuk mengatasi rasa takut tersebut. Yang pertama, menerima fakta bahwa kita manusia, sehingga sangat alamiah bahwa kita memiliki rasa tegang dan stress saat memasuki teritori baru. Tapi hal ini harus dipandang sebagai sistem penyaringan, untuk menyaring siapakah yang akan menjadi pemenang dan siapa yang akan jadi pecundang. Sehingga perasaan ini harus disambut, serta tidak dipandang sebagai musuh yang harus dihindari karena perasaan ini merupakan tanda bahwa kita hidup dan tanda bahwa sedang dalam proses bertumbuh menjadi lebih hebat.
Tahap kedua adalah untuk tetap mengarahkan mata hati kita pada fokus, yaitu kesuksesan yang ingin kita raih bila kita mampu mengatasi rasa takut ini. Jadi rahasia berikutnya untuk berhasil adalah memiliki keinginan yang sangat kuat, agar keinginan ini mampu terus mendorong kita melakukan apa yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan tersebut. Apabila kita terus melakukan hal yang diperlukan dan melawan rasa takut itu, apapapun keadaannya, kita sedang berjalan setapak demi setapak semakin dekat ke arah tujuan kesuksesan kita tersebut. Patel (2008) menyatakan bahwa banyak orang tidak berani mencoba karena ia takut gagal. Padahal, faktanya, kalau kita tidak berani mencoba, itu berarti kita sudah gagal juga. Bila anda takut mengikuti lomba pidato bahasa Inggris karena anda takut gagal, maka saat anda tidak mengikuti lomba itupun anda sudah gagal! Dan bila anda takut menyatakan cinta pada seorang wanita karena takut tak dapat memilikinya, maka saat anda tidak menyatakan cinta, itupun anda sudah kehilangan kesempatan untuk memilikinya! Jadi mengapa tidak tetap mencoba, jadi paling tidak, masih ada kesempatan untuk tidak gagal?
Tahap ketiga yang perlu dilakukan adalah menginterpretasikan rasa takut tersebut bukan sebagai rasa takut, tetapi rasa semangat besar. Apa yang kita rasakan, seringkali merupakan hasil dari label yang kita berikan. Dicontohkan oleh Delrojo (2008) apabila seseorang menusukkan tangan ke rusuk anda, tusukan tangan tersebut akan diartikan sebagai gelitikan, atau penusukan yang menyakitkan akan tergantung dari interpretasi anda. Bila anda mengartikan itu sebagai usaha menggelitik, maka anda akan sudah terpingkal-pingkal, bahkan saat tangan itu belum menyentuh tubuh anda. Bila diartikan sebagai penusukan, itu akan terasa sakit di tubuh anda. Demikian juga dengan rasa takut menghadapi sesuatu yang baru dapat kita sebut sebagai ”excitement” atau ”fear” tergantung dari hasil interpretasi kita sendiri. Interpretasi ”excitement” akan mendoorng kita untuk mengerjakan tugas itu dengan lebih bersemangat dan menyenangkan.
Namun demikian, menetapkan target yang tepat akan membantu kita mencapai keberhasilan. Target yang tepat adalah yang meningkat setapak demi setapak dari posisi kita saat ini. Apabila anda biasa mendapatkan nilai E, maka tidak realistis bila target anda mendapat nilai A. Mulailah membuat target mendapat nilai C terlebih dahulu. Bila C sudah tercapai anda bisa meningkatkan menjadi nilai B, maupun A pada akhirnya. Bila anda bercita-cita menjadi penulis internasional, dan saat ini bahasa Inggris anda berisi kosa kata 1000 kata, maka target terdekat anda adalah berusaha mampu menulis dalam bahasa Inggris dengan meningkatkan 1500 kata terlebih dahulu baru kemudian semakin meningkat sampai akhirnya benar-benar mampu menjadi penulis internasional. Tidak penting seberapa panjang tahap demi tahap yang harus anda buat untuk mencapainya dan berapa lama waktu dibutuhkan, yang penting anda terus berada dalam jalur yang tepat untuk mencapainya dan bersedia untuk terus melakukannya.       
          
Penutup
Mengganti sikap negatif menjadi sikap positif bukanlah hal yang bisa dikerjakan dalam waktu yang singkat. Terutama bila kebiasaan yang lama telah dipraktekkan sekian lama dan telah membawa rasa nyaman sementara bagi individu. Dibutuhkan niat untuk berani mencoba dan mengubah hal lama yang sudah ada dan menggantinya dengan kebiasaan bersikap positif yang lebih efektif. Tetapi sama seperti seorang anak manusia yang tidak tumbuh dewasa dalam 1 malam, maka pengembangan sikap positif juga memerlukan waktu untuk bertumbuh. Sama seperti perkembangan anak manusia yang membutuhkan nutrisi untuk bertumbuh, maka agar sikap positif dapat terus bertumbuh dengan baik, penambahan informasi baru harus terus menerus dilakukan. Oleh karena itu, mengikuti seminar, membaca buku, berbincang dengan orang yang memiliki sikap positif akan menjadi pilihan ”makanan bernutrisi” bagi pertumbuhan sikap positif anda.      
Akhirnya, sikap positif meskipun dikatakan sebagai hal yang penting untuk keberhasilan seseorang, tetapi sikap positif bukanlah segala-galanya. Sikap positif hanyalah satu langkah awal untuk menuju keberhasilan itu (Patel, 2008). Maka untuk mewujudkan keberhasilan yang sesungguhnya, sikap positif harus diikuti oleh tindakan nyata untuk mewujudkan rencana dan harapan yang ada. Hanya dengan cara demikian, sikap positif akan merupakan sikap positif yang utuh, tidak hanya berhenti pada ranah kognisi dan afeksi, tetapi juga ranah konasinya. Dengan  bersedia mengembangkan semua hal ini, maka, yang perlu anda lalukan berikutnya adalah, bersiap untuk merayakan datangnya kesuksesan demi kesuksesan anda!!   
DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, I. 1988. Attitudes, Personality and Behavior. Buckingham: Open University Press.
Baron, R.A. & Byrne, D. 1981. Social Psychology: Understanding Human Interaction. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Baumeister, R. F. (1998). The Self. In D. T. Gilbert, S. T. Fiske, & G. Lindzey (Eds.), Handsbook of social psychology (pp. 680-740). New York: Mc Graw Hill.
Branden, N. (1994). The six pillars of self-esteem. New York: Bantam Books.
Corsini, R.J. & Wedding, D. 1989. Current Psychotherapies. Illinois: F.E. Peacock Publishers. Inc.
Delrojo, J. 2008. The Secret That Too Few People Know About the Super Successful. Diunduh 1 Juli 2008 dari www.articles 411.com/Article/The-Secret-That-Too-Few-Peoppe-Know-About-The-Super-Successful/36124
Diener, E., & Diener, M. (1995). Cross-culture correlates of life satisfaction and self-esteem. Journal of Personality and Social Psychology, 68, 653-663.
Dornan, J. & Maxwell, J.C. 1996. Strategy For Success. California: Injoy Inc.
Field, L. (1993). Creating self-esteem: A practical guide to realizing your true worth. Massachusetts: Element, Inc.
Frankl, V. 1962. Man’s Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy. Boston: Beacon Press.
Huffman, K. Vernoy, M. & Vernoy, J. 1997. Psychology in Action. New York: John Wiley & Sons. Inc.
Mc Kay, M. & Fanning, P. 1992. Self- Esteem. California: New Harbinger Publications, Inc. 
Patel, K. 2008. 100% Attitude. Diunduh 1 Juli 2008 dari www.articles411.com/Article/100%-Attitudte.
Patterson, C.H. 1986. Theories of Counseling and Psychotherapy. New York: Harper & Row Publishers.
Peck, S. 1997. The Road Less Travelled and Beyond: Spiritual Growth in an Age of Anxiety. New York: Simon & Shcuste
Perls, F. 1969. Gestalt Therapy Verbatim. California: Real People Press.
Ziglar, Z. 1995. Langkah-Langkah Menuju Puncak. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
------------- Attitude: Definition. Diunduh 19 Juni, 2008 dari www.selfgrowth.com/articles/definition_attitude.html)


SKORING KUIS
Kuis di atas adalah kuis untuk mengukur tingkat harga diri anda. Cara skoringnya adalah:
Untuk nomer 1, 3, 4, 7, 10: berikan skor 1 bila anda menjawab: sangat tidak setuju, skor 2 untuk jawaban tidak setuju, skor 3 untuk jawaban setuju, serta skor 4 untuk jawaban sangat setuju.
Sedangkan nomer 2, 5, 6, 8, 9 : berikan skor 4 bila anda menjawab: sangat tidak setuju, skor 3 untuk jawaban tidak setuju, skor 2 untuk jawaban setuju, serta skor 1 untuk jawaban sangat setuju.

Jumlahkan seluruh skor anda, dan cocokkan dengan kategorinya:
   
Total Skor
Kategori Tingkat Harga Diri
10 s/d 17.5
Sangat rendah
18 s/d 25 
Rendah
26 s/d 33.5
Tinggi
34 s/d 40
Sangat Tinggi






* Penulis adalah dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Ia menyelesaikan S1 Psikologi dari Universitas Gadjah Mada dan meraih gelar Master of Arts dari Ateneo de Manila – Filipina di bidang Counseling Psychology. Saat ini ia membantu pengembangan Fakultas Psikologi UKSW sebagai Dekan Fak. Psikologi UKSW 


1 komentar:


  1. DAPATKAN JACKPOTMU DI BOLAVITA.

    merasa bosan dan uang habis dengan sia sia?

    Bolavita adalah situs judi online terpercaya dan aman untuk dimainkan.ada banyak jenis permainan yaitu Bola tangkas,Casino live,Sabung Ayam,Taruhan Bola,Togel online,Games Virtual dan Judi Balapan Tikus.
    disini banyak bonus yang akan kami berikan untuk anda
    * Casino Online Flat Cashback 5%
    * Bola Tangkas Online Flat Cashback 10%
    * Bonus Referral Permainan Online 7%+2%
    * Bonus Returning Member 200.000

    Kami menyediakan Register,Deposit dan Withdraw menggunakan bank lokal seperti BCA,MANDIRI,BNI,BRI,DANAMON DAN CIMB NIAGA.


    Gak bakalan nyesal deh daftar di Bolavita

    WA / TELEGRAM : +62812-2222-995
    INSTAGRAM : @bola.vita
    FACEBOOK : @bolavita.ofc
    TWITTER : @BVgaming_net
    LINE : @CS_bolavita


    (¯`·.¸¸.·´¯`·.¸¸.-> LIVECHAT 24 JAM <-.¸¸.·´¯`·.¸¸.·´¯)

    #bolavita #terpercaya #sabungayam #casino #deposit #pokeronline #judionlineterbaik #banyakbonus #superpromo #livechat24jam #fastrespon

    BalasHapus

About Me

Foto saya
Love arts and jokes... Life is tasteless without both of it!