Leelou Blogs
topbella

Selasa, 07 Desember 2010

PENGEMBANGAN ARENA BERMAIN UNTUK MENUMBUHKAN PENGHARGAAN TERHADAP ALAM PADA ANAK-ANAK

Berta Esti Ari Prasetya
Universitas Kristen Satya Wacana

Abstract



Kurangnya kepedulian manusia terhadap lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah lingkungan, sehingga diperlukan upaya untuk mengembangkan penghargaan terhadap alam. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengembangkan penghargaan terhadap alam pada anak-anak. Berbagai penelitian menemukan pentingnya keterlibatan langsung anak-anak untuk bermain di alam untuk menumbuhkan rasa penghargaan terhadap alam. Dengan demikian, arena bermain yang dapat mengenalkan anak terhadap alam perlu dikembangkan. Artikel ini akan membahas hal-hal yang diperlukan dalam mengembangkan arena bermain agar dapat menumbuhkan penghargaan terhadap alam, dilihat dari sisi disain dan materi yang digunakan, kesesuaian disain dengan usia anak dan sisi keamanan.

Kata kunci: arena bermain, penghargaan terhadap alam pada anak-anak.

Pengantar

Ungkapan psikolog Erich Fromm (dalam Feist & Feist, 2006) bahwa manusia modern telah mengalami keterasingan dari alamnya tampaknya semakin terasa kebenarannya pada saat-saat ini. Bahkan hal ini perlu menjadi kepribahitan mendalam karena keterpisahan jiwa manusia dari alam tampaknya telah menjadi psikopatologi kolektif, mengingat begitu banyak individu yang mengalami rasa ketidakpedulian ini dan melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan ketidak acuhan terhadap alam (Metzner, 1999). Perilaku ketidak pedulian ini tampak dalam kegiatan yang tampaknya sepele dan lumrah, dan sudah dianggap sebagai kegiatan biasa yang tidak menimbulkan rasa bersalah, seperti membuang sampah di jalan (terkadang dengan alasan hanya sampah kecil seperti pembungkus permen), mengotori tanah dengan sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang, mengotori air tanah dengan deterjen maupun zat-zat beracun lainnya, menutup seluruh permukaan tanah dengan semen dan bangunan yang menghalangi terserapnya air hujan kembali ke dalam tanah, penggunaan kendaraan bermotor secara berlebihan sehingga menimbulkan polusi udara, dll., hingga perusakan dalam skala besar yang benar-benar mengancam kehidupan orang banyak seperti perusakan hutan, pembakaran hutan, perburuan liar untuk tujuan komersil, eksploitasi dan penambangan alam tanpa memperdulikan konservasi
.
Ketidakacuhan itu berbuntut pada timbulnya berbagai bencana bagi umat manusia itu sendiri (Metzner, 1999). Dapat diambil contoh seperti bencana banjir, tanah longsor, perusakan spesies-spesies hewan maupun tumbuhan, polusi bahkan yang paling mengancam, kerusakan lapisan ozon dan efek rumah kaca yang menimbulkan berbagai persoalan alam lainnya. Mengingat hal itu, maka penumbuhan rasa penghargaan dan kecintaan terhadap alam merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi agar manusia terhindar dari berbagai bencana alam. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana rasa penghargaan kepada alam ini dapat ditumbuhkan?

Menumbuhkan Rasa Penghargaan Kepada Alam pada Anak-anak
Para ahli percaya bahwa akibat proses evolusi manusia, dimana manusia pada awalnya merupakan mahluk yang tak terpisahkan dari alam pada masa pre-historis (White, 2006), maka setiap anak terlahir sebenarnya telah memiliki kode genetik dan insting untuk terlibat dengan alam, memiliki rasa cinta dan keinginan untuk bersatu dengan alam. Hal ini tampak dalam ketertarikan anak untuk terlibat dengan alam sebagaimana tampak dalam ketertarikan mereka pada dongeng-dongeng alam yang penuh dengan berbagai macam karakter hewan (Barrows, 1995).

Bibit yang ada ini perlu terus dipupuk dan dikembangkan sehingga setiap anak memiliki ecopsychological-self, yaitu dorongan alamiah seorang anak untuk merasakan dirinya adalah bagian dari alam (Phenice & Griffore, 2003). Lebih lanjut Phenice & Griffore menyatakan bahwa pembentukan konsep diri anak bahwa dirinya bagian dari alam terjadi selama masa kanak-kanak awal dan akan lengkap pembentukannya pada masa itu. Hal ini berarti bahwa pengembangan ecopsychological-self harus sudah dimulai sejak dini dengan memperkenalkan anak pada alam. Sobel (1996) menegaskan rasa empati terhadap alam perlu menjadi sasaran utama pembelajaran pada anak usia empat hingga tujuh tahun sehingga memunculkan perasaan dirinya sebagai bagian dari alam. Selanjutnya diungkapkan bahwa bila rasa penghargaan dan keinginan merawat alam ini tidak dikembangkan di tahun-tahun awal, maka anak tersebut beresiko tak akan pernah mengembangkan sikap tersebut sepanjang hidupnya. Sementara itu, Riset Shultz dkk. (2004) menemukan bahwa sejauh mana seseorang merasakan bahwa dirinya adalah bagian dari alam, perasaan bahwa dirinya terikat pada alam berkorelasi dengan sikap positif individu terhadap alam.

Sikap positif dan kecintaan individu terhadap alam terbentuk hanya karena adanya pengalaman positif anak di alam luar pada masa kanaknya (Palmer, 1999). Hal ini didukung juga oleh penelitian Chawla (2006) terhadap aktivis lingkungan di Norwegia, dan menemukan adanya tiga hal utama yang menimbulkan kecintaan mereka pada alam: 1) keterpaparan mereka untuk bermain di alam pada masa kanak-kanak, 2) kebiasaan orang tua mereka mengajak mereka untuk melakukan hal yang disukai oleh orang tua mereka yaitu bermain di alam, sambil memberikan pemahaman tentang nilai alam kepada mereka, serta memperbincangkan hal-hal mengenai alam dengan mereka saat mereka berkegiatan di alam (misalnya berbicara tentang strawberry saat mereka memetik strawberry bersama-sama), 3) keterlibatan mereka dalam organisasi-organisasi yang sering melakukan kegiatan di alam seperti misalnya pramuka. Saat ditanyakan mengapa mereka bersedia menghabiskan tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk penyelamatan alam, jawaban yang diberikan lebih bersifat personal, seperti misalnya: Itu merupakan tempat mereka saat mereka masih kecil, serta karena saat kecil keluarganya memintanya untuk menjaga tanaman dengan baik dll.
Hasil yang sama juga tampak dalam penelitian Finger (1993) yang meneliti 1004 orang berkebangsaan Swiss yang bersedia mengambil bagian dalam gerakan lingkungan seperti daur ulang, menandatangani petisi ramah lingkungan, adalah orang-orang yang memiliki pengalaman dengan alam sebelum mereka berumur 20 tahun. Penelitian-penelitian dengan kompak menyatakan bahwa kesediaan untuk membela lingkungan dapat terjadi bila anak-anak memiliki pengalaman kedekatan atau eksposure dengan alam secara pribadi saat mereka masih belia, dalam bentuk bermain dengan alam. Johnson (2000) menegaskan bahwa penghargaan sejati terhadap alam hanya dapat diperoleh individu dari pengalaman sensorisnya yang kaya dengan alam itu sendiri.
Kesempatan Bermain di Alam pada Masa Kini
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, bermain di alam merupakan cara yang tepat untuk membawa kedekatan anak-anak pada alam, mencintai serta menghargai alam. Bermain di alam memungkinkan pengembangan “sense of place” pada anak (Orr, 1993). Sayang sekali kesempatan untuk bermain di alam bebas bagi anak-anak saat ini mendapatkan porsi yang sangat kecil dibandingkan masa-masa dahulu. Orang-orang dewasa saat ini mungkin masih dapat mengingat berbagai kegiatan menyenangkan yang mereka lakukan di masa kecil dengan menelusuri alam, bermain di sungai, hutan, memanjat pohon, mencari buah dan menelusuri jalan-jalan di kampung atau desa.
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi anak-anak di masa sekarang terutama anak-anak yang tinggal di perkotaan. Sebagian waktu mereka sudah habis untuk bersekolah dan pergi mengikuti kursus-kursus tambahan yang diberikan orang tua mereka. Selain waktu yang terbatas, kebanyakan orang tua tidak mengijinkan anak-anak mereka bermain di luar tanpa pengawasan karena alasan keamanan, seperti ketakutan penculikan, kejahatan yang lain, polusi (Pyle, 2002; Herrington & Studtmann, 1998; Moore & Wong, 1997; Rivkin, 2000). Literatur mencatat bahwa biasanya anak-anak hanya disarankan untuk bermain di rumah ataupun rumah teman, dan serta tempat-tempat rekreasi komersial (McKendrick, Bradford & Fielder, 2000). Selain itu, di rumah sendiri saat ini terdapat berbagai tawaran menarik untuk bermain di dalam gedung, seperti acara-acara televisi yang menarik, permainan-permainan dalam ruang seperti play station dll. Sebagai akibat berbagai kondisi di atas, tidak mengherankan bila hasil survey nasional di Amerika menemukan bahwa anak-anak kelas 5 dan 6 SD kebanyakan mendapatkan informasi mengenai alam tidak secara langsung, tetapi dari media masa (53%), dari sekolah (31%) dan hanya 9% yang belajar mengenai alam dari lingkungan langsung (dalam Nabhan, 1994). Di Indonesia sendiri survey nasional mengenai hal ini belum pernah dilakukan. Namun gambaran di kota-kota besar dengan keterbatasan lahan yang ada menunjukkan berkurangnya interaksi anak-anak dengan alam secara langsung.

Malone dan Tranter (dalam Fjortoft dan Sageie, 2000) menyatakan bahwa keterbatasan anak untuk bermain di luar, mungkin dalam jangka pendek tampak bermanfaat bagi keselamatan mereka, namun dalam jangka panjang hal ini dapat membatasi kemampuan mereka untuk mengalami dam mengeksplorasi lingkungannya dan mengurangi perilaku-perilaku yang dapat membimbing pada kegiatan mempelajari lingkungannya. Bahkan, keterbatasan pengalaman langsung anak dengan alam dapat menimbulkan biophobia atu ecophobia yaitu rasa takut terhadap alam dan berbagai isue-isue lingkungan (Sobel, 1996).

Mengingat hal di atas, usaha untuk mengajak kembali anak-anak untuk bereksplorasi di alam secara langsung perlu mendapatkan dukungan dan perhatian berbagai pihak. Yang sering menjadi persoalan penduduk kota di Indonesia adalah keterbatasan lahan di daerah mereka, sehingga tidak memungkinkan memiliki halaman luas di setiap rumah untuk anak-anak dapat bermain di rumah mereka. Dengan kondisi yang demikian, maka arena bermain umum maupun arena bermain di sekolah akan menjadi kebutuhan vital bagi anak-anak ini. Oleh karna itu, pengembangan arena bermain umum maupun di sekolah perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak secara serius. Tempat bermain bukan hanya sebagai tempat untuk melepaskan energi mereka, tetapi juga menjadi tempat untuk belajar dan mengembangkan diri dalam berbagai bidang.

Selama ini, kajian mengenai disain tempat bermain anak lebih sering dikembangkan untuk pengembangan kepribadian anak-anak maupun perkembangan kognitif mereka, sementara perhatian belum banyak diberikan untuk pengembangan arena bermain untuk mengembangkan penghargaan anak-anak terhadap alam, terutama untuk literatur di Indonesia. Oleh karena itu, artikel ini juga bermaksud mengkaji tentang pengembangan arena bermain agar dapat digunakan sebagai sarana pengembangan penghargaan anak-anak terhadap alam.

Pengembangan Arena Bermain Untuk Pengembangan Penghargaan terhadap Alam
1. Disain Arena Bermain: Kembali ke Alam
Disain tempat bermain yang lazim ditemui di Indonesia adalah disain model tradisional yang dipenuhi dengan alat-alat buatan pabrik, seperti jungkat-jungkit, ayunan, dan perosotan. Bahan-bahan ini biasanya terbuat dari besi atau plastik dengan warna-warni yang mencolok. Kebanyakan alat-alat ini ditanam di tanah yang bersemen, tanpa adanya aneka tanaman di dalamnya. Kalaupun ada tanaman di arena bermain tersebut, sifatnya hanya sebagai penghias arena bermain dan tidak dimanfaatkan oleh anak-anak sebagai bahan permainan itu sendiri. Di Amerika, arena bermain juga ditemukan kebanyakan berkesan seperti tempat parkir (Worth, 2003), biasanya tidak berkesan hijau, tetapi abu-abu (Moore & Wong, 1997).
Dalam arena bermain dengan bentuk alat statis dan telah terbentuk seperti di atas, anak-anak menganggap meskipun alat-alat tersebut berkesan bagus, tetapi dalam jangka waktu kemudian menjadi membosankan (Jones dalam Bulut & Yilmaz, 2008). Hal ini terjadi karena permainan yang telah terbentuk ini biasanya hanya memiliki satu tipe permainan (Bundy dkk., 2008). Misalnya bila itu jungkat-jungkit, tujuannya hanya untuk jungkat-jungkit. Sementara itu, dalam arena bermain yang tidak terstruktur yang menggunakan materi-materi alamiah seperti bebatuan, pohon-pohon serta semak-semak, akan dapat menstimulasi berbagai permainan kreatif, yang mengundang fantasi yang tak terbatas (Bundy). Misalnya pohon yang sama dapat digunakan untuk memanjat, dijadikan benteng, tempat bersembunyi, tempat mencari sarang burung, bergelantungan dll. Batu besar dapat dipakai sebagai singgasana raja, gunung ajaib, arena meloncat dan berbagai imajinasi luas lainnya.

Herrington dan Sudtmann (1998) menemukan bahwa apabila anak-anak bermain di tempat yang dipenuhi dengan alat permainan buatan dan bukan di elemen-elemen natural seperti pepohonan, maka hirarki sosial yang dikembangkan anak-anak dalam interaksi sosial mereka akan didasarkan pada kemampuan fisik mereka. Tetapi bila kondisi alam ditanami pepohonan dan berbagai vegetasi tanaman, yang terjadi adalah bahwa anak-anak akan mengembangkan permainan fantasi. Dalam permainan fantasi ini terjadilah interaksi sosial di antara mereka. Hal ini membawa implikasi perubahan hirarki sosial di antara mereka bukan lagi berdasarkan kemampuan fisik, tetapi lebih berdasarkan pada kemampuan anak dalam berbahasa, serta kreativitas mereka dalam mengimajinasikan tempat bermain tersebut.

Riset juga menemukan bahwa kebanyakan anak biasanya lebih tertarik untuk bermain di alam natural (Maxey, 1999) karena alam natural memberikan pengalaman tanpa batas waktu (timelessness) dan memberikan berbagai keberagaman (White dan Stoecklin, 1998). Dalam hal ini, keberagaman yang ada di dalam alam, bentuk alam yang tidak terstruktur dan bisa dimanipulasi (misalnya bisa dipindah-pindah, seperti pasir yang digali, batu yang ditumpuk, ranting yang dibuat berbagai bentuk) merupakan hal yang penting untuk menimbulkan ketertarikan (Nicholson, 1971).

Chawla (2006) mencatat mengapa alam menjadi hal yang sangat menarik bagi anak-anak, yaitu karena: 1) Alam juga memberikan sensasi yang tak tergantikan karena pengalaman bersama alam adalah pengalaman dengan seluruh indra, 2) alam tak pernah sama, misalnya apa yang terjadi di sungai dengan aliran air dan yang dibawa di dalamnya tak akan pernah sama dari waktu-ke waktu, sehingga meskipun berada di tempat itu, akan selalu terasa baru. 3) Alam tetap memiliki sesuatu yang khas dan tidak berubah, misalnya bau di suatu tempat, dan ini akan mengingatkan individu kembali di masa lampau.

Kesukaan anak pada alam ini juga tampak dari jawaban orang dewasa yang menyatakan bahwa tempat di alam bebas merupakan tempat bermain paling berkesan bagi mereka di masa kecilnya (Sebba, 1991; Johnson, 2008). Dalam riset yang dilakukan Johnson ditemukan bahwa aktifitas bermain yang dianggap paling menarik bagi orang dewasa pada masa kanaknya adalah interaksi mereka dengan materi alam, seperti menggali di tanah atau pasir, mengumpulkan ranting-ranting pohon, rumput atau bahan-bahan konstruksi lainnya, mengeksplorasi berbagai jenis hewan dan serangga. Objek yang paling banyak digunakan adalah tanah, pasir, lumpur, rumput, batu-batuan, bagian-bagian tanaman seperti batang pohon, buah, dan jarang menyebut adanya permainan buatan pabrik. Permainan imajinatif yang yang biasa disebutkan biasanya mengandung kata berbahaya, penuh petualangan, magical, misterius, rahasia, tidak boleh ada orang dewasa, dan terlarang. Bagian terakhir menunjukkan kecintaan anak-anak pada dunia yang penuh petualangan, menantang dan misterius.

Mengingat hal di atas, maka penataan arena bermain yang terbaik adalah yang memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mengembangkan eksplorasi, tantangan, petualangan serta penemuan di alam (White, 2004). Dengan demikian disain yang perlu dikembangkan bagi arena bermain anak adalah disain yang bersifat natural. Bahan yang ada cenderung bukan bahan buatan pabrik, tetapi bahan-bahan alami seperti dari kayu atau ranting-ranting pohon.


Adapun elemen-elemen yang perlu dipertimbangkan dalam disain arena bermain antara lain:
a) Kontur tanah : Pengembangan kontur tanah yang bervariasi akan memberikan stimulasi menarik bagi anak. Adanya bukit-bukit kecil untuk didaki, bagian yang lebih rendah atau cekungan di tanah untuk tempat bersembunyi akan memberikan sensasi petualangan bagi anak.
b) Penanaman tanaman: Perlu ditanam berbagai macam bentuk tanaman dari yang kecil hingga pohon besar. Pohon besar seperti beringin dapat memberikan pengalaman dengan alam yang sangat menyenangkan dengan penggunaan sulur-sulur beringin untuk berayun. Pohon bambu dapat mengenalkan anak-anak pada suara pergesekan daun saat angin berhembus. Perlu juga dihadirkan pohon yang bercabang banyak dengan dahan rendah yang memungkinkan anak-anak untuk memanjat namun tetap aman bagi anak-anak, seperti misalnya pohon jambu mete. Tanaman lain seperti pisang, akan memberikan informasi kepada anak-anak perbedaan batang pisang yang empuk dan batang pohon lain yang kokoh. Batang licin dari pisang juga memberikan sensasi seru bagi anak-anak yang berusaha memanjat pohon ini. Berbagai bagian pohon pisang juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai permainan, seperti bunyi-bunyian, kapal-kapalan dll. Tanaman-tanaman berumur pendek seperti jagung juga bisa dihadirkan untuk memberikan informasi bagi anak-anak tentang proses pertumbuhan tanaman dari biji hingga masa mereka menuai buah.
c) Air: Air merupakan salah satu materi yang sangat disukai anak-anak. Penempatan materi air perlu memperhatikan usia anak. Bagi anak-anak yang lebih besar, penempatan elemen air dapat berupa aliran sungai kecil, kolam dangkal, yang tetap memungkinkan dibiakkannya berbagai hewan air seperti ikan, katak, kura-kura dll.
d) Materi-materi lain seperti: tanah, pasir, salju, bebatuan baik besar maupun kecil.
White lebih lanjut menyarankan agar disain lebih bersifat seperti alam liar yang akan mengundang rasa keingintahuan, imajinasi, ketakjuban dan keterhubungan anak dan alam (White & Stoecklin, 1998). Desain yang ada juga akan maksimal apabila dapat menghadirkan hewan-hewan liar dan serangga di sekitar tanaman, seperti belalang, kupu-kupu, laba-laba, burung, tupai, siput dll. Bila pada arena bermain tradisional hewan dan serangga akan dibersihkan, maka pada arena bermain natural, hewan dan serangga dibiarkan untuk hidup dan berkembang sehingga anak-anak dapat memperhatikan bagaimana mereka hidup, apa yang mereka makan dan dimana tempat tinggal mereka. Semua akan dihargai sebagai bagian arena bermain yang bermanfaat bagi anak untuk mengenal lingkungannya.

2. Kesesuaian Disain dengan Usia Anak
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan arena bermain adalah kesesuaian disain arena bermain dengan usia anak.

a) Infant (di bawah 1 tahun):
Piaget (dalam Huffmann, Vernoy & Vernoy, 1997) menyatakan seorang bayi mengenali dunianya dengan alat indranya. Oleh karena itu, yang diperlukan di usia bayi adalah adanya stimulasi sensoris dan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan fisiknya, seperti belajar merangkak, merambat, berjalan dll. (Moore, Goltsman, dan Iacofano (1992). Dalam pengembangan sensorisnya, anak perlu mendapatkan stimulasi sensoris: seperti bunga dengan berbagai macam warna yang menarik, bau-bauan yang berbeda, daun dengan tekstur yang beraneka rupa baik kasar maupun lembut, juga ukuran daun yang berbeda-beda, baik besar kecil maupun warnanya (Moore, Goltsman, dan Iacofano, 1992). Gerakan dari alam dapat diperkenalkan melalui rumput-rumput tinggi yang bergerak tertiup angin, pohon tinggi yang mengundang berbagai burung dan kupu-kupu, suara kincir angin, atau kelinting angin. Perlu juga menempatkan benda-benda alam dalam posisi yang dapat dipahami anak sebagai bentuk vertikal, horisontal, bulat, memanjang dll. Sementara itu untuk mengembangkan ketrampilan fisik, perlu dibuat lantai yang halus untuk belajar merangkak, juga bentuk posisi menurun atau naik untuk anak mengenal konteks gravitasi.

Pada masa ini Sobel (1996) menegaskan bahwa fokus utama yang perlu diperhatikan dalam pengembangan rasa cinta terhadap alam adalah penumbuhan rasa empati anak-anak terhadap alam, terutama hewan-hewan. Kedekatan emosional antara anak dengan hewan-hewan akan menimbulkan ikatan emosional yang kuat dan membantu anak dalam pengembangan imajinasi dan permainan peran. Dengan demikian, penambahan hewan-hewan seperti katak, bebek, kelinci, burung-burung dan kupu-kupu dapat ditambahkan dalam arena bermain untuk menumbuhkan rasa empati anak terhadap mahluk-mahluk ini.

Anak pada masa ini masih perlu dilindungi dari terik matahari dan angin yang terlalu keras (Moore, Goltsman, dan Iacofano, 1992). Oleh karena itu, desain perlu memperhatikan adanya naungan yang cukup dan posisi yang memungkinkan anak untuk berlindung saat angin bertiup terlalu kencang.

2) Toddler (sekitar 1-2tahun).
Driscoll dan Nagel (1999) menyatakan bahwa anak usia ini menyukai berbagai kegiatan fisik termasuk di dalamnya: membuang, mendorong, menumpuk-numpuk, mendorong atau menarik sesuatu pada saat mereka berjalan, memanjat ke tangga-tangga kecil, memindah-mindah barang, menendang dan menangkap bola maupun memutar-mutar misalnya pegangan pintu. Dengan demikian arena bermain yang memiliki benda-benda yang dapat dipindah akan menjadi pilihan menyenangkan bagi mereka. Materi alam seperti pasir yang bisa digali-gali, ranting-ranting dan buah (misalnya buah pinus) yang bisa dikumpulkan, batu-batuaan berbagai bentuk yang bisa digolong-golongkan dapat menjadi alternatif yang menyenangkan bagi mereka sekaligus memperkenalkan keberagaman alam. Areal untuk bermain air juga merupakan hal yang cukup vital bagi anak usia ini, agar mereka dapat menikmati berbagai bentuk air. Namun demikian, demi keamanan, materi air tidak dalam bentuk kolam tetapi wadah-wadah yang memungkinkan anak bermain tanpa perlu tenggelam. Perlu juga adanya jalan setapak yang memungkinkan mereka untuk menarik-narik sesuatu saat mereka berjalan.

Kemampuan anak untuk mulai berjalan dan mengeksplorasi dunianya secara mandiri pada masa usia ini, memungkinkan fokus pengembangan kedekatan dengan alam pada masa usia ini adalah pengenalan anak pada kontur alam (Sobel, 1996). Dengan demikian arena bermain perlu memberi kesempatan pada anak pada usia ini untuk merangkak, berdiri, berjalan, melangkah ke atas maupun ke bawah. Dalam konteks ini, bentuk-bentuk bukit yang rendah dapat menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak-anak usia ini untuk menaiki dan menuruninya (Moore, Goltsman, dan Iacofano, 1992). Batu-batu pendek yang dijajar dengan jarak memungkinkan anak-anak untuk belajar melompat dan menjaga keseimbangannya.

3) Pra-Sekolah 3-4 th

Anak-anak pada usia pra-sekolah mulai semakin mengembangkan kemampuan fisik maupun kemampuan berbahasa mereka (Moore, Goltsman, dan Iacofano, 1992). Sehingga arena bermain harus dapat memberikan kesempatan kepada mereka untuk berlari, memanjat, melompat, meluncur, menari, maupun berputar-putar. Selain itu perlu ditempatkan alat bermain yang dapat mengundang mereka berimajinasi misalnya bentuk-bentuk tempat duduk misalnya dari potongan batang pohong yang tumbang, yang disertai peralatan-peralatan rumah tangga. Anak-anak pada usia ini juga sudah mulai dapat dikenalkan dengan konsep-konsep alam, seperti tanaman yang membutuhkan air dan sinar matahari untuk bertumbuh. Oleh karena itu, pengalaman berkebun dapat mulai dikenalkan pada anak-anak ini. Berkebun tidak harus melibatkan lahan yang luas, tetapi dapat pula dimasukkan dalam berbagai pot sehinga tidak memakan tempat. Pada kesempatan ini anak-anak dapat belajar tentang bagaimana tanaman akan bertumbuh, menemukan hewan-hewan yang mungkin tinggal di sekitar tanaman, seperti siput, cacing, belalang ataupun serangga-serangga kecil lainnya.
4). Anak-anak Usia Kelas Dasar.
Pada anak usia ini, tempat bermain bagi mereka merupakan pengembangan dari tahap-tahap sebelumnya. Anak-anak pada usia ini juga sangat tertarik pada misteri dan petualangan. Sehingga disain arena bermain perlu memberikan kesan petualangan dan tantangan bagi mereka. Pohon besar, batu-batu besar yang tergeletak dengan alamiah di tanah, serta bentuk-bentuk gua buatan, kontur yang menantang, akan memberikan sensasi petualangan bagi anak-anak usia ini. Materi air dapat diberikan dalam bentuk sungai dan kolam dangkal dengan berbagai bebatuan dan hewan-hewan yang tinggal di dalamnya.

3. Kesesuaian Disain dengan Faktor Keamanan
Masalah keamanan tempat anak-anak bermain telah menjadi perbincangan sejak 20 tahun terakhir ini mengingat adanya peningkatan jumlah anak yang dirawat di rumah sakit akibat bermain di arena bermain (Wallach, dalam Henniger 1993/1994). Hal ini telah mengundang usaha untuk membuat peraturan agar arena bermain dapat menjadi tempat yang aman bagi anak-anak untuk mengeksplorasi dunianya, tanpa harus merasa cemas atas keselamatan dirinya. Namun demikian perlu dicatat bahwa apabila peraturan yang diberlakukan terlalu ketat, hal ini juga dapat mengakibatkan disain yang kurang memberikan tantangan bagi anak-anak agar mereka jadi tetap tertarik (Johnson, 2008). Lebih lanjut ditemukan Johnson, bahwa dalam disain arena bermain yang terlalu ketat memperhatikan keamanan sehingga tidak memperbolehkan adanya resiko sama sekali, seringkali justru membuat anak-anak berusaha mencari petualangan dengan cara mereka sendiri, seperti menabrakkan sepedanya pada tiang, berayun dengan terbalik dan melakukan beberapa kegiatan berbahaya lainnya untuk menantang dirinya menghadapi resiko.
Hal paling penting yang perlu diperhatikan dalam hal keamanan adalah kekerasan lantai/dasar pada arena bermain dan benda-benda permainan (Tinsworth & Kramer dalam Henniger, 1993/1994). Kondisi lantai keras bersemen, atau dilapisi konblok masih ditemui di banyak arena bermain di Indoneisa. Alasan yang biasa diberikan adalah kemudahan dalam menjaga kebersihan dan bahwa alat-alat permainan dapat ditanam di dalam semen tersebut sehingga bersifat permanen. Namun yang dilupakan adalah fakta bahwa anak-anak sangat mudah terjatuh saat bermain. Kondisi bermain di luar ruangan biasanya juga disertai gerakan motorik kasar, seperti berlari, melompat, menendang, berayun, memanjat (Rivkin, 2000). Kegiatan ini dapat menimbulkan luka yang parah apabila membentur permukaan yang keras. Oleh karena itu, penggunaan alas yang keras perlu diganti dengan alas yang lebih empuk, seperti rumput, pasir, ataupun serpihan kayu.
Keberagaman bentuk alam merupakan hal yang perlu diperkenalkan dengan anak-anak. Namun, bentuk-bentuk yang bersifat dapat melukai, misalnya dahan yang terlalu runcing, duri yang besar dan tajam, hewan-hewan yang dapat menggigit, perlu ditempatkan di tempat yang tidak terjangkau oleh anak, tetapi masih bisa tetap terlihat oleh anak-anak agar anak-anak tetap mengenal berbagai keragaman alam serta bentuk-bentuk di dalam alam yang tak terbatas.
Berbagai problem lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan arena bermain adalah pemasangan jarak antara alat bermain yang satu dengan yang lainnya, pemasangan yang tidak memadai (misalnya paku yang mencuat, penanaman ke tahan yang kurang kokoh dll.)., pemeliharaan arena bermain yang kurang memadai sehingga alat-alat yang ada menjadi rusak dan dapat mengundang bahaya bagi anak-anak yang bermain di dalamnya. Hal yang lebih utama untuk melindungi anak dari cidera sebenarnya adalah perlunya informasi bagi anak-anak cara aman untuk bermain di areal permainan tersebut (US Consumer Product Safety, dalam Henniger, 1993/1994).



Penutup
Hal terakhir yang perlu diperhatikan dalam pengembangan arena bermain untuk mengembangkan penghargaan terhadap alam adalah bukan saja dari segi fisik tetapi juga suasana psikologis saat anak bermain di dalamnya. Dalam hal ini, filosofi dari orang dewasa yang membiarkan anak-anak bermain di arena tersebut perlu mendapatkan perhatian pula. Adanya arena bermain yang sangat mengundang tidak akan bermanfaat banyak apabila orang dewasa yang ada di sana melarang anak-anak untuk bermaindengan maksimal karena takut anak menjadi kotor atau terlalu kuatir bila mereka cidera. Dalam penelitian Malone & Tranter (2003) sikap guru-guru terhadap murid untuk membiarkan murid bermain dengan bebas di arena bermain di sekolahnya telah memungkinkan anak-anak memanfaatkan arena bermain dengan maksimal untuk mengenal lingkungan. Pada penelian itu, kondisi kotor dapat diatasi dengan guru diijinkannya anak-anak membawa sepatu ataupun baju ganti pada saat mereka bermain. Selain itu, penelitian Chawla (2006) juga menemukan bahwa ajakan orang tua untuk mencintai alam dengan berbincang tentang alam dan ikut bermain di alam merupakan hal lain yang akan menolong pengembangan penghargaan anak terhadap alam.


Dan yang terakhir, desain arena bermain yang baik harus mencapai sasaran penting dan paling utama dari anak-anak untuk bermain: yaitu bersenang-senang (Frost dan Wortham dalam Henniger, 1993/1994). Oleh karena itu, arena bermain dapat dikatakan sebagai arena bermain yang berhasil adalah bila tempat tersebut mampu membuat anak-anak menikmati waktunya dengan maksimal, dan menjadikan waktu penuh kenangan yang tak terlupakan bagi anak-anak, yang membuat anak-anak ingin selalu kembali dan kembali lagi untuk bermain.

REFERENSI

Barrows, A. (1995). The Ecopsychology of Child Development, dalam T. Roszak, M.E. Gomes & A.D. Kanner (Eds) Ecopsychology: Restoring the Earth, healing the mind. New York: Sierra Press.

Bulut, Z. dan Yilmaz, S. Permaculture Playscape. International Journal of Natural and Engineering Science, 1 (2), 35-40.

Bundy, A., Naughton, G., Tranter, P. Wyver, S. Luckett, T. & Singleton, E. 2008. Pooping the Bubblewrap. Diunduh tanggal 20 Juli 2008, dari www. fhs.usyd.edu.au/ols/research/poping.html

Chawla, L. 2006. Learning to Love the Natural World Enough to Protect. Diunduh tanggal 20 Juli, 2008 dari www.childrenandnature,org/uploads/chawla_learningtolove.pdf

Driscoll, A. & Nagel, N.G. (1999). Early Childhood Education Birth – 8: The world of children, families and educators. Boston: Allyn & Bacon.

Feist, J. & Feist, G.J. 2006. Theories of Personality. Boston: Mc Graw Hill Publisher.
Finger, M. 1993. Environmental Adult Learning in Switzerland, Occational Paper Series no 2. Center for Adult Education, Teacher College, Columbia, New York.

Fjørtoft, I & Sageie, J. 2000. The natural environment as a playground for children Landscape description and analyses of a natural playscape. Landscape and Urban Planning, Vol 48, , 83-97

Henniger, M.L. (1993/1994). Enriching the Outdoor Play Experience. Childhood Education, 70, 87-90.

Herrinton, S. & Studtmann, K. (1998). Landscape Interventions: new Directions of the design of children’s outdoor play environment. Landscape and Urban Planning, 42, 191-205.

Huffman, K., Vernoy, M. & Vernoy, J. (1997). Psychology in Action. New York: John Willey and Sons.

Malone, K. & Tranter, P. 2003. Children’s Environmental Learning and the Use, Design and Mangement of Shcoolgrounds. Children, Youth and Environment, Vol 3. Diunduh tanggal 21 Juli 2008, dari http://colorado.edu/journals/cye

Mc Kendrick, J., Bradford, M. & Fiedler, A. (2000). Kid Customer? Commercialization of Playspace and the Commodification of Childhood. Childhood, 7: 295-314.

Metzner, R. 1999. Green Psychology: Transforming Our Relationshop to The Earth. California: Inner Tradition International, Limited.

Moore, RC, Goltsman SM & Iacofano, DS 1992, Play for All Guidelines: Planning, Design and Management of Outdoor Play Settings for All Children, MIG Communications, Berkeley,CA.

Moore, R. & Wong, H. (1997). Natural Learning: Rediscovering Nature’s way of Teaching. Berkeley: CA MIG Communication.
Nabhan, G. & Trimble, S. (1994). The Geography of Childhood: Why Children Need Wild Places. Boston, MA: Beacon Press.

Nicholson, S., 1971. How Not to cheat children. The theory of loose parts. Landscape Architecture, 62, 30–34.

Johnson, J.M. 2000. Design for Learning: Values, Qualities, and Process of Enriching School Landscapes. Diunduh tanggal 20 Juli 2008, dari www.asla.org/latis1/latis-cover.htm

Johnson, L.M. 2008. American Playgrounds and Schoolyards – A Time for Change. Diunduh 21 Juli 2008 dari www.openspace.eca.uk/conference/proceedings/PDF/Macmillan.pdf.
Orr, D.W. (1993). Love it or Loose it: The coming biphilia revolution. Dalam S.R. Kellert dan E.O. Wilson (Eds). The Biophilia Hyphothesis. Washington DC: Island Press.

Palmer, J. (1993). Development of concern for the environment and formative
experiences of educators. Journal of Environmental Education 24: 26-30

Phenice, L. & Griffore, R. (2003). Young Children and the Natural World. Contemporary Issues in Early Childhood, 4 (2), 167-178.

Pyle, R. (2002). Eden in a vacant lot: Special places, species and kids in community of life. In: Children and Nature: Psychological, Sociocultural and Evolutionary Investigations. Kahn, P. and Kellert, S. Cambridge, MA: MIT Press

Sebba, R. (1991). The landscapes of childhood. Environment and Behavior, 23(4), 395-422.

Shultz, P., Wesley, S.C., Tabanico, J.J. & Khazian, A.M. 2004. Impliticit connections with nature. Journal of Environmental Psychology. 24 (1) 31-42.

Sobel, D. (1996). Beyond Ecophobia: Reclaiming the Heart of Nature Education. Great Barrington, MA: The Orion Society.

Rivkin, M.S. 2000. Outdoor Experiences for Young Children diunduh 20 Juli 2008 dari www. vtaide. com/png/ERIC/outdoor-XP.htm

White, R. 2006. Young Children’s Relationship with Nature: Its Importance to Children’s Development and the Earth’s Future. Diunduh tanggal 20 Juli 2008 dari www.whitehutchinson,com/children/articles/childrennature.shtml

White, R. dan Stoecklin, V. (1998). Children;s Outdoor Play & Learning Environments: Returning to Nature. Diunduh Juni 11, 2004 dari www. Whitehutchinson.com/children/articles/outdoor.shtml

Worth, J. (2003). Book review of Greening School Grounds: Creating Habitats for Learning. Children, Youth and Environment, vol 13 (2). Diunduh Juni 9, 2004. dari eye. Colorado. Edu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto saya
Love arts and jokes... Life is tasteless without both of it!