Leelou Blogs
topbella

Selasa, 07 Desember 2010

ANAK CERDAS DAN BAHAGIA



Oleh: Berta Esti Ari Prasetya, SPsi., M.A.


Definisi kecerdasanpun ada berbagai macam. Ada istilah IQ (Intelektual quotation), EQ (emotional quotation= kecerdasan emosional), AQ (Adversity quotation= kecerdasan untuk tak pernah menyerah menghadapi tantangan), bahkan SQ (Spiritual quotation= kecerdasan spiritual). Namun meskipun disebutkan bahwa kecerdasan bisa saja ada berbagai macam, tetap saja kecerdasan intelektual merupakan bentuk kecerdasan yang paling diinginkan oleh orang tua agar dimiliki oleh anak. Hal ini bisa dimaklumi mengingat kecerdasan intelektual sering diidentikkan dengan keberhasilan seseorang, hidup yang mapan dan enak, kekayaan yang menumpuk serta segudang penghargaan dan penghormatan. Oleh karena itu tidak heran banyak pihak mengembangkan berbagai cara untuk mendapatkan “anak yang cerdas”. Bahkan sekolah-sekolah khusus menawarkan berbagai les kecerdasan yang menjamin anak untuk menjadi genius dan memiliki memori super.

Mengembangkan Kecerdasan Intelektual
Berbagai literature menyebutkan bahwa pengembangan kecerdasan intelektual dimulai sejak anak dalam kandungan, karena kecerdasan intelektual akan sangat tergantung pada bagaimana terbentuknya “otak” itu sendiri pada masa konsepsi. Mendapatkan berbagai nutrisi yang cukup, menghindari berbagai trauma fisik maupun psikis, serta menghindari zat-zat yang berbahaya merupakan hal-hal yang disarankan kepada para ibu hamil untuk mendapatkan anak yang berpotensi memiliki otak yang cerdas. Selebihnya, pengembangan kecerdasan intelektual dianggap perlu untuk terus dikembangkan dari masa bayi hingga seterusnya dengan memberikan berbagai stimulasi pada anak.
Jensen (1998) menyebutkan bahwa kecerdasan intelektual dimulai dari adanya nutrisi yang cukup dikonsumsi oleh anak. Anak juga perlu dihindarkan dari makanan-makanan yang dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan otak, seperti terlalu banyak gula, lemak, kolestrol, bahan-bahan pengawet,  maupun MSG. Secara khusus ia menyebutkan bahwa air, merupakan hal esensial yang dibutuhkan oleh anak untuk proses belajar, karena otak manusia manusia sebagian besar terdiri dari air, sehingga asupan air sangat dibutuhkan untuk kesehatan otak. Pentingnya pasokan oksigen juga sangat diperlukan bagi otak, anak perlu disediakan ruang dengan oksigen yang cukup untuk bisa tercapai maksimalnya proses belajar seseorang.
  Selanjutkan Jensen (1998) juga menyebutkan bahwa untuk mendapatkan kerja otak yang maksimal pada usia 0-60 bulan ada beberapa saran praktis yang ia sarankan sebagai berikut:


0-18 bulan
18-60 bulan
Emosi
Memberikan perhatian dan kasih sayang, pelukan, tawa, senyum, keterikatan dengan anak, menghindari memberikan ancaman pada anak
Jadilah contoh bagi anak untuk menunjukkan rasa empati, sediakan rumah yg menyenangkan & gembira, berikan aturan yg jelas, hindari bentakan-bentakan.
Motorik
Mendorong merangkak, duduk, menunjuk-nunjuk, menggunakan bola, suara-suara dan berbagai mainan, menyediakan suatu mainan yang bisa dipegang, mengayun-ayun anak.
Dorong anak utk memainkan berbagai permainan, kesempatan untuk mengeksplorasi dunianya tapi dengan aman, dorong main alat musik.
Penglihatan
Gunakan objek dengan berbagai bentuk, warna, jauhi televisi.
Dorong permainan yg membutuhkan konsentrasi dan koordinasi tangan, menyediakan waktu bermain di luar ruang, hindari TV.
Pendengaran
Mengenalkan anak pada berbagai kalimat, volume-volume tinggi dengan suara yg harmonis (misalnya musik klasik), nada-nada, mengulang suara
Ajarkan kalimat-kalimat yg lebih panjang, bahasa kedua, kosa kata yg semakin kaya (mis: dg dibacakan buku) dengan berbagai konteks yg berbeda.
Berpikir
Perkenalkan berhitung sederhana, tunjukkan kejadian sebab akibat.
Gunakan demonstrasi-demonstrasi untuk menunjukkan sesuatu pada anak, serta matematika dasar
Musik
Nyanyikan lagu-lagu nina bobo, berikan anak mainan yang bersuara, perdengarkan rima-rima
Bernyanyi, kenalkan pada musik-musik harmonis dan berbagai macam jenis musik.
Nutrisi
ASI yang cukup dan makanan bernutrisi, hindari lemak berlebihan.
Kenalkan pada berbagai macam jenis makanan, sertakan makanan dengan serat tinggi dan vitamin yg cukup.
 
Selanjutnya Jensen menyebutkan bahwa anak perlu mendapatkan pengayaan melalui:
a)      Pengayaan melalui bahasa dan kosa kata: disarankan orangtua mulai membacakan bagi anaknya cerita-cerita sejak anaknya berumur 6 bulan. Kosa kata yang semakin banyak dan bervariasi akan memicu saraf di otak sehingga siap dan memiliki kemampuan kuat di bidang bahasa dan kosa kata. Pemahaman akan kosa kata akan membuka peluang bagi semakin kayanya pengetahuan anak.
b)      Pengayaan melalui latihan motorik: Berbagai permainan membutuhkan kemampuan anak untuk berkonsentrasi, koordinasi mata, serta pemecahan masalah. Hal ini akan mendorong aktivitas di otak sehingga menjadi lebih efektif.
c)      Pengayaan melalui pemecahan masalah: Anak perlu diberi berbagai permainan yang membutuhkan analisa, mengembangkan strategi, dan belajar memecahkan masalah.
d)      Pengayaan melalui seni: areal yang teraktivasi dalam otak oleh musik merupakan areal yang juga digunakan untuk berpikir abstrak. Penelitian Lamb & Gregory menemukan kemampuan membedakan nada berhubungan dengan kemampuan membaca.
e)      Pengayaan melalui lingkungan: ciptakan lingkungan yang penuh dengan stimulasi bagi anak, gambar-gambar yg mengembangkan imajinasi, pengetahuan dan menimbulkan rasa keingintahuan anak.    

Yang lebih dari sekedar kecerdasan intelektual
Apabila anak kita sudah mendapatkan kecerdasan intelektual yang diperlukan, apakah anak ini bisa dikatakan anak yang berhasil? Kita sering terjebak dalam konsep anak yang berhasil hanyalah anak yang melulu memiliki segala hal yang dapat memberikan kebanggaan bagi orang tua di depan masyarakat. Terkadang kita lupa mencantumkan pentingnya “perasaan” anak kita sendiri tentang bagaimana menjadi dirinya.     
Bettelheim (1987) menegaskan bahwa indikasi bahwa kita telah membesarkan anak dengan benar bukan hanya produk luar bahwa anak itu telah mencapai gelar kesarjanaan tertentu atau jumlah materi ini atau itu. Tetapi yang terutama adalah bahwa anak tersebut menjadi orang yang mampu mengatasi persoalan-persoalan hidupnya bahkan yang berat. Ia mampu melakukan hal tersebut terutama karena dia memiliki rasa aman terhadap dirinya sendiri, meskipun bukan berarti bahwa dia tidak selalu bebas dari rasa ragu terhadap dirinya sendiri (karena hanya orang-orang yang terlalu sombong yang sama sekali tak pernah ragu akan dirinya sendiri). Ia orang yang punya inner- life yang kaya (kehidupan di dalam  pribadinya) dan membahagiakan, yang membuatnya puas akan hidupnya sendiri. Mampu menjaga hubungan yang memuaskan, “tahan lama”, dan dekat dengan orang lain, baik orang tua, saudara-saudara, serta orang-orang yang dikasihinya. Mereka juga orang yang bisa menikmati pekerjaannya, dan puas dengan apa yang dibuatnya dalam kehidupan ini. Anak-anak yang seperti inilah yang dapat bertahan dalam arus kehidupan yang bagaimanapun juga, yang tidak mudah terpengaruh meskipun diterpa arus informasi yang mungkin saja menyesatkan seperti sekarang ini, baik melalui TV, internet, film, musik dll.
Sebagai orang beriman, kita tentu memiliki konsep pula bahwa anak yang berhasil adalah anak yang suatu kali akan menemukan TUHAN-nya. Seperti diungkapkan oleh seorang penulis bahwa tugas utama seorang ibu dalam membesarkan anak adalah mengenalkan anaknya pada sang Khalik yang telah mengirimnya ke kandungan seorang ibu, supaya bahkan sejak anak dalam kandungan sang ibu, ibu sudah mulai berdoa dan membimbing supaya si anak dapat belajar tentang Tuhannya, sehingga suatu saat si anak dapat mengenalNya dan berbicara kepada Tuhannya.
Dalam hal ini, maka yang disebut membesarkan anak dengan benar bukan hanya menciptakan anak yang sekedar patuh pada perintah orang tua, dan “baik” dalam pandangan masyarakat saja, tapi yang penting adalah anak yang mampu mengembangkan prinsip hidupnya sendiri yang bertanggung jawab, mandiri, kreatif, dan memiliki kehidupan pribadi yang hidup, dan menikmati serta bahagia menjadi dirinya sendiri, dan yang tak kalah penting adalah mengenal Allahnya yang benar. Akhirnya anak yang tidak hanya memiliki IQ tapi juga EQ dan SQ. 

Membesarkan Anak yang Bahagia
Agar anak tumbuh menjadi anak yang sehat secara mental, orangtua perlu untuk dapat memberikan stimulus yang tepat sesuai dengan dengan tahap perkembangan anak. Hal ini tercermin dalam konsep delapan tahap perkembangan Erikson (dalam Santrock, 1995).

  1. Trust vs mistrust (percaya – tidak percaya): tahun pertama.
Pada anak usia ini, mereka membutuhkan perasaan nyaman secara fisik, bebas dari rasa takut dan cemas akan kelangsungan hidupnya. Bila kebutuhan anak dasar dipenuhi oleh pengasuh dengan kasih sayang, pengasuh tanggap dan peka terhadap kebutuhan anak, maka anak akan berkembang menjadi anak yang memiliki trust(kepercayaan) akan orang di sekitarnya. Ia akan percaya bahwa dunia dimana dia tinggal adalah dunia yang baik. Sebaliknya bila anak diasuh dengan kasar, kebutuhan fisiknya tidak dipenuhi, merasakan ketidaknyamanan fisik dan memiliki rasa cemas dan takut, maka ia akan mengembangkan mistrust (ketidakpercayaan). Dia cemas akan dunia di sekitarnya. Sehingga tugas utama ibu pada masa ini adalah memenuhi kebutuhan fisiknya, membebaskan anak-anak ini dari rasa cemas dan takut. Bettleheim (1987) menambahkahan bahwa perkembangan diri, punya dasar pada “body-self” (tubuh fisik) satu hal terbaik yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk membantu anak mengembangkan body-self yang positif terhadap tubuhnya adalah dengan membuatnya merasa baik mengenai tubuhnya dan apa yang bisa dilakukan tubuh bagi anak itu, dan betapa orang tua menghargai tubuh anak dan menyayanginya, sehingga anak akan melakukan hal yang sama terhadap tubuhnya sendiri. Hal ini bisa ditunjukkan oleh ibu dengan cara merawat anak dengan lembut dan menghargainya. Penghargaan orang tua ini akan membuat anak menyadari juga untuk menghargai tubuhnya sendiri, dan punya keinginan supaya tubuhnya tidak rusak. Di masa-masa mendatang, penghargaan terhadap tubuhnya sendiri ini bisa menjadi dasar bagi terhindarnya anak dari tindakan-tindakan merusak tubuhnya baik melalui obat-obatan terlarang, rokok, seks bebas dll.

  1. Otonomi vs doubt (Otonomi – Rasa malu atau ragu-ragu): tahun ke-2.
Pada umur ini, bayi yang memiliki rasa percaya pada lingkungannya akan berani mencoba beberapa hal, dan akhirnya tahu bahwa dirinya bisa melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Ia mengembangkan kemampuan otonomi atau kemandirian. Apabila orang tua mendukung, memuji usahanya, dia akan semakin yakin bahwa ia mampu merasakan kemandirian mereka. Namun sebaliknya jika bayi dibatasi, dihukum terlalu keras yang tidak pada tempatnya, maka cenderung akan mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu akan kemampuan dirinya (doubt/ragu-ragu). Sehingga tugas utama ibu pada masa ini adalah mendukung anak, memuji “usaha”-nya untuk mandiri, memberikan pengakuan yang diperlukan anak sehingga anak meyakini bahwa ia memiliki otonomi atas hidupnya sendiri.

  1. Industry vs guilty feeling (Prakarsa – Rasa bersalah): usia pra-sekolah 3-5 th.
Pada perkembangan berikutnya anak-anak dihadapkan pada tantangan yang lebih luas, lingkungan yang lebih luas. Anak-anak yang memiliki kemandirian, dalam masa sekolahnya semakin ingin menunjukkan bahwa ia mampu membuat sesuatu, punya prakarsa memproduksi sesuatu, memiliki keberhasilan-keberhasilan dalam hidupnya. Sebaliknya bila anak ragu-ragu, ia tidak akan dapat memproduksi terlalu banyak dalam masa sekolahnya. Hal ini akan menimbulkan perasaan bersalah dalam diri anak dan rasa cemas. Pada masa ini ibu perlu memberikan pengakuan atas keberhasilan anak sekecil apapun, meyakinkan anak bahwa dengan usahanya ia akan mampu menghasilkan sesuatu. Kritik yang berlebihan hanya akan menimbulkan perasaan bersalah dalam diri anak. Pertanyaan bagi kita semua, sejauhmana kita sudah “menyatakan” pengakuan kita terhadap anak kita selama ini?

  1. Tekun dan rasa rendah diri (tahun 6 sampe awal pubertas).
Anak-anak yang tahu bahwa ia mampu memiliki prakarsa dan menghasilkan sesuatu yang baik, menyadari bahwa pekerjaannya tidak sia-sia. Mereka akan mengembangkan sikap tekun dalam menjalani tantangan-tantangan di masa kanaknya. Sebaliknya, anak yang memiliki banyak rasa bersalah, merasa tidak mampu berprakarsa dan menghasilkan sesuatu yang berharga akan mengembangkan sikap rendah diri. Dihadapkan pada masalah bersekolah, orang tua dan anak sering dihadapkan pada konflik terutama hal-hal yang berhubungan dengan prestasi anak di sekolah. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa tahap kemampuan berpikir seorang anak dan orang tua itu berbeda. Kemampuan orang tua untuk berpikir jangka panjang, mampu membuat orang tua begitu kawatir dengan prestasi belajar anak-anaknya yang rendah, yang mungkin bisa membuat masa depannya terasa suram. Sementara anak sendiri berpikir yang dimaksudkan dengan masa depan adalah “besok pagi”, karena kemampuan berpikirnya masih pada hal-hal yang terlihat dengan jelas, tampak di depan mata, yaitu hari ini, sementara bagi orang tua, esok hari adalah sangat penting.


  1. Identitas dan kebingungan identitas (masa remaja 10-20th).
Kemampuan berpikir anak mulai berkembang, pada masa ini anak mulai mencari jati dirinya. Anak yang sebelumnya telah mengembangkan kemandirian, industry, dan rasa tekun akan memiliki gambaran diri yang jelas tentang dirinya. Sementara yang dipenuhi rasa ragu, rasa bersalah, rasa rendah diri akan mengalami kebingungan siapakah dirinya.
Pada masa ini ibu perlu menyadari sikap khas masa ini adalah bahwa anak sedang berusaha menunjukkan bahwa dirinya memiliki kemauan mereka sendiri yang mungkin berbeda dari kemauan sang ibu. Ibu perlu menunjukkan penghargaannya atas kemandirian anak dan pemahamannya atas ide-ide anak yang mungkin berbeda dari sang ibu, meskipun tanpa harus selalu setuju atas ide-ide tersebut. Komunikasi yang baik yang telah dipupuk dari masa-masa sebelumnya akan menjadi jembatan bagi dilakukannya diskusi antara kedua belah pihak.

Penutup
Bettleheim (1987) menyebutkan bahwa setiap anak begitu unik, sehingga teori untuk membesarkan anak tidak bisa begitu saja digeneralisir untuk semua orang. Beberapa penelitian juga dicatat oleh Gray (2001) menemukan bahwa setiap anakpun mempengaruhi cara orang tua membesarkan anak-anak itu dengan cara yang berbeda. Setiap anak bereaksi dengan cara yang berbeda pula dalam menanggapi tindakan orang tuanya, sehingga hal ini juga rupanya membuat orang tuanya memperlakukan anak dengan cara yang khas sendiri-sendiri, sehingga kita harus selalu tanggap terhadap sifat “UNIK” sang anak.
Sehubungan dengan hal di atas, maka hal yang diperlukan untuk menjadi ibu yang efektif bukanlah hanya sekedar teknik, tetapi yang lebih utama adalah menjadi ibu yang “tanggap”, dan sensitive terhadap kebutuhan dan reaksi anak. Sebagaimana Bettleheim (1987) mengggarisbawahi bahwa orang tua harus selalu bersedia mengevaluasi setiap langkah yang dibuatnya dan melihat apakah langkah mereka sudah efektif. Untuk hal ini, maka keahlian pertama yang paling penting dalam membesarkan anak adalah “sikap empati” terhadap anak, yaitu berusaha menyelami apa yang kira-kira dirasakan oleh anak, apa sebenarnya motif dari setiap tindakan anak, apa kebutuhan yang sedang dipenuhi oleh anak-anak sehingga mereka bersikap tertentu? Dengan kemampuan ini orang tua dapat menilai apakah tindakan yang telah dilakukannya tepat bagi anak tersebut, atau sebaliknya justru telah melukai perasaan anaknya, yang menyebabkan reaksi yang tidak diharapkan dalam jangka panjang.  Benarkah ia berniat demi kepentingan anak? Atau ia sebenarnya sedang memanipulasi anak demi kepentingan pribadi mereka sendiri?  
Selain itu, orang tua adalah model nyata bagi anak. Sehingga untuk mengajarkan anak untuk berkembang menjadi orang yang baik, kita sendiri harus telah menjadi “contoh hidup” dari hal-hal yang kita ajarkan kepada anak kita. Menjadi “orang yang bertumbuh”, “berkembang” bukan saja menjadi tugas bagi anak-anak kita, tetapi terutama tentu juga menjadi “PR” bagi diri kita sendiri. Hanya dengan cara inilah anak-anak kita mendapat “contoh hidup” mengenai kehidupan yang tak pernah mandeg, proses belajar yang tak pernah berhenti, perjuangan untuk menjadi “lebih baik” yang tak pernah berkesudahan.  
Hal terakhir yang perlu diingat adalah fakta bahwa anak berkembang dari masa dependency ke self-sufficiency (mampu memenuhi kebutuhannya sendiri) (Lamanna & Riedman, 1994). Ini mengindikasikan bahwa mau tidak mau orang tua semestinya menyadari bahwa secara alamiah mereka akan mengalami bahwa kemampuan mengontrol anak-anak akan semakin menurun (Gray, 2001), dalam arti, bahwa lama kelamaan anak-anak akan semakin mandiri untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri dan tidak lagi dibawah kontrol orang tua lagi. Lebih lanjut Gray (2001) mengingatkan bahwa tugas “membesarkan anak” ada masanya berhenti. Anak-anak suatu saat akan menjadi orang dewasa yang tahu menentukan hidupnya sendiri. Kita harus menyadari kapan saatnya kita sudah berhenti dari tugas ini dan menghargai mereka sebagai orang dewasa yang mandiri dan bukan lagi menjadi tanggung jawab kita sepenuhnya.  Sebagian orangtua tidak tahu kapan berhenti bertindak “membesarkan anak”, sehingga saat anak-anak sudah mampu menentukan kemauannya sendiri orang tua masih ngotot mendikte dan masih merasa dia berkuasa atas hidup anak-anaknya. Hal ini hanya akan menimbulkan konflik berkepanjangan antara orang tua dan anak yang tidak semestinya.
Lepas dari segala persoalan dan peliknya tugas pengasuhan anak, satu hal yang penting untuk dikembangkan oleh orang tua adalah membangun harga diri dan keyakinan dirinya menjadi orang tua. Yang penting adalah orang tua juga belajar menyadari keterbatasannya dan mengakui bahwa sebagai manusia kita tak pernah lepas dari kesalahan. Daripada merasa bersalah dan berduka atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya, orang tua juga tetap memfokuskan pikirannya pada kenyataan bahwa ia telah juga melakukan hal-hal yang baik bagi perkembangan anak-anaknya. Sehingga menjadi “orang tua” akan senantiasa menjadi pengalaman yang membahagiakan dan menyenangkan.

Daftar Pustaka:

Bettelheim, B. (1987). A Good Enough Parents. New York : Vintage Books
Gray, J. (2001). Children are from heaven. Jakarta: Gramedia Pustaka
Jensen, E. (1998). Teaching with the Brain in Mind. USA: ASCD
Lamanna dan Riedman (1994). Marriage and Families. California: International Thompson Publishing
Santrock (1995). Life Span Development. Jakarta: Erlangga


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto saya
Love arts and jokes... Life is tasteless without both of it!