Oleh Berta Esti Ari Prasetya
Menjadi “ibu” jaman sekarang, adalah tugas yang penuh tantangan. Ada berbagai persoalan besar yang dihadapi para ibu dalam rangka membesarkan anaknya di masa sekarang dibandingkan di masa-masa dahulu. Sebagaimana dicatat oleh Lamanna dan Riedman (1994), berbagai persoalan itu misalnya:
- Semakin banyaknya ibu yang bekerja dan tidak hanya menjadi ibu rumah tangga. Hal ini mengakibatkan semakin minimnya waktu yang bisa diberikan oleh ibu untuk memfokuskan perhatian mereka kepada anak.
- Adanya standard yang lebih besar untuk membesarkan anak dibandingkan jaman dulu: Misalnya membesarkan anak sekarang tidak boleh memakai kekerasan (sudah ada Undang-Undang Anti Kekerasan terhadap Anak) sehingga perlu mengembangkan teknik lain, anak dituntut masyarakat untuk menguasai berbagai ketrampilan yang lebih kompleks daripada dulu (misalnya harus bisa internet, sempoa, bisa berenang, bisa bahasa Inggris dan Mandarin, materi pelajaran yang sangat banyak, dll.); juga kenyataan bahwa saat ini memiliki anak yang bisa lulus kuliah dan berpendidikan baik bukan lagi “pilihan” tapi semacam keharusan.
- Orang tua jaman sekarang membesarkan anak dalam masyarakat majemuk yang memiliki berbagai “nilai keyakinan” yang beraneka rupa, yang kadang bisa menimbulkan konflik. Hal ini terjadi karena makin majunya teknologi yang memungkinkan penyebaran informasi dan nilai-nilai keyakinan melalui berbagai sumber seperti: TV, film-film, buku, musik, internet, dll. yang bisa saja bertentangan dengan nilai-nilai yang telah kita ajarkan pada anak.
- Semakin getolnya orang-orang melakukan penelitian bagi perkembangan anak. Berbagai hasil penelitian meyakinkan bahwa sikap orang tua terhadap anak mempengaruhi IQ, kemampuan menghargai diri sendiri anak, keberhasilan anak di masa mendatang, kepribadian anak, dll. Hal ini semakin membuat orang tua, terutama ibu, yang sering ditunjuk sebagai “petugas membesarkan anak di rumah”, menjadi merasa bersalah dan cemas, takut bila telah melakukan kesalahan dalam membesarkan anak.
- Jenis keluarga yang semakin beragam dengan adanya kawin cerai, memungkinkan orang memiliki anak tiri, keluarga tanpa bapak atau ibu dll. Sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi para keluargapun semakin kompleks dan beragam.
Namun lepas dari semua persoalan itu, tetap perlu diingat juga bahwa kita saat ini memiliki banyak keuntungan dibandingkan dari orangtua jaman dulu. Misalnya di saat ini pemahaman tentang kesehatan sudah semakin membaik. Banyak penyakit anak yang sudah ditemukan obatnya, sehingga orang tua sudah tidak begitu kawatir lagi dibandingkan sekian tahun yang lampau mengenai kesehatan anak. Informasi mudah tersebar, sehingga memungkinkan pemberian informasi tentang perawatan anak melalui berbagai seminar, buku-buku petunjuk dan hasil2 penelitian yang dapat membantu cara membesarkan anak, baik dari TV, internet, film dll. Masa sekarang suami juga lebih terlibat dalam pengasuhan anak dibandingkan masa dulu, sehingga suami bisa menjadi teman sekerja para ibu dalam membesarkan anak, sehingga tanggung jawab pengasuhan anak tidak hanya dibebankan pada kaum ibu saja.
Dalam berbagai tantangannya menjadi ibu jaman sekarang, Semua ibu tentu mendambakan untuk dapat membesarkan anak yang “berhasil” meskipun harus berhadapan dengan tantangan jaman ini. Dalam hal ini, hal pertama yang perlu dikaji tentu adalah apakah konsep anak yang “berhasil” yang telah kita miliki itu sudah tepat. Seperti apakah anak berhasil? Apakah mereka yang bisa sukses menjadi orang kaya, bergelar kesarjanaan tertentu, patuh dan tunduk pada perintah orang tua? Kita sering terjebak dalam konsep anak yang berhasil hanyalah anak yang melulu memiliki segala hal yang dapat memberikan kebanggaan bagi orang tua di depan masyarakat. Terkadang kita lupa mencantumkan pentingnya “perasaan” anak kita sendiri tentang bagaimana menjadi dirinya.
Bettelheim (1987) menegaskan bahwa indikasi bahwa kita telah membesarkan anak dengan benar bukan hanya produk luar bahwa anak itu telah mencapai gelar kesarjanaan tertentu atau jumlah materi ini atau itu. Tetapi yang terutama adalah bahwa anak tersebut menjadi orang yang mampu mengatasi persoalan-persoalan hidupnya bahkan yang berat. Ia mampu melakukan hal tersebut terutama karena dia memiliki rasa aman terhadap dirinya sendiri, meskipun bukan berarti bahwa dia tidak selalu bebas dari rasa ragu terhadap dirinya sendiri (karena hanya orang-orang yang terlalu sombong yang sama sekali tak pernah ragu akan dirinya sendiri). Ia orang yang punya inner- life yang kaya (kehidupan di dalam pribadinya) dan membahagiakan, yang membuatnya puas akan hidupnya sendiri. Mampu menjaga hubungan yang memuaskan, “tahan lama”, dan dekat dengan orang lain, baik orang tua, saudara-saudara, serta orang-orang yang dikasihinya. Mereka juga orang yang bisa menikmati pekerjaannya, dan puas dengan apa yang dibuatnya dalam kehidupan ini. Anak-anak yang seperti inilah yang dapat bertahan dalam arus kehidupan yang bagaimanapun juga, yang tidak mudah terpengaruh meskipun diterpa arus informasi yang mungkin saja menyesatkan seperti sekarang ini, baik melalui TV, internet, film, musik dll.
Sebagai orang beriman kita tentu memiliki konsep pula bahwa anak yang berhasil adalah anak yang suatu kali akan menemukan TUHAN-nya, menerima Kristus sebagai juru selamat pribadinya dan menjadi bagian dari orang-orang yang diselamatkan. Seperti diungkapkan oleh seorang penulis bahwa tugas utama seorang ibu dalam membesarkan anak adalah mengenalkan anaknya pada sang Khalik yang telah mengirimnya ke kandungan seorang ibu, supaya bahkan sejak anak dalam kandungan sang ibu, ibu sudah mulai berdoa dan membimbing supaya si anak dapat belajar tentang Tuhannya, sehingga suatu saat si anak dapat mengenalNya dan berbicara kepada Tuhannya.
Dalam hal ini, maka yang disebut membesarkan anak dengan benar bukan hanya menciptakan anak yang sekedar patuh pada perintah orang tua, dan “baik” dalam pandangan masyarakat saja, tapi yang penting adalah anak yang mampu mengembangkan prinsip hidupnya sendiri yang bertanggung jawab, mandiri, kreatif, dan memiliki kehidupan pribadi yang hidup, dan menikmati serta bahagia menjadi dirinya sendiri, dan yang tak kalah penting adalah mengenal Allahnya yang benar.
Membesarkan Anak
Sebelum kita berbicara tentang “teknik” membesarkan anak, ada yang perlu diperhatikan seperti yang dinyatakan oleh Bettleheim (1987) bahwa membesarkan setiap anak memiliki pengalaman yang berbeda-beda antara anak satu dan yang lain. Setiap anak begitu unik, sehingga Bettelheim (1987) pun berpendapat bahwa teori untuk membesarkan anak tidak bisa begitu saja digeneralisir untuk semua orang. Beberapa penelitian juga dicatat oleh Gray (2001) menemukan bahwa setiap anakpun mempengaruhi cara orang tua membesarkan anak-anak itu dengan cara yang berbeda. Setiap anak menimbulkan perasaan yang berbeda di dalam hati orang tuanya, setiap anak bereaksi dengan cara yang berbeda pula dalam menanggapi tindakan orang tuanya, sehingga hal ini juga rupanya membuat orang tuanya memperlakukan anak dengan cara yang khas sendiri-sendiri.
Hal di atas dapat diartikan bahwa meskipun kita punya teori tentang membesarkan anak, namun kita tidak boleh terjebak, dan berpatokan mati terhadap teori-teori tersebut. Namun sebaliknya kita harus selalu tanggap terhadap sifat “UNIK” sang anak. Dicontohkan oleh Bettleheim (1987) bahwa seperti dalam bermain catur, kita mungkin pernah belajar tentang metode bermain catur, namun saat benar-benar bermain, kita tidak pernah tahu bagaimana langkah yang akan ditempuh lawan catur kita. Sama seperti saat kita bermain catur, kitapun tidak pernah bisa menduga bagaimana reaksi anak, dan seberapa efektif langkah yang telah kita tempuh.
Sehubungan dengan hal di atas, maka hal yang diperlukan untuk menjadi ibu yang efektif bukanlah hanya sekedar teknik, tetapi yang lebih utama adalah menjadi ibu yang “tanggap”, dan sensitive terhadap kebutuhan dan reaksi anak. Sebagaimana Bettleheim (1987) mengggaris bawahi bahwa orang tua harus selalu bersedia mengevaluasi setiap langkah yang dibuatnya dan melihat apakah langkah mereka sudah efektif. Untuk hal ini, maka keahlian pertama yang paling penting dalam membesarkan anak adalah “sikap empati” terhadap anak, yaitu berusaha menyelami apa yang kira-kira dirasakan oleh anak, apa sebenarnya motif dari setiap tindakan anak, apa kebutuhan yang sedang dipenuhi oleh anak-anak sehingga mereka bersikap tertentu. Dengan kemampuan ini orang tua dapat menilai apakah tindakan yang telah dilakukannya tepat bagi anak tersebut, atau sebaliknya justru telah melukai perasaan anaknya, yang menyebabkan reaksi yang diharapkan dalam jangka panjang.
Pada saat yang sama, hal lain yang perlu dimiliki adalah kemampuan menyelami perasaan kita sendiri. Hal ini sangat penting mengingat hubungan antara ibu dan anak adalah hubungan antara dua individu. Para ibu bukanlah robot yang tidak memiliki perasaan, keterbatasan-keterbatasan dan kelelahan dalam menghadapi reaksi-reaksi anak yang mungkin jauh dari yang diinginkan. Memahami apa yang sedang sedang rasakan dan pikirkan dalam menghadapi anak akan menolong para ibu untuk dapat menempatkan porsi yang semestinya bagi perasaan dan pikirannya sehingga tidak perlu kehabisan energi dan tetap menikmati tugas sebagai ibu. Saat reaksi antara ibu dan anak begitu intens, para ibu perlu untuk berhenti sejenak untuk menempatkan pikiran dan perasaannya pada takaran yang semestinya. Pada saat yang sama para ibu perlu mengevaluasi, sebenarnya apa motif perilakunya sendiri saat menghadapi anak-anaknya, niat di hatinya sendiri sehingga ia bersikap tertentu terhadap anak. Benarkah ia berniat demi kepentingan anak? Atau ia sebenarnya sedang memanipulasi anak demi kepentingan pribadi mereka sendiri?
Lebih lanjut Bettleheim (1987) menyebutkan bahwa untuk menjadi orang tua yang baik, (dalam hal ini menjadi ibu yang baik), orang tua harus mampu merasa aman dan tidak cemas dalam perannya sebagai orang tua, dan hubungannya dengan anaknya. Penting pula mengenali “bagaimana perasaan kita sendiri menjadi orangtua bagi anak tersebut”. Menjadi orang tua yang baik hanya bisa dimulai dengan rasa nyamannya menjadi orang tua dan kegembiraannya menjalani peran sebagai orang tua. Rasa aman ini akan membuat anak juga merasa aman tentang dirinya sendiri (Bettleheim, 1987).
Sebelum kita membicarakan tentang bagaimana membesarkan seorang anak, yang perlu juga kita sadari adalah bahwa kita tidak hanya sedang mengajarkan kepada anak melalui apa yang kita katakan, tetapi sebagaimana dicatat dalam banyak penelitian bahwa anak belajar dari apa yang kita lakukan (Lasswell & Lasswell (1987). Orang tua adalah model nyata bagi anak. Sehingga untuk mengajarkan anak untuk berkembang menjadi orang yang baik, kita sendiri harus telah menjadi “contoh hidup” dari hal-hal yang kita ajarkan kepada anak kita. Oleh karena itu, sebelum kita sibuk memikirkan teknik apa yang tepat dan mengevaluasi teknik-teknik kita, sangat perlu kita juga selalu mengevaluasi kita sendiri saat ini ada di mana dalam jenjang atau tahap “perkembangan hidup” kita sendiri. Oleh karena itu, perlunya terus menjadi “orang yang bertumbuh”, “berkembang” bukan saja menjadi tugas bagi anak-anak kita, tetapi terutama tentu juga menjadi “PR” bagi diri kita sendiri. Sebagaimana tugas kita untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak kita dan mengajarkan kepada anak-anak kita cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, kitapun harus perduli dan mau belajar tentang bagaimana memenuhi kebutuhan kita sendiri sebagai manusia yang terus bertumbuh dan perlu untuk bertumbuh. Hanya dengan cara inilah anak-anak kita mendapat “contoh hidup” mengenai kehidupan yang tak pernah mandeg, proses belajar yang tak pernah berhenti, perjuangan untuk menjadi “lebih baik” yang tak pernah berkesudahan.
Pertanyaan berikutnya: adalah bagaimana dapat mampu menyelami kebutuhan anak, maupun menyelami kebutuhan kita sendiri sebagai ibu. Untuk mampu berempati terhadap perasaan dan kebutuhan anak, dan mengevaluasi sampai di mana perkembangan hidup kita sendiri, salah satu teori perkembangan anak mungkin dapat memberikan gambaran tentang kebutuhan anak dan kebutuhan kita sendiri sesuai dengan tahap usia anak maupun usia kita sendiri.
Delapan tahap perkembangan Erikson (dalam Santrock, 1995).
- Trust vs mistrust (percaya – tidak percaya): tahun pertama
Pada anak usia ini, mereka membutuhkan perasaan nyaman secara fisik, bebas dari rasa takut dan cemas akan kelangsungan hidupnya. Bila kebutuhan anak dasar dipenuhi oleh pengasuh dengan kasih sayang, pengasuh tanggap dan peka terhadap kebutuhan anak, maka anak akan berkembang menjadi anak yang memiliki trust(kepercayaan) akan orang di sekitarnya. Ia akan percaya bahwa dunia dimana dia tinggal adalah dunia yang baik. Sebaliknya bila anak diasuh dengan kasar, kebutuhan fisiknya tidak dipenuhi, merasakan ketidaknyamanan fisik dan memiliki rasa cemas dan takut, maka ia akan mengembangkan mistrust (ketidakpercayaan). Dia cemas akan dunia di sekitarnya. Sehingga tugas utama ibu pada masa ini adalah memenuhi kebutuhan fisiknya, membebaskan anak-anak ini dari rasa cemas dan takut. Bettleheim (1987) menambahkahan bahwa perkembangan diri, punya dasar pada “body-self” (tubuh fisik) satu hal terbaik yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk membantu anak mengembangkan body-self yang positif terhadap tubuhnya adalah dengan membuatnya merasa baik mengenai tubuhnya dan apa yang bisa dilakukan tubuh bagi anak itu, dan betapa orang tua menghargai tubuh anak dan menyayanginya, sehingga anak akan melakukan hal yang sama terhadap tubuhnya sendiri. Hal ini bisa ditunjukkan oleh ibu dengan cara merawat anak dengan lembut dan menghargainya. Penghargaan orang tua ini akan membuat anak menyadari juga untuk menghargai tubuhnya sendiri, dan punya keinginan supaya tubuhnya tidak rusak. Di masa-masa mendatang, penghargaan terhadap tubuhnya sendiri ini bisa menjadi dasar bagi terhindarnya anak dari tindakan-tindakan merusak tubuhnya baik melalui obat-obatan terlarang, rokok, seks bebas dll.
- Otonomi vs doubt (Otonomi – Rasa malu atau ragu-ragu): tahun ke-2.
Pada umur ini, bayi yang memiliki rasa percaya pada lingkungannya akan berani mencoba beberapa hal, dan akhirnya tahu bahwa dirinya bisa melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Ia mengembangkan kemampuan otonomi atau kemandirian. Apabila orang tua mendukung, memuji usahanya, dia akan semakin yakin bahwa ia mampu merasakan kemandirian mereka. Namun sebaliknya jika bayi dibatasi, dihukum terlalu keras yang tidak pada tempatnya, maka cenderung akan mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu akan kemampuan dirinya (doubt/ragu-ragu). Sehingga tugas utama ibu pada masa ini adalah mendukung anak, memuji “usaha”-nya untuk mandiri, memberikan pengakuan yang diperlukan anak sehingga anak meyakini bahwa ia memiliki otonomi atas hidupnya sendiri.
- Industry vs guilty feeling (Prakarsa – Rasa bersalah): usia pra-sekolah 3-5 th.
Pada perkembangan berikutnya anak-anak dihadapkan pada tantangan yang lebih luas, lingkungan yang lebih luas. Anak-anak yang memiliki kemandirian, dalam masa sekolahnya semakin ingin menunjukkan bahwa ia mampu membuat sesuatu, punya prakarsa memproduksi sesuatu, memiliki keberhasilan-keberhasilan dalam hidupnya. Sebaliknya bila anak ragu-ragu, ia tidak akan dapat memproduksi terlalu banyak dalam masa sekolahnya. Hal ini akan menimbulkan perasaan bersalah dalam diri anak dan rasa cemas. Pada masa ini ibu perlu memberikan pengakuan atas keberhasilan anak sekecil apapun, meyakinkan anak bahwa dengan usahanya ia akan mampu menghasilkan sesuatu. Kritik yang berlebihan hanya akan menimbulkan perasaan bersalah dalam diri anak. Pertanyaan bagi kita semua, sejauhmana kita sudah “menyatakan” pengakuan kita terhadap anak kita selama ini?
- Tekun dan rasa rendah diri (tahun 6 sampe awal pubertas).Anak-anak yang tahu bahwa ia mampu memiliki prakarsa dan menghasilkan sesuatu yang baik, menyadari bahwa pekerjaannya tidak sia-sia. Mereka akan mengembangkan sikap tekun dalam menjalani tantangan-tantangan di masa kanaknya. Sebaliknya, anak yang memiliki banyak rasa bersalah, merasa tidak mampu berprakarsa dan menghasilkan sesuatu yang berharga akan mengembangkan sikap rendah diri. Dihadapkan pada masalah bersekolah, orang tua dan anak sering dihadapkan pada konflik terutama hal-hal yang berhubungan dengan prestasi anak di sekolah. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa tahap kemampuan berpikir seorang anak dan orang tua itu berbeda. Kemampuan orang tua untuk berpikir jangka panjang, mampu membuat orang tua begitu kawatir dengan prestasi belajar anak-anaknya yang rendah, yang mungkin bisa membuat masa depannya terasa suram. Sementara anak sendiri berpikir yang dimaksudkan dengan masa depan adalah “besok pagi”, karena kemampuan berpikirnya masih pada hal-hal yang terlihat dengan jelas, tampak di depan mata, yaitu hari ini, sementara bagi orang tua, esok hari adalah sangat penting.
- Identitas dan kebingungan identitas (masa remaja 10-20th).
Kemampuan berpikir anak mulai berkembang, pada masa ini anak mulai mencari jati dirinya. Anak yang sebelumnya telah mengembangkan kemandirian, industry, dan rasa tekun akan memiliki gambaran diri yang jelas tentang dirinya. Sementara yang dipenuhi rasa ragu, rasa bersalah, rasa rendah diri akan mengalami kebingungan siapakah dirinya.
Pada masa ini ibu perlu menyadari sikap khas masa ini adalah bahwa anak sedang berusaha menunjukkan bahwa dirinya memiliki kemauan mereka sendiri yang mungkin berbeda dari kemauan sang ibu. Ibu perlu menunjukkan penghargaannya atas kemandirian anak dan pemahamannya atas ide-ide anak yang mungkin berbeda dari sang ibu, meskipun tanpa harus selalu setuju atas ide-ide tersebut. Komunikasi yang baik yang telah dipupuk dari masa-masa sebelumnya akan menjadi jembatan bagi dilakukannya diskusi antara kedua belah pihak.
- Intimacy vs Isolation (Keakraban – keterkucilan) masa dewasa awal 20-an, 30-an).
Pada masa ini seseorang mulai menghadapi tugas perkembangan untuk membentuk relasi yang akrab dengan orang lain. Orang yang telah menemukan jati dirinya, cenderung tidak mengalami kesulitan membentuk hubungan dengan orang lain. Punya rasa percaya diri, dan juga kepercayaan terhadap orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya, orang-orang yang masih mengalami kebingungan siapakah dirinya, memiliki persoalan-persoalan harga diri, akan mengalami kesulitan dalam membina hubungan yang akrab dengan orang lain, sehingga mengalami perasaan terkucil, kesepian, terisolasi. Bila para ibu sedang berada pada masa ini, perlu diperhatikan apakah kebutuhan intimacynya sendiri telah terpenuhi dengan baik dalam hubungannya dengan suami. Penelitian membuktikan bahwa kepuasan pernikahan dengan suami sangat menentukan kesehatan mental, tingkat stress, maupun kesehatan fisik para ibu (Ross, Mirowsky, & Goldsteen, 1990). Belsky and Fish (1991) juga menemukan bahwa ibu-ibu yang tidak puas terhadap perkawinannya dengan suami mempengaruhi sikapnya terhadap anak, ibu-ibu ini cenderung menjadi lebih tidak sensitive terhadap kebutuhan anak-anaknya.
- Bangkit dan Mandeg (masa pertengahan 40-an, 50-an tahun)
Pada masa ini seseorang akan mulai mengarahkan dirinya untuk orang lain. Hidupnya mulai berkembang berpikir untuk orang-orang lain di sekitarnya, untuk suaminya, untuk anak-anaknya, untuk masyarakat di sekitarnya. Orang yang gagal di masa ini akan masih berkutat dengan dirinya sendiri, segala sesuatu untuk dirinya, dan tidak mau berpikir untuk kepentingan orang lain. Hal ini disebabkan akan kehausannya pada masa-masa sebelumnya bahwa ia tak pernah mendapatkan perhatian dan kasih seperti yang dia inginkan. Oleh karena ibu-ibu perlu melihat dirinya sendiri apakah dia sudah bisa mengatasi keinginannya sendiri untuk selalu menjadi pusat perhatian, pusat kasih sayang, ataukah sudah bisa berkembang menjadi orang yang bersedia memberi dan berkorban bagi orang-orang di sekitarnya.
- Keutuhan dan keputusasaan (masa akhir dewasa 60-an tahun).
Pada masa ini seseorang akan menoleh ke masa lalu dan mengevaluasi apa yang telah mereka lalukan dalam kehidupan mereka. Bila mereka melihat bahwa hidup mereka berharga dan telah mencapai hal-hal yang baik maka akan menimbulkan perasaan utuh, bahwa ia telah melampaui hidupnya dengan baik. Sebaliknya bila dia melihat tidak ada pencapaian yang berarti dalam hidupnya ia akan mengalami keputusasaan dan kehampaan dalam hidup.
Fakta Penelitian mengenai Praktek Pengasuhan Anak
Sehubungan dengan fakta tentang pengasuhan anak, ada beberapa hal yang mungkin perlu diingat sebagaimana dicatat oleh Laswell & Laswell (1987):
1. Tokoh di psikologi menekankan pentingnya pengalaman awal seorang anak, yang akan membentuk menjadi seperti apa anak kelak. Namun, mereka percaya kemampuan untuk berubah itu ada, namun makin tua, perubahan itu akan makin sulit untuk terjadi. Orang semakin sudah mapan, semakin sulit untuk diubah.
2. Yang terutama dalam membesarkan anak adalah adanya peraturan yang konsisten, kasih sayang, dan keterlibatan orang tua dalam pengasuhan anak-anaknya. Kenakalan anak muncul karena tidak adanya ketiga hal ini.
3. Hukuman memang diperlukan tetapi harus dilakukan dengan sangat bijaksana. Disarankan dilakukan tidak berselang terlalu lama dari saat kejadian, disertai dengan penjelasan mengapa hal tersebut tidak diharapkan, dan diberikan alternative perilaku apa yang diharapkan.
4. Para therapist keluarga percaya bahwa keluarga yang berhasil biasanya ditandai dengan orang tua yang kompak, yang bekerja sama dengan baik dalam membesarkan anak dan adanya komunikasi yang baik di antara anggota keluarga.
Penutup
Hal terakhir yang perlu diingat adalah fakta bahwa anak berkembang dari masa dependency ke self-sufficiency (mampu memenuhi kebutuhannya sendiri) (Lamanna & Riedman, 1994). Ini mengindikasikan bahwa mau tidak mau orang tua semestinya menyadari bahwa secara natural mereka akan mengalami bahwa kemampuan mengontrol anak-anak akan semakin menurun (Gray, 2001), dalam arti, bahwa lama kelamaan anak-anak akan semakin mandiri untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri dan tidak lagi dibawah control kita lagi. Lebih lanjut Gray (2001) mengingatkan bahwa tugas “membesarkan anak” ada masanya berhenti. Anak-anak suatu saat akan menjadi orang dewasa yang tahu menentukan hidupnya sendiri. Kita harus menyadari kapan saatnya kita sudah berhenti dari tugas ini dan menghargai mereka sebagai orang dewasa yang mandiri dan bukan lagi menjadi tanggung jawab kita sepenuhnya. Sebagian orangtua tidak tahu kapan berhenti bertindak “membesarkan anak”, sehingga saat anak-anak sudah mampu menentukan kemauannya sendiri orang tua masih ngotot mendikte dan masih merasa dia berkuasa atas hidup anak-anaknya. Hal ini hanya akan menimbulkan konflik berkepanjangan antara orang tua dan anak yang tidak semestinya.
Lepas dari segala persoalan dan peliknya tugas pengasuhan anak, satu hal yang penting untuk dikembangkan oleh orang tua adalah membangun harga diri dan keyakinan dirinya menjadi orang tua. Yang penting adalah orang tua juga belajar menyadari keterbatasannya dan mengakui bahwa sebagai manusia kita tak pernah lepas dari kesalahan. Daripada merasa bersalah dan berduka atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya, orang tua juga tetap memfokuskan pikirannya pada kenyataan bahwa ia telah juga melakukan hal yang baik bagi perkembangan anak-anaknya.
Daftar Pustaka:
Belsky dan Fish (1991). Continuity and discontinuity in infant negative and positive emotionality: Family antecedents and attachment consequences. Developmental Psychology, 27, 421-431.
Bettelheim, B. (1987). A Good Enough Parents. New York : Vintage Books
Gray, J. (2001). Children are from heaven. Jakarta: Gramedia Pustaka
Lamanna dan Riedman (1994). Marriage and Families. California: International Thompson Publishing
Laswell, M. dan Laswell, T. (1987). Marriage and the Family. California: Wadsworth P.Comp
Ross, C. E., Mirowsky, J., & Goldsteen, K. (1990). The impact of the family on health: The decade in review. Journal of Marriage and the Family, 52, 1059-1078.
Santrock (1995). Life Span Development. Jakarta: Erlangga