Leelou Blogs
topbella

Selasa, 07 Desember 2010

BERDAMAI DENGAN STRES KERJA


Berta Esti Ari Prasetya
Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana

Abstract
This article tries to explain factors related to job stress and some alternatives to cope with job stress. It is noted that there are several factors responsible for the occurrence of job stress, namely, biological factor, cognitive factor, personality type factor and environmental factor. The suggestions to cope with job stress based on the factors that accounted for job stress were also discussed.

Key word: Job stress, job stress factors.    


Pendahuluan

Bekerja merupakan salah satu cara seorang anak manusia untuk memberikan makna atas kehidupannya (Frankl, dalam Bastaman, 2007). Sehubungan dengan hal ini, bekerja, bila ditinjau dari tujuan awalnya adalah untuk mendapatkan kepuasan hidup, mencapai sesuatu yang berharga dalam kehidupan, mendapatkan kebahagiaan. Ekspresi lain dari tujuan awal ini bisa beraneka ragam. Pada sebagian orang, bekerja dilakukan demi mendapatkan uang guna memenuhi kebutuhan fisik, psikis maupun sosialnya. Pada sebagian yang lain, bekerja dilakukan demi mendapatkan sosialisasi yang diperlukan demi memenuhi kebutuhan akan relasi dengan orang lain. Sebagian lagi untuk mendapatkan kesempatan mengembangkan kekuasaan, gengsi dll. Semua itu kembali bermuara pada diperolehnya kepuasan hidup serta kebahagiaan.

 
Namun yang ditemukan individu dalam dunia kerja ternyata tidak selalu sejalan dengan tujuan awal bekerja. Dalam dunia kerja, seringkali individu dibenturkan dengan berbagai tuntutan, harapan, target, deadline, tekanan dari berbagai pihak, baik dari atasan, bawahan, juga berbagai stake holders. Segala tuntutan tersebut terkadang tidak memperhatikan sejauh mana kemampuan individu untuk dapat melakukannya. Individu dituntut untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan, atasan, bawahan, maupun semua stake holders apapun keadaannya. Mereka yang dianggap tidak mampu melakukannya, harus bersiap-siap untuk tersepak keluar dari dunia yang digelutinya. Kondisi-kondisi ini menimbulkan perasaan tertekan bagi individu. Akhirnya, dunia kerja yang semula dicari untuk mendapatkan kepuasan hidup, pada titik tertentu berbalik menjadi tempat yang menimbulkan ketertekanan mental, menguras energi fisik maupun psikis individu-individu yang berada di dalamnya. Kondisi tertekan ini biasa dikenal dengan istilah stress kerja.
Stres sebagai definisi, secara umum dilihat dari tiga sudut pandang (Kendal & Hammen, 1995). Yang pertama, dikenal dengan istilah definisi stimulus:  Stress digunakan untuk menunjuk pada kejadian di luar individu yang menunjukkan adanya tuntutan atau ancaman (disebut sebagai stressor). Tugas yang harus dikerjakan saat ini, surat peringatan dari atasan, rumor adanya PHK, merupakan contoh dari berbagai stressor di dunia kerja. Definisi kedua, adalah definisi respon, yaitu reaksi organisme terhadap ancaman atau tuntutan lingkungan individu. Individu mengalami jantung berdebar, rasa tegang, berkeringat berlebihan, sakit perut, rasa lemas, dll. karena ada tuntutan lingkungan, adalah merupakan contoh stress berdasarkan definisi ini. Definisi ketiga, yaitu definisi transaksional  (Lazarus & Folkman, 1984) stress muncul ketika tuntutan lingkungan yang dianggap penting oleh individu ditangkap oleh individu sebagai hal yang sangat menuntut, atau melebihi kemampuannya untuk dapat memenuhi tuntutan tersebut. Dalam definisi yang terakhir, yang menimbulkan munculnya stress tidak hanya adanya tuntutan dari lingkungan tetapi bagaimana individu menilai tuntutan tersebut. Stres muncul bila individu menganggap tuntutan itu penting, dan menganggap tuntutan tersebut terlalu berat dan melampaui kemampuan dirinya. Sehubungan dengan stress kerja, maka tuntutan dan kejadian yang menjadi stressor adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia kerjanya atau mempengaruhi tugasnya di tempat kerja.  
   Stres kerja dianggap sebagai salah satu penyebab merosotnya produktifitas kerja individu (Kirkcaldy, Levine, & Shepard. 2000). Salah satu literatur menyebutkan bahwa 2/3 kunjungan ke dokter dilaporkan merupakan gejala-gejala penyakit yang berhubungan dengan stress (Halonen dan Santrock,1999). Lebih lanjut, dicatat bahwa stress sendiri dipercaya memberikan kontribusi terhadap munculnya berbagai penyakit seperti sakit jantung koroner (Karasek, Russel, & Thorell, 1982 ) kanker, liver, paru-paru, juga berbagai penyakit mental bahkan juga kasus-kasus bunuh diri.
Kondisi-kondisi di atas menunjukkan bahwa stress kerja merupakan satu persoalan serius yang harus dihadapi oleh individu pekerja. Kemampuan individu untuk mencapai prestasi terbaiknya dalam dunia kerja hanya dapat dicapai apabila individu mengembangkan kemampuan untuk mengatasi stress kerja yang dihadapinya. Mengingat hal ini, penulis memandang perlu untuk membagikan pemahaman mengenai stress kerja ini, dengan harapan pembaca dapat memetik manfaat bagi perkembangan karirnya. Tulisan ini bermaksud menjelaskan tentang faktor yang mempengaruhi adanya stress kerja, dan berdasarkan faktor penyebab stress kerja tersebut ditawarkan pula beberapa alternatif untuk mengatasi stress kerja.   

Faktor yang berhubungan dengan stress kerja.
Untuk memahami stress perlu diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan munculnya stress pada individu. Namun demikian perlu dicatat, bahwa munculnya stres pada diri individu sangat tergantung pada penghayatan subjektif individu terhadap kondisi yang menjadi sumber stres bagi individu tersebut. Dalam hal ini, beberapa faktor yang sempat tercatat dalam literatur adalah antara lain faktor biologis, kepribadian, kognitif, dan lingkungan. Masing-masing faktor akan dibahas satu persatu seperti di bawah ini:

1. Faktor Biologis:
Apa yang terjadi dengan tubuh saat menghadapi stress? Para ilmuwan percaya ada 2 cara utama dalam system saraf pusat manusia yang menghubungkan otak dengan sistim endokrin (sistim yang mengatur hormonal dalam tubuh organisme) yaitu melalui sistim saraf otonom. Saraf pusat saat menangkap adanya stress, akan menggerakkan sistim saraf otonom untuk mengeluarkan hormone epinephrine (adrenalin) dan norepinephrine (noradrenalin). Adanya adrenalin ini akan meningkatkan tekanan darah, sedangkan perubahan pada system saraf otonom karena adanya stress ini juga berpengaruh terhadap lambung, yang sering berhubungan dengan penyakit maag. Cara kedua adalah saat otak menangkap adanya stress maka informasi akan diteruskan ke hipotalamus, yang akan mengirim pesan untuk dikeluarkannya hormone cortisol yang berhubungan dengan fungsi-fungsi organ dalam (dalam Halonen dan Santrock, 1999).  
Mengapa individu bisa mudah sakit saat terjadi stress? Salah seorang ahli stress, Selye (1974), menjelaskan bahwa ada 3 tahap yang terjadi dalam tubuh saat menghadapi stress. Tahap pertama disebut tahap Peringatan: begitu tubuh mendeteksi adanya stress, terjadilah kekagetan dalam tubuh sehingga, berbagai hormone dikeluarkan untuk menghadapi stress, yang menyebabkan sistim kekebalan tubuh menjadi jatuh di bawah normal. Saat inilah tubuh menjadi rawan terhadap penyakit dan mudah sekali organisme mengalami infeksi. Tahap kedua: disebut tahap Pertahanan: saat stress masih terus berlangsung, tubuh akan berusaha untuk menyesuaikan diri, mengeluarkan berbagai hormone lain yang berbeda untuk melindungi diri sendiri dan melawan berbagai penyakit. Pada saat ini pertahanan tubuh terhadap penyakit baik. Namun bila stress tak kunjung mereda maka tubuh akan masuk pada fase ketiga yaitu: Tahap Kelelahan. Segala upaya sudah dilakukan untuk mengatasi stress, maka bila stress masih berlangsung, tubuh akan mengalami kelelahan. Pada saat inilah seseorang bisa mengalami pingsan, atau jatuh sakit.

2. Faktor Kognitif (Cara Berpikir) 
Meskipun dalam banyak hal seorang individu bisa saja mengalami kejadian yang sama dengan orang lain, tetapi reaksi individu terhadap hal tersebut bisa berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Menurut Lazarus (1993) bagaimana cara berpikir individu atau cara individu mengartikan kejadian itu, akan menyebabkan individu tersebut mengalami stress atau tidak. Sehingga sebuah kejadian yang sama bisa menyebabkan stress pada seseorang, sedangkan pada orang lain tidak. Lazarus menyebutkan bahwa dalam melihat sebuah kejadian, orang akan melewati 2 tahap, yaitu: penilaian pertama dan penilaian kedua.  
Pada penilaian pertama: Saat individu menghadapi situasi yang dapat menimbulkan stress, biasanya ia akan melakukan penilaian terhadap kejadian tersebut. Menurut Lazarus (1993), individu akan mengartikan kejadian tersebut dalam 3 golongan: yaitu: 1) Merusak. Dalam hal ini kejadian tersebut dianggap telah merusakkan sesuatu yang baik yang telah dimiliki selama ini. Misalnya seorang perkerja penjualan yang tidak dapat memenuhi target bulan ini sehingga mendapatkan peringatan dari atasannya. Ia mungkin berpikir ”Oh, hancurlah masa depanku. Karirku di bidang penjualan selesai sampai di sini. Keluarga saya hancur hari ini.” Kejadian bahwa bulan ini tidak memenuhi target dianggap telah merusak karir yang telah dibangun sekian lama oleh orang tersebut. 2) Mengancam: Kejadian tersebut dianggap sebagai suatu situasi yang bisa mengancam di masa yang akan mendatang. Misalnya kejadian yang sama, yaitu seorang pekerja penjualan yang tidak memenuhi target bulan ini dan mendapatkan peringatan dati atasannya mungkin tidak berpikir bahwa karirnya sudah hancur saat ini, tetapi ia berpikir, “ Oh, saya akan segera kehilangan pekerjaan. Saya akan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang baru karena saya sudah tua. Anak-anak saya akan segera menjadi anak-anak yang kelaparan karena orangtuanya tidak punya uang lagi untuk menyekolahkan mereka nantinya”, dll. 3) Tantangan: orang memandang kejadian yang sama, sebagai tantangan untuk dikalahkan, untuk dicari jalan keluarnya, untuk dimenangkan dan untuk mendatangkan hikmah yang lebih baik dari yang sebelumnya. Misalnya, kejadian yang sama, orang tersebut akan berpikir, “ Wah, apa yang salah ya dengan strategi saya sebelumnya? Bagaimana saya bisa mengembangkannya? Dari mana saya bisa belajar agar saya bisa menjual lebih baik lagi bulan depan. Siapa saja yang bisa saya hubungi agar penjualan saya membaik? ”
Pada penilaian kedua, individu akan mengevaluasi seberapa besar sumber-sumber/kekuatan yang dimilikinya, dan seberapa dia akan mampu untuk mengatasi persoalan ini. Misalnya dalam kasus tadi, orang tersebut akan melihat seberapa cerdas dirinya, seberapa banyak energi yang dimilikinya untuk mengerjakan tugasnya, seberapa pandai ia dalam kemampuannya berkomunikasi dan menjalin hubungan sehingga bisa membantunya dalam penjualan produknya, seberapa banyak ia memiliki kolega yang dapat membantunya. Bila orang tersebut menilai dia mempunyai sumber yang cukup, maka ia akan lebih bisa mengatasi stress dibandingkan yang merasa sumbernya sangat terbatas.
Lazarus (1993) percaya, bahwa stress atau tidaknya seseorang akan tergantung dari keseimbangan antara penilaian pertama dan kedua, bila orang cenderung menilai kejadian “merusak dan mengancam” tinggi, sementara penilaian “tantangan” & “sumber-sumber”nya tak ada, maka ia akan mengalami stress. Sementara bila orang tersebut menilai kejadian tersebut tidak terlalu “merusak” & “mengancam” tetapi menganggap “tantangan” dan “sumber” dirinya kuat, maka ia cenderung tidak stress.         

3. Faktor Tipe Kepribadian
  Faktor tipe kepribadian juga dianggap berpengaruh terhadap mudahnya terkena stress. Ada orang yang cenderung rentan terhadap stress, yang digolongkan dalam kepribadian tipe A. Orang ini dikarakteristikkan sebagai orang yang ambisius, kompetitif (inginnya selalu lebih menang daripada orang lain), tidak sabar, kasar, mudah marah. Tipe kepribadian B, yang lebih relax, tidak terlalu ingin menonjol, tidak ambisius, sabar, tidak mudah marah, banyak humor, dianggap lebih kuat dalam menghadapi stress (Rosenman dkk dalam Kassin, 1995).
Hal yang lain dari sisi kepribadian yang diyakini berhubungan dengan stress adalah hardiness atau keuletan. Pribadi yang memiliki keuletan yang tinggi diketahui memiliki karakteristik seperti: tidak mudah menyerah, memiliki komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan ataupun tanggungjawabnya (bukannya ingin melepas tanggungjawab dan pergi menyerah meninggalkan tanggung jawab), merasa dirinya memiliki kontrol atas hidupnya (bukannya merasa tak berdaya dan merasa bahwa dirinya dikontrol oleh nasib/orang lain), serta melihat persoalan sebagai tantangan (dan bukannya ancaman). Individu dengan nilai hardiness yang tinggi dipercaya akan cenderung lebih kuat dalam menghadapi stress (Halonen dan Santrock, 1999).

4. Faktor Lingkungan
 Jenis kejadian dalam hidup, akan menimbulkan stress dengan kadar yang berbeda terhadap individu. Dalam dunia kerja, stress dalam kehidupan di luar pekerjaan dianggap dapat membawa individu dalam kondisi tertekan pula. Holmes dan Rahe (1967) menyatakan bahwa kadar stress seseorang dapat diukur dari berapa banyak kejadian dalam hidup yang dapat menimbulkan stress yang dimiliki individu, dan bahwa tiap kejadian itu memiliki kadar stress yang berbeda. Semakin banyak kejadian yang menimbulkan stress, semakin tinggi kadar stress seseorang. Berikut ini contoh pengukuran Holmes & Rahe (1976):
Kematian pasangan/keluarga dekat
100
Berprestasi sangat gemilang
25
Penjara
80
Gagal dalam beberapa mata kuliah
25
Tahun terahkir di kuliah
63
Ujian akhir
20
Kehamilan
60
Memiliki pacar/putus pacar
20
Sakit/terluka
53
Perubahan dalam situasi kerja
20
Menikah
50
Perubahan jurusan yang diambil dlm kuliah
20
Masalah dengan orang lain
45
Perubahan pola tidur
18
Kesulitan keuangan
40
Liburan beberapa hari
15
Kematian teman dekat
40
Perubahan pola makan
15
Bertengkar dengan teman sekamar
40
Reuni keluarga
15
Bertengkar dengan keluarga
40
Perubahan aktivitas rekreasi
15
Perubahan kebiasan hidup
30
Sakit ringan / luka ringan
15
Perubahan lingkungan hidup
30
Pelanggaran hukum kecil-kecilan
11
Memulai atau mengakhiri pekerjaan
30


Masalah dengan atasan/guru
25
TOTAL


Dalam contoh di atas, misalnya, seseorang yang karena baru saja menikah (nilai 50) sehingga harus mengikuti suaminya tinggal di tempat yang baru (lingkungan baru = nilai 30),  sehingga harus keluar dari pekerjaannya yang lama dan bekerja di tempat yang baru (nilai 30) yang sebulan kemudian dinyatakan hamil oleh dokternya (60), dan arena tinggalnya di kota kecil dan pekerjaan yang menuntut, sehingga ia tak bisa lagi melakukannya hobbynya berenang dan berbelanja di mall (perubangan aktifitas rekreasi nilai 15), maka menurut perhitungan ini ia memiliki tingkat stress sebesar = 50+30+30+60+15 = 185.   
Lazarus & Folkman (1984) memiliki pandangan yang berbeda dari Holmes dan Rahe. Menurutnya, stress justru lebih banyak dipengaruhi oleh perbandingan antara berbagai kejadian yang menjengkelkan sehari-hari dengan kejadian yang menyenangkan yang membangkitkan semangat dan kebahagiaan. Maka dalam dunia kerja, seseorang dikatakan akan mendapatkan stress kerja apabila hari-hari seorang pekerja lebih banyak terisi hal-hal yang menjengkelkan dibandingkan yang menyenangkan di dalam dunia kerjanya. Misalnya: Saat tiba di kantor ia mendapati bahwa printernya rusak sehingga ia harus berpindah-pindah meminjam printer dari teman lain, agak siang ternyata emailnya tidak dapat diakses. Hal ini menyebabkan ia mendapatkan keluhan dari pelanggan karena keterlambatan pesanan. Saat tiba waktu istirahat, sayang sekali boss memintanya untuk tinggal menemui klien penting di acara makan siang, padahal ia telah membuat janji untuk mengantar anaknya les di saat istirahat. Saat menjelang pulang kerja, didapatinya surat-surat belum diantarkan oleh office boy. dll. Maka individu akan cenderung mengalami stress, dibandingkan bila hari-harinya dipenuhi dengan hal-hal yang menyenangkan misalnya: Saat tiba di kantor, kantor dalam keadaan bersih, kopi atau teh siap dihidangkan, komputer lancar, teman-temannya menyenangkan dll.
Dalam salah satu literatur yang ditulis oleh Katz dan Kahn (1978) menyebutkan bahwa faktor lingkungan yang menimbulkan stres kerja adalah faktor peran. Peran yang dimainkan individu dapat menjadi sumber stres yaitu bila terjadi ketidak jelasan peran (role ambiquity), konflik dalam menjalankan peran (role conflict), maupun beban peran yang terlalu banyak, ataupun juga terlalu sedikit (role overload-underload).  
Mengatasi Stres Kerja
Bila individu sudah mengenali beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress kerja, maka ia dapat belajar bagaimana cara mengatasi stress tersebut. Ada beberapa hal yang dapat dikembangkan untuk menangani stress yang dialami individu.

1.      Secara Fisik
Mengingat bahwa kondisi stress melibatkan fungsi biologis dalam tubuh individu, maka untuk mengurangi dampak stress kerja bagi fisik individu, yang bisa dilakukan adalah menjaga agar pertahanan tubuh berada dalam kondisi yang baik. Hal ini bisa dicapai dengan menjaga asupan makanan yang bergizi, olahraga yang cukup dan tidur yang cukup. 

2.      Mengembangkan pola pikir yang sehat.
Sebagaimana disebutkan oleh Lazarus (1993), bagaimana interpretasi individu terhadap kejadian yang dihadapi (apakah digolongkan dalam kejadian itu merusak, mengancam, atau menantang), dan bagaimana ia memandang dirinya apakah ia memiliki pandangan positif terhadap kemampuan diri dan menganggap dirinya memiliki sumber-sumber yang kuat untuk mengatasi kejadian tersebut, akan menentukan apakah ia akan mengalami stress atau tidak. Dalam hal ini kemampuan untuk mengembangkan cara berpikir yang positif akan sangat penting untuk mengatasi stress. Kemampuan untuk melihat bahwa diri sendiri secara positif, dan dirinya mempunyai potensi untuk mengatasi masalah akan menghindarkan dirinya dari stress yang berkepanjangan.
Saat menghadapi suatu situasi, sebenarnya individu sering melakukan self-talk (berbicara pada diri sendiri). Dengan memperhatikan apa yang individu katakan pada dirinya sendiri, maka akan dapat dilihat apakah ia sedang berpikir positif atau negatif. Bila yang ditemukan adalah self-talk negatif, maka untuk menghindarkan dari stress yang maka perlu untuk mengubahnya menjadi self-talk yang positif. Misalnya:



Situasi
Self-talk negatif
Self-talk positif
Sebuah proposal kegiatanku ditolak atasan
“Aku bodoh dan tak mampu membuat program yang menarik”







”Karirku akan hancur karena semua orang akan memandangku sebagai orang yang tak mampu bekerja dengan baik”


“Aku hanya kurang berusaha untuk lebih kreatif serta menulis proposal dengan lebih meyakinkan. Bila aku diterima di sini dan telah mengalahkan banyak pelamar yang lain, artinya aku dipandang mampu untuk mengerjakan tugas kantorku ini. ”

“Setiap orang pernah mengalami masa gagal, demikian juga kawan-kawan sekerjaku yang lain. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki dan mengembangkan proposal yang lebih menarik.”


3.      Tipe Kepribadian
Perlu diperhatikan apakah seseorang termasuk dalam tipe kepribadian tipe A dan bukan termasuk dalam tipe ulet untuk melihat seberapa rentan individu tersebut terhadap stress. Bagi individu yang termasuk dalam tipe A, perlu menyadari bahwa ia bisa lebih rentan untuk mendapatkan stress kerja daripada rekan kerjanya yang tergolong dalam kepribadian tipe B. Dalam hal ini, ia perlu didorong untuk lebih mengembangkan ketenangan batin, rasa relax serta tidak mengembangkan sikap ambisius. Praktek-praktek meditasi dan relaksasi dapat disarankan untuk dicobakan bagi individu untuk mengembangkan ketenangan bathin dan menjaga kondisi relax dalam hidupnya. Riset juga menemukan bahwa meditasi terbukti mampu mengurangi gejala stres yang dimiliki oleh individu (Alexander dkk. dalam Huffman, Vernoy, & Vernoy, 1997). Riset menemukan bahwa memodifikasi tipe A dapat dilakukan, yaitu dengan mengubah cara berpikir individu, mengubah keyakinan yang selama ini membuat dipertahankannya gaya kepribadian tipe A, serta membantu memodifikasi respon fisiologis terhadap stress (Kendall & Hammen, 1995). Mengembangkan kedekatan kepada yang Maha Kuasa untuk menikmati rasa ketenangan dan sikap yang bersyukur akan menolong individu untuk terhindar dari keinginan untuk menonjolkan diri, rasa ambisius, dan ketidaksabaran.

4.      Lingkungan
Seseorang tidak dapat menghindarkan diri dari kejadian yang sangat memukul. Dalam kondisi seperti ini, individu membutuhkan orang-orang yang dapat mendukung guna mengatasi persoalan. Dukungan sosial dianggap menjadi salah satu sumber kekuatan yang dapat menolong individu untuk mengurangi stress yang dialaminya (Kendall & Hammen, 1995). Bantuan dari orang-orang yang mengasihi, atau dari ahli professional mungkin diperlukan untuk mengurai persoalan yang dihadapi. Bila diperlukan, berbicara pada orang yang tepat, agar mendapatkan pertolongan yang tepat, dan bukan pada sembarang orang hanya sekedar untuk melegakan perasaan emosi.
Sehubungan dengan pentingnya peran dalam mempengaruhi tingkat stress kerja seseoarang, maka individu perlu memperjelas batasan perannya dalam organisasi yang diikutinya. Dalam hal ini, individu dapat mencoba meminta job deskripsi yang jelas kepada atasannya sehingga ia terhindar dari role ambiguity. Selain itu, individu perlu jeli untuk melihat apakah dalam pekerjaannya telah terjadi pula role conflict. Pembagian jadwal yang jelas, serta kemampuan untuk menolak dengan tegas apabila pekerjaan tambahan telah menimbulkan konflik peran, maka diharapkan individu dapat menghindarkan dirinya dari stress kerja yang ditimbulkan karena konflik peran. Sangat mungkin bahwa dalam pekerjaan terjadi pula role overload ataupun underload. Dalam mengatasi ini, cara yang bisa dilakukan adalah membicarakan dengan atasan tentang pentingnya pembagian kerja dengan rekan yang lain. Individu juga perlu untuk mengembangkan kemampuan delegasi, serta belajar mempercayakan tugas-tugasnya kepada orang lain yang dianggap mampu sehingga terhindar dari role overload.  
Mengingat stress juga merupakan keseimbangan antara kejadian yang menjengkelkan sehari-hari dan kejadian yang menyenangkan, maka sangat penting dalam keseharian individu untuk menjaga hal-hal yang menyenangkan bagi dirinya. Penjadwalan untuk melakukan hobby yang menyenangkan, memanjakan diri pada saat-saat tertentu, seperti saat mandi, pergi ke spa, dll., melakukan rekreasi (tidak harus mahal, bahkan hanya bercocok tanam, melihat-lihat sawah, sungai, gunung dll. mungkin cukup bagi beberapa orang untuk melepaskan diri dari kepenatan), menjaga hubungan dengan teman-teman dekat serta teman-teman satu kantor, dengan saling mengunjungi, berbelanja bersama, dll, yang dapat memberikan suasana penuh tawa dan inspirasi bagi individu, termasuk misalnya bermanja-manja dengan pasangan, bercanda dengan anak-anak dll. Semua hal yang dapat mendatangkan kesukacitaan harus dijaga untuk bisa dinikmati setiap hari.

Penutup 

Lepas dari segala teori dan saran tentang bagaimana menghadapi stress kerja, perlu diingat bahwa persoalan adalah kawan setia individu setiap saat, selama individu itu masih hidup. Berbagai persoalan di tempat kerja yang membutuhkan penyesuaian bagi individu, juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pekerjaan serta kehidupan. Persoalan demi persoalan tak akan pernah selesai di tempat kerja. Oleh karena itu, menghindarkan diri dari persoalan di tempat kerja, dalam hal ini menghindarkan diri dari stress adalah hal yang mustahil bagi individu. Sebagaimana dikatakan oleh Peck (1978) dalam bukunya  The Road Less Travelled  (Jalan yang Jarang Ditempuh), bahwa hidup memang penuh dengan persoalan, maka seseorang tidak perlu heran bila harus berhadapan dengan persoalan demi persoalan. Seseorang yang mengharapkan hidup tak pernah ada masalah dan persoalan, adalah orang yang sedang tidak menjalani realitas. Dengan pemahaman ini, maka individu akan selalu siap untuk menghadapi persoalan yang manapun itu, di kehidupannya maupun di tempat kerja.
Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyebutkan bahwa untuk dapat bertahan dan gigih untuk menghadapi persoalan di manapun itu, yang diperlukan adalah menemukan makna mengapa hal tersebut penting untuk tetap dipertahankan. Dalam situasi kerja, individu perlu menemukan makna, serta tujuan yang berharga mengapa ia harus bertahan untuk tetap setia mengerjakan pekerjaannya. Dengan demikian, individu akan bersedia untuk gigih, terus berjuang untuk menyelesaikan persoalan demi persoalannya dengan baik. Sebagaimana ungkapan tua filsuf Nietzche (1844-1900).

He who has a why to live can bear almost any how”.

“Mereka yang memiliki alasan mengapa ia harus hidup, akan mampu untuk menanggung hampir dengan cara apapun”.    


DAFTAR PUSTAKA

Bastaman H.D. (2007). Logoterapi; Psikologi Untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: Rajawali Press.

Halonen, J.S. & Santrock, J.W. 1999. Psychology. Cotext & Application. Boston: McGraw Hill Company.

Holmes, T.H. & Rahe, R.H. 1967. The Social Readjustment Rating Scale. Journal of Psychosomatic Research, 11, 213-218.

Huffman, K., Vernoy, M. & Vernoy, J. 1997. Psychology in Action. New York: John Wiley & Sons. Inc.

Karasek, R.A., Russel, R.S., & Thorell, T. 1982. Physiology of stress and regeneration in job-related cardiovascular illness. Journal of Human Stress, 8, 29-42.

Katz, D. & Kahn, R.L. (1978). The Social Psychology of Organization. New York: Wiley.

Kassin, P. 1995. Psychology. Boston MA: Houghton Mifflin Company.

Kendal, P.C. & Hammen, C. 1995. Abnormal Psychology. Boston: Houghton Mifflin Company.

Kirkcaldy, B.D., Levine, R. & Shepard, R.J. 2000. The impact of working hours on physical and psychological health of German managers. European  Review of Applied Psycholgy. Vol 50 (4), 443-449.

Lazarus, R.S. 1993. From Psychological Stress to the Emotions: A History of Changing Outlook. Annual Review of Psychology, 44, 1-21.

Lazarus, R. S. & Folkman, S. 1984. Stress Appraisal and Coping. New York: Springer.

Nietzche, F . (1844-1900) Frederick Nietzhce Quote. Diambil dari:
http://thinkexist.com/quotation/he_who_has_a_why_to_live_can_bear_almost_any_how/205853.html

Peck, S. 1978. The Road Less Travelled: A New Psychology of Love, Traditional Values and Spiritual Growth. New York: SImin & Schuster. 

Selye, H. 1974. Stress Without Distress. New York: Harper & Row.



1 komentar:

  1. gan jurnalnya kirkcaldy dkk download dimana? atau bisa kirim gan?

    BalasHapus

About Me

Foto saya
Love arts and jokes... Life is tasteless without both of it!